Jebakan?!
Lao Yang memukul-mukul ubun-ubunnya sambil memaki: "Dasar! Kenapa aku tidak kepikir? Cepat pergi! Cepat!"
Lao Niao memimpin jalan, Lao Yang menjaga di sampingku. Aku membawa Cao Yi yang pingsan di punggung, Fang Weiran menutup barisan belakang.
Kami panik berlari kembali ke jalan yang tadi. Baru sekitar sepuluh meter berlari, terdengar suara gemuruh yang keras. Sebuah pintu air besi jatuh dari langit seperti Jenderal Besi, menutup jalan kami rapat-rapat.
Pintu besi itu hitam legam mengilap, tebal dan berat, setidaknya ribuan kati. Totem api di pintunya seolah mengejek kebodohan kami.
Braak!
Lao Niao langsung menembakkan senjatanya ke arah pintu besi itu.
Peluru itu terpantul entah ke mana. Pintu besi sama sekali tidak bergerak, hanya meninggalkan bekas cap tipis.
Sial!
Lao Niao mengayunkan tendangan melayang ke pintu air besi, berturut-turut menendang beberapa kali, lalu menoleh ke kami sambil terengah-engah: "Tamat, pintu ini tidak bisa dibuka!"
Lao Yang berkata: "Basa-basi! Lebih baik kau menyimpan tenaga!"
"Aku yang mencoba!" Aku mengangkat Tianxie Qiang, bersuara berat sambil mengatur napas, lalu menghantamkan senjata itu ke pintu air besi.
Gedebuk!
Tianxie Qiang justru terpantul kembali, meninggalkan jejak bunga api berkilauan di pintu besi, getarannya membuat telapak tanganku nyaris robek.
Aku menatap pintu air besi di depan dengan takjub, jantungku berdesir jatuh ke dasar lembah, celaka, pintu ini benar-benar terkunci rapat!
Rasa terkejut dan murku bercampur, yang mengejutkan adalah ternyata kami sudah lama diawasi, yang membuatku geram adalah pembunuh licik yang kejam itu. Aku teringat perasaan aneh yang kurasakan kemarin, mungkin saat itu si pembunuh sudah mengincar kami. Kini kami terjebak dalam perangkap psikopat itu, mungkin dia takkan mudah melepaskan kami.
Kobaran api di belakang semakin ganas, gelombang panas menggulung. Setelah pintu besi tertutup, suhu tiba-tiba melonjak dan udara menjadi pengap, kami mulai kesulitan bernapas.
Aku mengacungkan Tianxie Qiang sambil mengaum: "Menyakiti orang dari bayangan bukanlah sifat heroik! Beranilah kau menampakkan diri!"
Tak ada yang merespons. Gua ini bagai sangkar energi yang mengurung kami di dalamnya.
"Hatiku dipenuhi frustasi. Andai aku bisa menyadari poin krusial itu lebih awal, mungkin kami bisa menghindari bencana ini. Tapi, seandainya kami tahu ini adalah sangkar energi sejak awal, kurasa kami tetap akan datang. Bagaimanapun, Cao Yi masih di sini. Mustahil kami tidak menyelamatkannya. Sang pembunuh benar-benar membaca hati kami. Dia menggunakan Cao Yi sebagai umpan untuk menjebak kami langkah demi langkah masuk ke perangkapnya. Baik metode maupun strateginya, semuanya menunjukkan bahwa si pembunuh adalah karakter yang sangat hebat."
"Sepertinya harus minta bantuan tambahan!" Lao Yang merogoh ponselnya, tapi menemukan bahwa di dalam gua sama sekali tidak ada sinyal. Telepon sama sekali tidak bisa terhubung.
Lao Yang mencoba beberapa kali, mendengar suara hiruk-pikuk dari receiver. Sumber sinyal sama sekali tidak bisa dipancarkan keluar.
Lao Yang panik: "Dasar! Medan magnet di sini sangat kuat, mengganggu sinyal komunikasi. Telepon sama sekali tidak bisa digunakan!"
Saat kecemasan memuncak, tiba-tiba terdengar suara glekuk. Dua jendela batu muncul di pintu air besi.
Di luar jendela, muncul dua wajah yang terlihat seperti hantu!
Kami kaget setengah mati. Setelah diamati lebih matang, ternyata itu bukan wajah hantu, melainkan dua orang yang mengenakan masker gas.
