Pesawat merangkak naik di ketinggian 30.000 kaki.
Sambil menyesap kopi, kukagumi lautan awan di luar jendela kabin.
Sinar matahari menari-nari di antara awan, mencerminkan kegembiraan hatiku.
Kegelapan yang lama mengendap di dasar kalbu akhirnya terobati oleh kebangkitan Gu Meidi. Seperti cahaya mentari menembus lembah kelam, seperti bunga liar mekar diam-diam.
Tujuanku kali ini adalah pulau di Laut Selatan bernama Pulau Kabut Tersembunyi.
Konon pulau ini dinamai demikian karena selalu diselimuti kabut.
Rencananya aku akan terbang ke Sanya, Hainan dulu, lalu berlayar ke Pulau Kabut Tersembunyi dari sana.
Dari tiga misi pemula, misi pembukaanku memang yang tersulit.
Tapi tidak apa, aku ini pria sejati. Tugas tersulit harus diserahkan padaku. Risiko bahaya Xiao Guoguo dan Gu Meidi relatif lebih rendah, jadi aku bisa tenang.
Lebih baik mempertaruhkan nyawa sendiri daripada membiarkan orang tercinta menghadapi bahaya.
Mungkin inilah kekuatan sihir cinta.
Orang yang sedang jatuh cinta terlihat bersinar dan penuh vitalitas. Melihat bayanganku di jendela kabin, wajahku dipenuhi berkah kebahagiaan.
Mari kita tinjau lagi misi pembukaanku: Sebuah perusahaan model menyelenggarakan acara di Pulau Kabut Tersembunyi dengan durasi tiga hari tiga malam. Siapa sangka model-model cantik peserta acara tewas mengenaskan di pulau itu, sementara polisi tak mampu menemukan pembunuhnya. Rangkaian pembunuhan ini kemungkinan besar bukan karya manusia, makanya Enam Pintu Gerbang turun tangan. Tugas kami adalah memusnahkan segala kejahatan non-manusia.
Sanya adalah kota wisata dengan pemandangan indah, tapi aku tak punya waktu untuk menikmati pesona tropisnya. Setelah beristirahat semalam - lagipula perjalanan dinas ada tunjangannya - tanpa sungkan aku menginap di hotel mewah tepi pantai. Membuka jendela langsung terhampar laut biru membentang, barisan pohon kelapa meliuk tertiup angin, permukaan laut yang berkilauan menarik garis putih bagai pasukan berkuda besar menerjang pantai, bergemuruh deru ombaknya. Semua terasa hening dan indah.
Esok paginya, aku pergi ke dermaga berniat menyewa perahu menuju Pulau Kabut Tersembunyi.
"Tapi tak disangka, awak perahu yang awalnya antusias, begitu mendengar aku mau ke Pulau Kabut Tersembunyi, langsung menggeleng dan mencari-cari alasan. Bahkan saat aku naikkan harga dua kali lipat, mereka tetap menolak untuk berlayar."
Aku mulai kesal: "Kalian tidak mau berbisnis ya?"
Seorang awak perahu yang hitam dan kurus berkata: "Adik muda, bukan kami tidak mau melayani, bukan pula kami benci uang RMB. Pulau Kabut Tersembunyi itu pulau hantu! Katanya beberapa hari lalu baru terjadi musibah besar, beberapa gadis cantik tewas. Kami tak berani ke sana, takut kerasukan hantu. Uangmu bisa saja kami terima, tapi nyawa kami bisa melayang!"
"Pulau hantu?!" Aku terkejut sebentar: "Ini siang bolong, mana ada hantu? Omong kosong! Aku tambah lima ratus RMB, kau mau pergi?"
"Saudara, ini... ini bukan masalah uang..." Awak perahu itu masih berkelit. Sudah lama aku membujuk, dia tetap menolak untuk berlayar.
Saat kami sedang buntu, tiba-tiba suara keras terdengar dari belakang: "Kami tambah lima ratus RMB, Awak Perahu, berlayarlah ke Pulau Kabut Tersembunyi!"
Aku terkejut, kok ada orang lain yang mau ke sana?
Kubalikkan badan, dan langsung membeku seketika.
Setelah hening dua detik, aku berteriak pada pendatang itu: "Lao Niao! Lao Yang! Cao Yi, kalian... kenapa ada di sini?"
