Setelah memasuki peninggalan gunung es, suhu udara langsung anjlok ke bawah nol derajat. Di mana-mana tertutup salju putih bersih.
Di bawah lapisan salju terdapat tanah beku. Salju di sini tak pernah mencair sepanjang tahun, tanah di bawahnya sekeras besi.
Ada ulat sutra dalam tubuhku, jadi aku tidak merasa kedinginan.
Bulu rubah tebal Xiao Guoguo sangat hangat, dia pun tak gentar menghadapi hawa dingin.
Sedangkan orang-orang dari Enam Pintu Gerbang itu semuanya ahli yang menguasai ilmu dalam dan luar, dingin biasa tak mereka hiraukan.
Jadi meski lingkungan alam di gunung salju keras, tak ada pengaruh bagi kami.
Saat kami tiba di kaki gunung salju, senja telah tiba. Mega merah menyala menari-nari di ufuk barat bagai selendang indah. Sisa cahaya senja jatuh di puncak gunung salju, memantulkan pancaran kesucian. Dari kejauhan, gunung salju itu bagai gadis murni tak ternoda yang mengenakan gaun sutra samar-samar.
Ketinggian gunung salju ini lebih dari ratusan meter. Untuk melintasinya dengan selamat cukup menantang. Bagaimanapun gunung salju berbeda dengan pegunungan biasa. Di atasnya ada timbunan salju, lapisan es keras, bahkan risiko longsor yang meningkatkan tingkat kesulitan pendakian.
"Kami menambah persediaan makanan dan air jernih di kaki gunung. Setelah berjalan seharian penuh, stamina fisik terkuras cukup besar. Begitu mulai mendaki gunung salju, ibarat memasuki medan perang. Kita tidak boleh berhenti sampai detik kemenangan tiba, jadi persiapan matang mutlak diperlukan."
"Li Yifeng menebang beberapa ranting pohon kokoh di sekitar untuk dijadikan tongkat pendakian, agar bisa menghemat tenaga selama pendakian."
"Sudah siap?" tanya Li Yifeng pada semua orang.
"Siap!" jawab mereka serentak.
Li Yifeng meninggikan suara: "Lebih keras!"
"SIIAP!!" teriak mereka sambil mengangkat tangan, semangat berkobar-kobar.
Li Yifeng mengangguk puas. Formasi memang membutuhkan energi seperti ini: "Ingat, tidak ada yang boleh berhenti sebelum mencapai puncak. Paham?"
"PAHAM!" Para anggota segera berpencar dan mulai memanjat lereng salju. Jarak antar orang tidak lebih dari tiga meter, agar bisa saling membantu jika ada keadaan darurat.
Baru naik kurang dari 20 meter, medan sudah mulai terjal. Batu-batu berbentuk aneh terkubur di bawah salju abadi, bisa membuat kaki terantuk jika tidak waspada. Kami pun mengeluarkan tongkat pendakian, menyondir jalan setiap kali melangkah. Dengan meraba-raba seperti ini, kami berhasil naik 10 meter lagi. Kemiringan lereng semakin curam.
Pada titik ini, ketinggian vertikal kami dari dasar sudah mencapai 30-40 meter. Semua ekstra waspada. Jatuh dari ketinggian segini pasti langsung "dilaporkan ke neraka".
Cahaya matahari terbenam perlahan bersembunyi di balik lapisan awan, sinar senja di ujung langit juga cepat memudar seperti ombak laut yang bergolak. Tampaknya cuaca akan segera gelap. Begitu langit gelap, situasi kami akan semakin berbahaya.
Li Yifeng memutar badan dan berteriak kepada kami: "Semua buru-buru, lanjutkan memanjat ke atas!"
Kami saling menyemangati sambil perlahan mendaki. Saat ini, kami tak bisa hanya mengandalkan dua kaki. Kami harus menggunakan kedua lengan juga. Kami seperti cicak besar yang menempel di tebing gunung, memanjat dengan tangan dan kaki.
Jarak dari 50 meter hingga 100 meter adalah bagian tersulit untuk didaki, karena permukaan tebing di bagian ini dipenuhi es beku. Es itu bukan hanya licin tak bisa dipegang, tapi juga menusuk tulang. Meski memakai sarung tangan anti-slip, telapak tangan tetap merasakan dingin yang merambat.
