"Tunggu! Eh, tunggu!" Xiao Guoguo melompat ke depan, berjinjit mencoba naik ke tumpukan jerami kering: "Ada aku juga! Aku juga mau ikut!"
"Xiao Guoguo turunlah, kau tak boleh ikut!" kata Chen Qicong.
"Kenapa?" mata Xiao Guoguo melotot, "Semakin banyak orang semakin kuat! Gu Meidi adalah majikanku, aku tak bisa meninggalkannya! Lagipula, mengirim satu orang atau dua orang kan sama saja?"
Chen Qicong menjawab: "Xiao Guoguo, aku tahu kau penuh cinta dan kebajikan. Bukan aku tak mau mengirimmu. Tapi statusmu adalah siluman. Siluman yang nekat masuk neraka adalah dosa besar yang tak termaafkan, melanggar hukum langit. Jadi aku tak bisa mengirimmu!"
"Ah?!" Xiao Guoguo menunjukkan ekspresi kecewa: "Sialan Raja Akhirat tua itu, aturan bodoh apa yang dia tetapkan!"
Sikap Xiao Guoguo yang mengumpat membuat semua orang tertawa, aku pun tak tahan tersenyum. Ketegangan dalam hati seketika berkurang.
Aku berkata pada Xiao Guoguo: "Guoguo, dengarkan baik-baik. Jika Chen Qicong sudah bilang begitu, ikuti saja maksudnya!"
Xiao Guoguo mencibir, tiba-tiba menggenggam tanganku: "Di alam baka nanti tak ada aku yang melindungimu, kau harus lebih berhati-hati!"
"Cukup! Aku tahu! Sok jagoan sekali, aku tak butuh perlindunganmu!" Aku mengangguk, mulutku masih bercanda tapi hati terasa hangat.
"Harus merebut kembali roh nyawa Tuan! Ini satu-satunya harapan, kumohon!" Xiao Guoguo menggigit bibirnya, air mata kembali menggenang di pelupuk mata.
"Akan kulakukan! Pasti akan kulakukan!" Aku mengangguk mantap.
"Ah! Juga! Jika... maksudku jika... Jika benar tak bisa merebut kembali roh Tuan, kau harus kembali sebelum ayam berkokok! Aku tak mau kau jadi mayat hidup juga!" Xiao Guoguo berpaling, kulihat ia mengusap air mata di sudut matanya. Ia tak mau aku melihat sisi rapuhnya.
Setelah mengeringkan air mata, Xiao Guoguo menoleh dan melambaikan tangan: "Selamat jalan!"
"Selamat jalan!" Aku tersenyum sambil melambai balik.
"Baik, aku akan mengantarmu turun sekarang!" Chen Qicong mengacungkan Pedang Tujuh Bintang sambil berteriak: "Bangkit!"
Tiba-tiba terdengar suara ayam berkotek-kotek, Yu Wenjin entah dari mana muncul sambil menyeret seekor ayam jago merah besar dan melemparkannya di samping tumpukan jerami.
Chen Qicong menginjak langkah awan hijau, mulutnya menggumam mantra sambil berputar-putar mengelilingi tumpukan jerami.
Chen Qicong terus melantunkan mantra sambil berputar, pedang di tangannya menggores tanah dengan cepat menulis rangkaian tulisan yin yang berkilauan.
Ayam jago merah besar itu berjalan perlahan mengelilingi tumpukan jerami di dalam lingkaran tulisan yin tersebut.
Angin yin berhembus kencang, menerbangkan nyala api di sekeliling kami.
Pedang di tangan kanannya, Chen Qicong merogoh saku dan mengeluarkan segenggam kertas kuning lalu menebarkannya ke udara sambil berseru: "Taishang Laojun memasuki neraka, hantu dan siluman minggirlah!"
Kertas-kertas kuning beterbangan tertiup angin bagikan kupu-kupu kuning yang menari di langit.
Cahaya api menyilaukan pupil mataku. Memandang langit malam tak bertepi, pandanganku semakin buram. Suara di sekeliling lenyap. Aku merasa tubuhku melayang diterpa angin yin yang menusuk tulang. Dunia sekeliling tiba-tiba gelap gulita.
Kata terakhir yang kudengar dari Chen Qicong hanyalah satu patah kata: "Pergi!"
Saat kubuka mataku, kudapati diri ini berada di dunia yang sama sekali asing.