Cahaya api menari-nari di permukaan masker gas mereka. Wajah mereka tidak terlihat jelas, tapi intuisi berkata bahwa raut wajah mereka pasti mengerikan seperti iblis.
"Bajingan! Keluarkan kami dari sini!" Lao Niao menerjang ke tepi jendela sambil mengacungkan pistol.
"Lao Niao, menyingkarlah!" Lao Yang tiba-tiba menerjang dan menjatuhkan Lao Niao ke tanah.
Hampir bersamaan, dua brengsek di luar pintu gerbang itu masing-masing mengangkat botol gas aneh, mulut selangnya langsung menyembul dari jendela batu. Dua botol gas itu berwarna hitam legam, di permukaannya terdapat pola api, bentuknya mirip dua alat pemadam kebakaran.
Aku tersentak kaget, langsung tahu ini pasti bukan barang berharga, ujung kaki menjejak tanah dengan keras, tubuhku melesat mundur.
Ssss... ssss...
Dua gumpalan kabut hijau pekat yang aneh menyembur keluar dari botol gas itu, pemandangan di depan mata langsung tak terlihat. Kabut hijau itu mengalir deras bagai air bah, terus-menerus menyembur dari botol gas, pekat seperti tinta, volume semburannya sangat besar. Udara tiba-tiba dipenuhi bau menyengat yang menusuk hidung, mata terasa perih seperti terbakar.
Tiba-tiba aku teringat dua brengsek di luar itu memakai masker gas, hatiku berdesir, sambil mundur aku berteriak: "Semua tahan napas! Ini racun! Ini gas beracun--!"
Lao Yang menyeret Lao Niao yang terhuyung-huyung keluar dari kabut.
Lao Niao menutupi mulutnya, membalikkan badan sambil memberondongkan dua peluru ke pintu air besi. Dentingan peluru yang nyaring bergema.
Lao Yang memaki: "Jangan mubazir peluru, brengsek! Mending mikirin gimana kabur dari sini!"
“Melarikan Diri?!” Lao Niao menampakkan wajah getir: “Kurasa kita sudah tak bisa kabur! Binatang-binatang ini bahkan menggunakan racun untuk membunuh kita! Andai aku bisa keluar hidup-hidup... ahem... ahem...”
Sampai di situ, Lao Niao tak mampu melanjutkan. Kabut racun pekat menyelimuti sekeliling, semakin banyak bicara semakin banyak racun terhirup, mempercepat kematian.
“Mungkin kita masih punya secercah harapan hidup!” Aku menengadah ke langit-langit gua.
Tampak sebuah kawah gunung berapi di atas gua. Tebingnya curam dan bergerigi, mungkin bisa ditempel dan dipanjat untuk lolos melalui kawah itu.
Masalahnya, kawah itu berjarak setidaknya 50-60 meter dari tanah. Memanjat tebing tanpa alat tentu cukup sulit.
Lao Niao terkagum-kagum: “Kita akan memanjat keluar dari atas?”
Aku mengangguk: “Ini satu-satunya jalan penyelamatan kita!”
Lao Yang menyelipkan pistol di pinggang, menggulung lengan bajunya: “Dasar! Tunggu apa lagi? Cepat! Setidaknya kita masih punya harapan, lebih baik daripada menunggu mati di sini!”
“Benar juga! Mari kita ambil risiko!” Lao Niao juga menggulung lengan bajunya, bergegas ke tepi tebing dan mulai memanjat dengan kedua tangan.
Lao Yang melirikku: “Xiao Gu, kamu...”
Aku tahu Lao Yang khawatir padaku, karena punggungku menggondol Cao Yi yang mungkin membatasi kelincahan gerak.
“Aku tak apa-apa!” Aku menyuruh Lao Yang melepas bajunya, memelintirnya menjadi tali rami, mengikat tubuh Cao Yi dan tubuhku dengan erat. Lalu kugumamkan mantra sambil mengatur napas, melompat ke udara sambil berkata "Jaga diri", lalu merangkak sekuat tenaga menuju kawah gunung berapi.
Dalam situasi seperti ini, kami tak bisa saling membantu. Semuanya hanya bergantung pada diri sendiri.
Telapak tanganku terluka oleh batu tajam, perih membara. Darah segar mengalir, tapi aku tak peduli.
Yang kuketahui, nyawa Cao Yi terikat erat dengan nyawaku. Aku tak boleh mati! Aku harus menyelamatkannya!
Entah sudah berapa lama merangkak, jarak ke kawah gunung berapi semakin dekat.