Yang tadi berteriak adalah Lao Niao, di belakangnya ada Lao Yang, dan di belakang Lao Yang ada Cao Yi bersama Fang Weiran.
Bertemu sahabat lama di negeri asing.
Perasaanku sangat heboh, sudah lama tak melihat Lao Yang dan kawan-kawannya. Pertemuan mendadak ini membuat kami terlihat sangat akrab.
Lao Yang mengenakan pakaian khas Sanya—baju pantai biru muda bermotif pohon kelapa, dengan topi matahari di kepala, persis seperti turis yang sedang berwisata.
"Saudara Tuoba, lama tak jumpa!" Lao Yang menyapaku dengan riang.
Kami berpelukan sambil kukatakan, "Benar! Sudah lama sekali, aku sangat merindukanmu!"
"Ah, aku tak merindukanmu. Tapi seseorang..." Lao Yang tersenyum licik sambil mendorong Cao Yi ke depanku.
Cao Yi yang tak siap langsung terlempar ke pelukanku.
Refleks kuulurkan tangan mencegahnya terjatuh.
Wajah kami hampir bersentuhan, jarak antara hidung kami tak sampai lima centimeter.
Aroma wanginya menyergap. Baru kusadari selama ini Cao Yi semakin cantik—matanya yang besar bisa menyedot roh siapapun.
Pipi mungilnya memerah seperti delima.
Ia buru-buru melepaskan diri sambil merapikan rambut: "Terima... terima kasih..."
Kulepaskan pelukan dengan senyum.
Cao Yi mengentakkan kaki ke arah Lao Yang: "Menjengkelkan!"
Lao Yang melepas topi penghalau matahari, mengusap rambutnya sambil menggelengkan kepala: "Junzi memang selalu membantu sesama menyempurnakan kebaikan!"
"Kau yakin tidak mau mengemudikan perahu?" Suara keras Lao Niao kembali terdengar.
"Benar-benar tidak mau! Bagaimana kalau nyawa melayang? Masih ada orang tua dan anak yang harus kuhidupi!" kata pemilik perahu.
Lao Niao melepas kacamata hitamnya, membuka kancing baju memperlihatkan otot dada tembaga yang kekar, lalu mengeluarkan dokumen dari dada dan mengibaskannya di depan mata pemilik perahu: "Sekarang kapal ini disita kepolisian, boleh?"
Pemilik perahu menatap dokumen polisi itu dengan wajah masam: "Ayo pergi! Asal kalian jangan sampai membunuhku! Tapi sebelumnya kukasih tahu, ongkos perahu tetap harus kubayar!"
"Boleh!" Lao Niao menepuk bahu pemilik perahu, lalu menunjukku: "Nanti biar dia yang bayar!"
Dasar Lao Niao, berani-beraninya mengambil keuntungan dariku!
Sudahlah, sebentar lagi aku dapat kerjaan bergaji tinggi. Receh seperti ini tidak perlu kuhiraukan.
Lao Niao memberikan sebatang rokok ke pemilik perahu. Dari obrolan singkat diketahui pemilik perahu kurus hitam itu bernama Xu Lianghui. Selain dia, ada keponakannya yang membantu sebagai awak kapal, dijuluki Xiao Sanzi.
Kapal yang kami tumpangi termasuk jenis kapal pesiar wisata kecil. Badannya yang putih seperti ikan raksasa membelah ombak, mendesing menuju pusar cahaya keemasan di tengah samudera.
"Di atas yacht ada berbagai minuman, kami beberapa orang menenteng bir berdiri di dek, sambil merasakan angin laut dan menikmati pemandangan laut yang indah."
"Saat itu fajar baru terbit, permukaan laut dipenuhi serpihan emas yang menyilaukan mata."
"Sesekali terlihat beberapa burung laut melesat miring dari atas kepala, segera berubah menjadi titik hitam yang terbang menuju arah fajar."
"Cao Yi berdiri di ujung paling depan dek, merentangkan kedua lengannya seolah memeluk matahari."
"Angin laut mengibaskan gaun panjang sebatas lututnya, kedua kaki putihnya bak telur yang baru dikupas."
"Pandanganku tanpa sadar tertuju pada kaki putih salju Cao Yi, hati berdesir riak kecil."