Melihat ke bawah, di bawah kami membentang lautan embun beku luas bagai jurang tak berdasar. Angin dingin menderu di telinga. Sekali saja kami melepaskan pegangan, seolah akan diterbangkan angin.
Akhirnya kami berhasil mendaki gunung salju setinggi lebih dari 100 meter ini dengan selamat dari bahaya.
Saat kami tiba di puncak gunung salju, langit sudah dipenuhi gemerlap bintang-bintang yang berkelap-kelip.
Karena sebelumnya berada di dalam rimba purba, kami jarang melihat langit. Bahkan jika melihat langit, takkan menemukan pemandangan seperti ini. Saat ini berdiri di puncak gunung salju, baru menyadari pemandangan malam di puncak Aliran Naga ternyata begitu indah. Bintang-bintang yang bertaburan di langit bagaikan mata tak terhitung yang terus berkedip ke arah kami. Kami sepenuhnya tenggelam dalam keindahan malam, tak bisa melepaskan diri untuk waktu yang lama. Di puncak Aliran Naga ini, sambil menengadah ke langit malam dan mengunyah bekal, kedewasaan mental menjadi jernih bagai kristal. Segala kepenatan dan kekhawatiran selama perjalanan seolah telah melebur dan bubar.
Aku tak bisa menahan heran: "Kaisar Pertama benar-benar jago memilih tempat! Bahkan setelah mati pun masih ingin melihat matahari, bulan, dan bintang-bintang ini!"
Setelah stamina fisik pulih sepenuhnya, kami mulai mempersiapkan diri untuk turun gunung.
Di sisi lain gunung salju terdapat ngarai yang dalam. Berdiri di puncak gunung memandang ke gunung salju seberang, lebar antara dua gunung salju ini sekitar 50 meter, bagaikan dua raksasa berbaju zirah putih.
Seperti kata pepatah "Mendaki gunung mudah, turun gunung sulit". Jalan turun ternyata lebih curam daripada jalan mendaki. Kami harus menggunakan tali pendakian untuk perlahan-lahan menuruni tebing.
Tebing gunung sama sekali tidak memiliki vegetasi, hanya dipenuhi bebatuan tajam yang aneh. Dengan lampu sorot di kepala, setiap kali kami meluncur turun 5-6 meter, kami akan menjejakkan kaki ringan di tebing lalu melanjutkan luncuran 5-6 meter berikutnya, terus berulang seperti ini. Namun proses penurunan tidak semudah bayangan, karena tebing tertutupi es keras dan salju abadi, kami sering terpeleset sehingga seluruh tubuh menghantam tebing hingga terasa perih.
Semakin ke bawah, tebing semakin curam. Beberapa bagian bahkan sulit didaki oleh kera sekalipun. Menengadah ke atas, tebing curam menutupi langit malam bertabur bintang. Tak terlihat apa-apa seluruh rangkaian gunung hitam pekat. Kabut hitam menggelora di bawah kaki kami, memberi sensasi seolah mengarungi asap di udara.
Saat kami telah turun hingga ketinggian 30 meter saja, teriakan melengking Xiao Guoguo menyobek kesunyian ngarai.
Semua langsung berhenti meluncur. Beberapa sorotan lampu nyaris bersamaan mengarah ke posisi Xia Guoguo.
Terlihat Xia Guoguo bagai burung yang patah sayapnya, terjun bebas menuju jurang hitam yang menganga di bawah.
Jantungku serasa diremas, aku berteriak histeris: "Xiao Guoguo!"
Syukurlah, takdir langit masih berpihak!
Setelah terjatuh lebih dari 10 meter, tiba-tiba tubuh Xia Guoguo berhenti jatuh. Sepertinya tersangkut di batu keras yang menonjol dari tebing. Seluruh tubuhnya bergoyang tertiup angin seperti pakaian di rak jemuran.
"Xiao Guoguo! Xiao Guoguo!" Aku memanggil nama Xiao Guoguo dengan panik sambil meluncur cepat ke bawah, segera tiba di sampingnya.
"Aku... aku tidak apa-apa..." Xiao Guoguo tersadar dari keterkejutannya, terengah-engah mengeluarkan gumpalan-gumpalan napas putih.
Baru saja, ia nyaris melintasi pintu gerbang hantu.
"Jangan panik, coba stabilkan posisi dan jangan bergerak sembarangan! Aku segera menyelamatkanmu!" Seruku sambil merayap di tebing menuju posisi Xiao Guoguo. Li Yifeng dan yang lain mengarahkan sorotan mata serigala untuk menerangi jalanku.