"Dunia ini tak memiliki cahaya, kegelapan yang bergumpal-gumpal bagai awan bergulung-gulung berkumpul. Dunia ini hanya hitam, gelap pekat seperti tinta, memberikan perasaan tertekan yang mendalam."
"Angin yin menderu-deru mengeluarkan suara siulan aneh, udara seolah membawa hawa dingin yang menusuk tulang."
"Inikah alam baka?"
"Apakah aku sudah sampai di alam baka?"
"Sebentar angin yin bertiup, kulihat tembok kota tinggi menjulang di depan."
"Tembok itu bergaya arsitektur kuno, persis pintu gerbang zaman dahulu. Di tengah terdapat gerbang melengkung, di atasnya tergantung papan nama horizontal bertuliskan tiga karakter besar merah darah: FENGDU CHENG!"
"Fengdu?!"
"Hatiku berdesir lega, ternyata benar-benar sampai di alam baka."
"Patut diacungi jempol keahlian Chen Qicong, bisa mengantar nyawa manusia hidup ke alam baka."
"Waktu mendesak, ku khawatirkan keselamatan Gu Meidi, segera kususuri kaki tembok tinggi itu."
"Saat ini pintu gerbang terbuka, kerumunan arwah berlalu-lalang. Di mulut gerbang berjaga prajurit hantu yang memeriksa identitas setiap roh yang masuk-keluar Fengdu Cheng."
"Sebenarnya alam baka tak beda dengan dunia fana. Penampilan roh-roh itu tak semenyeramkan di film horor, wajah mereka sama persis manusia hidup, hanya kebanyakan berwarna abu kematian tanpa ekspresi."
"Baru sampai di mulut gerbang, dua prajurit hantu menyilangkan tombak panjang menghalangi langkahku."
"Kau ini siapa? Tunjukkan KTP!" seru salah satu prajurit hantu.
“Apa? KTP？”Aku langsung membeku seketika, alam baka juga butuh KTP ya!
“Aku... aku lupa bawa...” Kataku terbata-bata.
Dua prajurit hantu saling memandang, tiba-tiba mengapitku dari kiri dan kanan, bersuara keras: “Berani sekali kau nekat masuk alam baka tanpa izin! Akan kami masukkan ke penjara dulu, tunggu keputusan Raja Neraka!”
Mendengar ancaman penjara, aku langsung panik, berteriak kencang: “Lepaskan aku! Aku ke sini untuk menyelamatkan nyawa! Tak ada waktu untuk berdebat! Cepat lepaskan!”
Kedua prajurit hantu itu menyeringai: “Konyol! Menyelamatkan nyawa di alam baka? Benar-benar nekat seperti makan hati macan tutul!”
“Aku punya urusan genting, lepaskan sekarang juga atau jangan salahkan aku!” Waktu sudah mepet, tinggal hitungan jam sebelum fajar. Tak ada waktu lagi untuk ditunda.
Alih-alih melepaskan, mereka malah memelintir tanganku ke belakang punggung, menggeram: “Kau lebih baik diam dan patuh...”
“Haa!” Tiba-tiba kuhela teriakkan perang, energi dalam tak kasat mata menggelegak bagai ombak laut, menerjang kedua prajurit hantu itu hingga terlempar.
Seketika terdengar bunyi terompet panjang "uung...uung..." - mungkin tanda bahaya dari penjaga.
Derap langkah kaki bergemuruh, dua kelompok penjaga bersenjata lengkap bergegas mengepung gerbang kota.
Pintu gerbang besar di belakangku runtuh menutup dengan gemuruh, sementara rakyat biasa berhamburan ketakutan, menghilang dalam sekejap.
Perwira penjaga keluar dari kerumunan, mengenakan zirah dengan pedang tersampir di pinggang, menunjukku sambil berteriak: "Dasar pencuri terkutuk, berani-beraninya membuat keributan di alam baka! Tangkap dia!"
"Siap!" Para prajurit hantu itu mengikuti perintah, mengambil langkah-langkah mendekatiku.
Aku menghela napas dalam hati. Sungguh tak ingin berkelahi, tapi keadaan memaksa. Berdebat dengan para hantu ini percuma - mereka sudah mencapku penjahat. Tak mungkin aku menyerah, Gu Meidi masih menungguku.
Kukeluarkan Tianxie Qiang, kedua senjata bersatu mengeluarkan dentang logam yang nyaring.
Kuteriakkan pada para hantu itu: "Jangan paksa aku bertindak, Cepat minggir!"