Kedua lenganku terasa seperti dijejali timah, setiap gerakan terasa sangat berat.
Cao Yi masih pingsan, tak bisa membantu sedikitpun. Seluruh beban bertumpu di pundakku. Untungnya kemampuan fisikku cukup baik, bisa membawa si kecil ini kabur bersama.
Udara di langit-langit gua lebih segar. Kugantung di tebing sambil menghirup udara segar luar dengan lahap.
Kulihat ke belakang, kabut racun di dasar gua bergulung-gulung seperti air bah hijau.
Kutarik napas dalam-dalam, mengerahkan sisa tenaga untuk membawa Cao Yi merangkak keluar dari kawah.
Begitu keluar, seluruh tubuhku limbung. Kaki gemetaran tak bisa tegak, kedua lutut jatuh bersujud di puncak gunung terjal. Bintang-bintang emas berputar di pelupuk mata.
Tangan Lao Yang menggantung di kawah gunung berapi, aku berbalik menariknya. Lao Yang pun merangkak keluar sambil berteriak-teriak.
Tak lama kemudian, Lao Niao juga merangkak keluar. Saat sampai di mulut kawah, tenaganya habis. Tubuhnya tergantung di sana, terengah-engah memohon: "Cepat... tarik aku... aku hampir jatuh..."
Kuletakkan Cao Yi dengan hati-hati di tanah, lalu bersama Lao Yang menarik Lao Niao keluar.
Kami bertiga lunglai di tanah, saling sandar sambil megap-megap.
"Gerombolan... gerombolan brengsek itu... pasti kubalas dendam!" Lao Niao batuk-batuk. Tadi dia menghirup kabut racun di bawah, wajahnya pucat membiru mengerikan.
"Cepat! Gunakan air bersih untuk memuntahkan racun!" Kukeluarkan sebotol air mineral dari tas, membuka mulut lebar dan menuangkannya ke tenggorokan sampai mual. Dengan terpaksa kumuntahkan semuanya.
Lao Niao juga muntah, mengeluarkan busa putih. Matanya merah membelalak, barulah dia mulai sadar.
"Bahaya!" Lao Yang tiba-tiba memukul pahanya sendiri dan melompat seperti tersengat listrik.
Gerakannya membuatku kaget: "Ada apa? Tiba-tiba saja!"
Lao Yang panik: "Kau tak menyadari... ada yang hilang?"
Kuperhatikan Lao Yang dan Lao Niao, biji mataku berputar cepat. Wajahku langsung pucat: "Astaga! Fang Weiran menghilang!"
Lao Yang wajah pucat seperti abu, pupil matanya yang awalnya berkilauan kegembiraan selamat dari bencana tiba-tiba menjadi suram: "Dia bukan hilang, tapi sejak awal tak pernah berhasil menerobos kabut racun!"
Aku mengingat-ingat dengan matang, baru teringat bahwa sepertinya saat kita berdiskusi tentang cara melarikan diri tadi, Fang Weiran sudah tidak terlihat. Tapi saat itu situasi terlalu kacau, dan kita hanya fokus pada pelarian, sampai... sampai lupa tentang Fang Weiran.
Memandang ke bawah kawah gunung api, hanya kabut yang melayang-layang terlihat, sama sekali tak ada bayangan orang.
Lao Yang berjaga di kawah gunung api lama tak mau pergi, ekspresinya mengenaskan, terus-menerus menyalahkan diri: "Ini salahku! Semua ini salahku! Aku yang lalai! Aku yang lalai!"
Lao Niao menopang Lao Yang berdiri: "Kapten, ini bukan salahmu!"
Lao Yang berpaling, mengusap butiran air mata di sudut mata, lalu mengentakkan kaki dengan keras sambil cemberut: "Dasar! Kita pergi! Nanti minta bantuan tambahan, kerahkan pasukan untuk meratakan Pulau Kabut Tersembunyi!"
Kami segera menjauh dari kawah gunung api, menentukan arah, lalu berjalan menuju villa keluarga Liu.
Sepanjang jalan Lao Yang terus mencoba mencari sinyal ponsel, tapi pulau ini bagai kubangan lumpur mati, bahkan setitik sinyal pun tak ada, receiver tetap mengeluarkan desis bising yang menusuk telinga.
Lao Yang berkata: "Sepertinya kita harus kembali ke yacht dulu, gunakan telepon satelit di sana untuk minta bantuan dari markas lama!"