Kujulurkan kepala untuk melihat. Batu besar itu menjorok 4-5 meter dari tebing, seperti lengan panjang yang keluar dari perut gunung. Xiao Guoguo terjatuh persis di ujung paling depan batu, pakaiannya tersangkut di tepian.
Dengan hati-hati kujinjitkan kaki di atas batu berbalut salju itu. Rasanya cukup kokoh untuk menahan berat dua orang. Kubuka pengaman di pinggang, lalu menelungkup di atas batu sambil merangkak perlahan ke arahnya. Salju tebal membuatku tak berani berdiri tegak - satu slip saja bisa membuatku terjatuh dari tebing curam.
"Saudara Tuoba, hati-hati!" Teriak Li Yifeng dan kawan-kawan yang bergantung di tebing, menatapku dengan tegang.
Sampai di ujung batu, kuhunus Tianxie Qiang dengan tangan kiri. Kubalikkan mata tombaknya lalu menancapkannya kuat-kuat ke dalam timbunan salju.
Dang!
Ujung senjata seolah menyentuh sesuatu yang keras, saat itu aku tidak menghiraukannya, mengira itu es di bawah salju abadi. Perhatianku sepenuhnya tertuju pada Xiao Guoguo. Tangan kiriku menggenggam erat Tianxie Qiang yang tertancap di salju, tubuhku bergeser sedikit ke samping, tangan kanan kuulurkan ke arah Xiao Guoguo: "Cepat! Pegang tanganku!"
Xiao Guoguo mengangguk, menghembuskan gumpalan kabut putih dari mulutnya, lalu dengan gemetar ia mengulurkan lengannya.
Aku segera mencengkeram tangan mungilnya: "Sekarang ulurkan tanganmu yang satunya lagi!"
Tubuh Xiao Guoguo bergoyang ringan seperti bandul lonceng, berayun mendekat, tangan kirinya meraih dan mencengkeramku.
Aku menarik napas dalam-dalam, tiba-tiba berseru: "Bangkit!"
Seluruh tenaga terkumpul di lenganku pada detik itu. Otot-otot bahu menegang, langsung menariknya naik. Kuperhatikan Xiao Guoguo, wajah kecilnya pucat, pakaiannya sobek di beberapa tempat, dahinya lecet. Meski wajahnya kotor seperti bunga tercabik, tetap memesona.
Xiao Guoguo tergeletak di batu besar, terengah-engah bagai boneka kain, tapi masih sempat melontarkan umpatan: "Dasar sial! Ibu tua ini hampir mati ketakutan!"
Aku langsung tertawa: "Jangan santai dulu! Situasi kita masih berbahaya, cepatlah merangkak kembali!"
Xiao Guoguo merangkak mundur kurang dari dua meter. Di saat yang sama, kejadian tak terduga kembali terjadi. Batu keras di bawah kami tiba-tiba ambles tajam ke bawah. Xiao Guoguo menjerit keras, tubuhnya tergeletak rapat di permukaan batu tanpa berani bergerak sedikit pun. Untungnya aku masih memegang Tianxie Qiang yang tertancap di salju abadi, kalau tidak aku pasti terlempar dari batu.
Li Yifeng dan Su Jinxia meluncur cepat dari kiri dan kanan hingga posisi mereka sejajar dengan batu: "Saudara Tuoba, berbuat sesuatu!"
Hanya dengan merangkak 2-3 meter ke depan lagi, aku dan Xiao Guoguo bisa meraih lengan yang diulurkan Li Yifeng dan Su Jinxia. Namun, jarak 2-3 meter ini telah menjadi jurang tak tertembus antara kehidupan dan kematian.
Saat ini, baik aku maupun Xiao Guoguo tidak berani bergerak sembarangan, takut batu di bawah kami akan runtuh tiba-tiba.
Krakrakra! Krakrakra!
Suara aneh tiba-tiba bergema dari tebing gunung.
Aku mengangkat kepala. Sorotan lampu di ubun-ubunku menyinari tebing gunung. Aku terkejut melihat retakan sepanjang lima meter muncul di tebing. Retakan itu kemudian menyebar seperti ranting pohon bercabang, dengan salju abadi berdeburan jatuh tak henti. Batu di bawah kami mulai bergetar dengan dahsyat.
