Belakangan ini, Meng Tian telah menahan amarahnya.
Kekalahan berturut-turut Bai Qi, Raja Akhirat, dan dirinya sendiri telah mengumpulkan dendam Sang Pembunuh Dewa.
Ditambah kematian saudara seperjuangannya, Weiming Shouquan, kemarahan Meng Tian mencapai puncaknya.
Ia haus darah, Sang Pembunuh Dewa harus mengembalikan kejayaannya!
Tubuh Meng Tian bergetar, mata merahnya berkilat. Pedang Zhanmadao-nya bergemuruh bak guntur.
Aura hantu pada tubuh Meng Tian meledak tiba-tiba, energi tak kasat mata bergelombang seperti ombak laut membelah udara. Semak di sekitarnya tertekan hingga melengkung, seolah menyembah dewa pembantaian super ini.
Dadaku berdebar gembira, Meng Tian yang kukenal telah kembali!
Ya, Sang Pembantai telah pulang!
Inilah Meng Tian yang kukenal!
Inilah aura yang tak asing bagiku!
Pergilah Meng Tian, bebaskan amuk pembantaianmu, buat langit dan bumi berubah pucat!
Bayangan hantu melesat cepat, siluet Meng Tian nyaris melayang di atas semak, hanya menyisakan bayangan buram yang tertinggal.
Angin deru menggulung, Meng Tian melesat ke udara. Di langit ia memutar bahu membentuk lingkaran penuh, pedang Zhanmadao menyibak cakrawala, seketika menutupi sinar matahari.
Ssss—Rrr—
Suara kain terkoyak bergema di udara.
Pedang Zhanmadao menebas angkasa, cahaya bilahnya menyusup dari ubun-ubun seorang prajurit, menembus tanah di antara kedua betisnya, meninggalkan bekas tebasan dalam yang masih mengeluarkan aura hantu.
Garis darah tiba-tiba muncul di tengah dahi prajurit itu. Garis itu menjalar cepat dari titik antara alis ke bawah, menembus seluruh tubuhnya. Dengar! Tubuhnya meledak terbelah dua, energi pedang yang otoriter melontarkan kedua potongan tubuh itu, menyisakan kabut darah pekat yang menggumpal di udara.
Meng Tian tak menengok ke belakang, lengan harimaunya mengayun, Zhanmadao membelah udara dengan gerakan memutar. Membentuk busur tajam setengah lingkaran.
Tepat di telinga terdengar suara "kreek" halus, sebuah kepala manusia menyembur ke langit. Seorang prajurit yang berdiri di belakang Meng Tian telah kehilangan kepalanya, bekas luka di lehernya rata seperti dipotong pisau, tuk-tuk-tuk memuntahkan darah yang muncrat setinggi dua meter lebih, bak air mancur tubuh manusia, mengerikan sekaligus memesona.
Dua prajurit yang menyaksikan kewibawaan ilahi Meng Tian langsung ketakutan, melemparkan baju zirah dan kabur berbalik badan.
"Para pemberontak. Ke mana kalian lari!" Meng Tian menggelegar, langkah harimau menggeser setengah meter, Zhanmadao diayunkan dari punggung.
Energi pedang yang tajam membelah udara dengan kemiringan sudut 45 derajat, meninggalkan jejak busur cahaya aneh di langit.
Mata pedang menembus bahu kanan prajurit di sebelah kanan, menembus keluar dari betis prajurit di kiri, ternyata satu tebasan mampu membelah dua prajurit sekaligus.
Meng Tian berdiri tegak mengarahkan pedang. Melolong panjang: "Hahaha! Puas! Sungguh memuaskan!"
Sementara Meng Tian bertarung dengan gagah perkasa di sana, sebagai kapten tim, aku pun tak tinggal diam.
Aku melompat ke Kolam Warna-warni, mengumpulkan qi di dada, lalu menggunakan ilmu bela diri ringan 'Mengapung di Air', kedua kaki bergantian menginjak permukaan air bagai capung menyentuh air, dalam sekejap telah melayang sejauh belasan meter.