Sebab kusadari, begitu pertempuran dimulai, tak akan ada lagi ruang untuk kompromi.
Perwira penjaga menggeram: "Berani membawa senjata ke alam baka? Tangkap si pengacau ini!"
Begitu perintah keluar, lima enam prajurit di barisan depan mengacungkan tombak panjang menghujam ke arahku.
Dasar sial!
Kutendang tanah melayang ke udara seperti gasing, Tianxie Qiang menyambar membentuk kilatan cahaya melengkung.
Dentuman keras! Tombak-tombak panjang mereka patah berkeping-keping. Telapak tangan mereka terkoyak, jeritan kesakitan bergema saat mereka terjatuh.
Aku tidak benar-benar mendarat di tanah, melainkan menginjak kepala seorang prajurit hantu dengan ringan. Menggunakan ilmu bela diri ringan "berjalan di atas air", kedua kakiku bergerak beruntun. Setelah beberapa lompatan, aku berhasil keluar dari lingkaran pengepungan dan mendarat di belakang sang perwira militer.
Perwira itu terkejut bukan main. Sebelum sempat mencabut pedang, Tianxie Qiang-ku sudah menempel di lehernya. Aku mengaum ke arah para prajurit hantu: "Jangan mendekat! Kalau tidak, aku akan membunuhnya!"
Para prajurit hantu pun tak berani maju, hanya bisa mengepungku dalam formasi melingkar.
Sambil terus mundur dengan menyandera perwira itu, aku bertanya keras: "Ke mana roh manusia dibawa setelah tiba di alam baka?"
Perwira itu menjawab: "Dibawa ke Jembatan Naihe, minum ramuan obat Meng Po untuk melupakan ingatan kehidupan lampau!"
"Di mana letak Jembatan Naihe?" Tanganku menekan lebih kuat, Tianxie Qiang turun setengah jari, membuat perwira itu gemetar sekujur tubuh.
"Mengikuti... mengikuti jalan utama kota ini lurus ke depan... pasti akan melihat Jembatan Naihe!" Katanya dengan suara gemetar.
Kulempar pandangan ke sekeliling. Ternyata ada papan penunjuk jalan di sini yang dengan jelas menunjukkan arah menuju Jembatan Naihe. Tampaknya perwira ini tidak berbohong. Berharap Gu Meidi belum menyeberangi jembatan itu, belum meminum ramuan Meng Po!
Dum!
Aku mengangkat kaki dan menendang pantat perwira militer itu. Perwira itu menjerit "Aduh!" lalu terjungkal ke depan, terjatuh seperti anjing makan tai, helm di kepalanya pun jatuh ke tanah.
Para prajurit hantu segera berkerumun menyangga perwira itu berdiri.
Perwira itu satu tangan menahan helmnya, satu tangan lagi menggosok pantat yang sakit, sambil menunjukku berteriak: "Tangkap pecundang itu! Tidak masuk akal!"
Aku hanya ingin menyelamatkan Gu Meidi, tak berniat melukai siapapun.
Maka setelah menendang perwira itu, aku berbalik dan berlari menyusur Jalan Suci di tengah kota.
Dari belakang terdengar suara langkah kaki yang padat, pasukan penjaga membuntutiku sambil berteriak-teriak seperti mengejar binatang buas.
Bunyi terompet yang menggema kembali bergema di langit Kota Fengdu.
Ini adalah alarm bahaya seluruh kota!
Semakin banyak prajurit hantu berdatangan dari segala penjuru, bergerak seperti air bah yang bergolak, mengepungku dari belakang.
Berhadapan dengan pasukan musuh yang besar, siluetku terlihat sangat menyendiri.
Tapi dalam hatiku tak ada sedikitpun rasa takut, hanya ada satu pikiran: Temukan Gu Meidi! Harus menemukan Gu Meidi!
Situasi seperti ini mungkin pertama kali terjadi di kota Fengdu. Sejak zaman kuno, diperkirakan belum ada yang berani menyusup ke alam baka dengan cara seperti ini. Keributan ini menggemparkan seluruh kota. Selain pasukan besar yang terus mengejar, di kedua sisi jalan muncul banyak orang yang ingin menyaksikan keramaian. Ada yang berdiri di pinggir jalan, ada pula yang menjulurkan kepala dari jendela, semua ingin tahu peristiwa apa yang sedang terjadi.
Di depan, siluet Jembatan Naihe mulai terlihat samar-samar.