"'Tuoba Gu, bagaimana mungkin kau datang ke sini? Untuk apa kau ke Pulau Kabut Tersembunyi?' tanya Lao Niao."
"Aku buru-buru menarik pandangan, meneguk bir: 'Dengar pulau itu baru-baru ini ada kejadian besar, jadi aku datang melihat!'"
"Fang Weiran berkata: 'Kabarmu cukup cepat. Di mana ada hal aneh, di situ ada bayanganmu. Sayang sekali kau tidak bergabung dengan tim kasus besar kami!'"
"Aku tersenyum: 'Kalian polisi resmi. Aku cuma orang suci dari kalangan masyarakat, kasus pembunuhan biasa bukan urusanku!'"
"Lao Yang menyipitkan mata: 'Kalau begitu, menurutmu kejadian di Pulau Kabut Tersembunyi ini bukan kasus pembunuhan biasa?'"
"'Belum melihat realitas sebenarnya, tak bisa sembarang berkesimpulan!' kataku."
"Lao Yang mengangguk, menyuruh Cao Yi menunjukkan dokumen kasus ini padaku."
“Kok urusan sebesar ini cuma ditangani beberapa orang saja?” tanyaku pada Lao Yang.
Lao Yang menjawab: “Polisi setempat ogah Tim Kasus Besar kami ikut campur! Ini terkait masalah birokrasi, susah jelasin ke kau. Pokoknya, operasi kami sengaja menghindari polisi lokal. Hari ini kami menyamar sebagai turis mau ke TKP di Pulau Kabut Tersembunyi! Tak disangka ketemu kau, sekarang jadi lebih mudah. Kalau benar ada makhluk halus yang mengganggu, kami nggak perlu takut lagi! Hahaha!”
“Ada imbalannya?” tanyaku sambil tersenyum manis ke Lao Yang.
Lao Yang menunjukku: “Xiao Gu, kau makin pinter ngakalin orang! Baiklah, kalau sampai perlu kau turun tangan, pasti ada kompensasinya!”
“Setuju!” Aku terkekeh sambil dalam hati girang bukan main. Kalau bisa menyelesaikan urusan ini, selamatkan misi debut sekalian bisa cuan. Benar-benar dua kepentingan terlampaui!
Aku bersandar di pagar sambil membuka dokumen kasus.
Latar belakang kasusnya begini: Seminggu lalu, perusahaan model asal Hong Kong ngadakan acara realitas bikini selama tiga hari tiga malam di Pulau Kabut Tersembunyi dengan 12 model cantik. Tapi sejak para cewek ini menginjakkan kaki di pulau itu, mimpi buruk pun dimulai.
Dalam waktu tiga hari tiga malam ini, dua belas model wanita cantik itu mati satu per satu. Awalnya tak ada yang tahu tentang hal ini. Pada senja hari ketiga, tersisa satu model terakhir yang telanjang bulat berlari histeris ke pantai. Sebuah perahu nelayan yang sedang pulang melintasi Pulau Kabut Tersembunyi, kebetulan melihat model itu dan menyelamatkannya ke kapal.
Namun sayangnya, model ini mengalami trauma berlebihan hingga menjadi gila, bahkan tak bisa mengucapkan satu kalimat utuh pun.
Belakangan polisi Sanya mengerahkan penjaga pantai ke Pulau Kabut Tersembunyi. Yang mengejutkan, mereka menemukan sebelas mayat gadis di pulau itu. Jenazah-jenazah ini tidak utuh - ada yang tangannya terpotong, ada yang betisnya tertebas. Yang paling mengerikan, saat ditemukan polisi, mayat-mayat itu telah berubah menjadi jasad kering. Darah dalam tubuh mereka... ternyata telah dihisap habis!
Lao Yang berkata: "Sekarang gadis gila itu tinggal di rumah sakit jiwa Sanya. Kondisi mentalnya sangat tidak stabil. Kami pernah mengunjunginya, tapi tak mendapat informasi apapun dari mulutnya. Ia memakai baju pasien bergaris, kedua tangan meremas rambutnya yang berantakan seperti sarang ayam, jongkok di sudut ruangan. Setiap melihat orang ia berteriak: Jangan hisap darahku! Jangan hisap darahku!"
Jantungku berdebar kencang. Menghisap darah?! Apakah pelaku kasus pembunuhan berantai ini benar-benar bukan manusia?