"Pada saat yang sama, Tianxie Qiang berputar cepat seperti kincir angin di sisi kiri-kananku, membentuk dua lingkaran cahaya perak yang memukau.
Setiap lintasannya meninggalkan dua jejak gelombang jelas di permukaan air. Kolam berpancuran tinggi, disertai rentetan jeritan mengenaskan. Prajurit Suku Anjing yang belum sempat naik ke darat, tanpa senjata, kutebas bagai memotong semangka di dalam air. Satu per satu kepala manusia terlempar tinggi, darah mendidih mengucur ke air, bak teratai merah menyala yang mekar di permukaan. Aku berdiri di tengah 'hamparan teratai' ini, rambut perak berkibar, ekspresi dingin bagai embun beku.
"Kakak Xiao Gu, kamu keren banget!" teriak Xiao Guoguo dari atas pohon besar di tepi kolam, menggulung tangannya membentuk terompet.
Biasanya, saat Xiao Guoguo merayu atau memujiku tulus, ia akan memanggilku "Kakak Xiao Gu!"
Kutolehkan pandang: "Ngapain di atas pohon?"
"Posisi tinggi, jangkauan jauh!" sahutnya sambil melemparkan Gelombang Qi Siluman secara sembarangan, melontarkan dua prajurit anjing dengan paksa.
Saat menggunakan teknik siluman, ujung roknya berkibar.
Tiba-tiba, kulihat bayangan 'makhluk imut' berwarna pink di balik roknya.
Astaga!
Pikiranku melayang, napas di dada tak tertahan. Seketika tubuhku terasa berat, Wah! langsung terjatuh ke dalam air.
Xiao Guoguo menoleh memandangku, entah dengan nada ironis atau menyindir: "Kak Xiao Gu, bahkan gaya jatuhmu ke air saja tetap keren ya!"
"Keren apanya setan kepala besar!" Aku memuntahkan genangan air, baru saja ingin menyembul ke permukaan, tiba-tiba pinggangku terasa berat seolah ada pemberat timah, ternyata ada yang memelukku.
Aku sedikit terkejut, tak menyangka di bawah air masih ada yang hidup, aku malah diserang diam-diam.
Tubuhku tenggelam kembali, setelah membuka mata lebar-lebar kulihat dua prajurit Suku Anjing, satu mengunci pinggangku erat-erat, satunya lagi menarik kedua betisku, bersama-sama berusaha menarikku ke dasar air.
"Dasar brengsek! Dua bajingan ini benar-benar ingin mati!" Amarah menyala dalam dadaku, tiba-tiba kekuatan mengerikan mengalir deras di seluruh tubuh. Dengan hentakan keras, aku berhasil membawa kedua prajurit itu menerobos keluar dari air. Di udara, Tianxie Qiang berkelebat dua kali menusuk, melemparkan kedua prajurit itu jauh-jauh.
Saat mendarat, salah satu prajurit masih melayang di udara.
Tanpa ampun, Tianxie Qiang kusabitkan membentuk lingkaran sempurna. Dengan hantaman vertikal, pedang itu membelah tubuh prajurit itu menjadi dua di tengah udara.
Di tengah hujan darah yang berhamburan, aku mendarat anggun di permukaan air.
Butiran darah mengalir di helai rambut perakku, perlahan melewati pupil mata. Bayanganku di air terlihat sangat beringas.
Swoosh! Swoosh! Swoosh! Swoosh!
Suara pecah udara tiba-tiba bergemuruh, hujan panah membanjiri langit menutupi sinar matahari, melesat tanpa ampun ke arah Kolam Warna-warni.
Hujan panah itu bagai titik-titik hitam berjejal, mirip kawanan belalang terbang, berhamburan mendekatiku.
"Bodoh sekali!" gumamku dalam hati. Kedua lengan mengumpulkan energi, tangan dengan gesit mengayunkan Tianxie Qiang. Di bawah ayunan kilatku, senjata itu melukiskan lingkaran-lingkaran cahaya perak di depan tubuhku laksana kubah pelindung. Sementara itu, ujung kakiku menyentuh permukaan air, tubuh melayang mundur cepat di atas air.
Dang dang dang! Dang dang dang!
Panah-panah tajam yang melesat itu terhalang lingkaran cahaya dari Tianxie Qiang. Sebagian terpantul, ada yang terpotong dua, bahkan ada yang remuk menjadi debu halus oleh senjata ini.
Dari luar, siluetku seketika terselimuti hujan panah, bahkan bisa dibilang tertelan gelap.
Mataku tiba-tiba melihat kegelapan, tak ada yang terlihat. Suara terakhir yang kudengar adalah teriakan Xiao Guoguo: "Kakak Xiao Gu!"
Dengan bertarung habis-habisan, kurotasikan Tianxie Qiang. Dengan satu senjata, kuhadapi ratusan panah.
Akhirnya kubeberhasilan menembus hujan panah. Selain yang terpotong, lebih banyak lagi anak panah menancap di kolam. Di permukaan air mengapung mayat-mayat ikan tertembus panah, membuktikan kekuatan mematikan dari senjata ini.
Aku meremas keringat dingin, membuka mata lebar-lebar melihat ke kejauhan.
Tampak pasukan utama Suku Anjing telah menyerbu, puluhan pemanah tersusun dalam formasi rapi. Barisan depan prajurit berjongkok melepaskan panah, setelah satu anak panah melesat mereka cepat-cepat bangkit dan mundur ke dalam formasi. Barisan belakang segera mengisi posisi kosong, terus menyerang, memperlihatkan sosok yang terlatih sempurna.
"Kapten, daya serang musuh sangat ganas, haruskah kita mundur sementara?" teriak salah satu anggota tim padaku.
Baru saja teriakan itu keluar, terdengar jeritan memilukan dari anggota tersebut yang berguling jatuh di semak, telah tertembus panah tajam.
Kufokuskan pandangan, di tengah formasi ternyata berdiri seorang kakek berjanggut putih berbaju panjang dengan raut wajah beringas. Panah presisi tadi pasti ditembakkan oleh sosok ini.
Jantungku berdebar kencang, sepertinya kakek berjanggut putih ini adalah sesepuh Suku Anjing.
Terdengar teriakan penuh amarah dari sesepuh itu: "Bunuh mereka! Serbu Gunung Huashan! Gempur markas lama Enam Pintu Gerbang! Aku akan membalas dendam untuk kematian cucuku!"
Cucu yang tewas?!
Apakah Wu Silin si Ren Cao Shi berasal dari Suku Anjing? Jangan-jangan cucu sesepuh yang mati itu adalah Wu Silin?
Kulihat ke langit, senja mulai menyergap. Cahaya matahari terbenam hanya menyisakan sebagian kecil "kepala"-nya di balik punggung gunung, sebentar lagi akan menyatu dalam kabut. Di sisi langit yang lain, bulan sabit samar telah terbit, menandakan malam segera tiba.
Untuk melancarkan perang gerilya, malam hari adalah waktu yang tepat untuk menyerang.
Musuh berada di tempat terang, sementara kami bersembunyi dalam kegelapan. Kami bisa menggunakan pemandangan malam sebagai pelindung, lalu menghantam mereka dengan tongkat Lao Zhang.
Memikirkan ini, aku memasukkan jari ke mulut dan membunyikan siulan keras, memberi isyarat pada tim pertama untuk mundur sementara.
Dalam pertarungan jarak dekat ini, kami berhasil membunuh 30-40 pasukan Suku Anjing. Ini bisa dianggap sebagai kemenangan awal yang membanggakan. Setidaknya aku tidak mengecewakan Qiqi, dan berhasil menghalau pasukan pelopor musuh dengan efektif. Namun aku tidak menjadi sombong, karena tahu kemenangan ini murni karena memojokkan musuh secara tiba-tiba. Kini musuh sudah tahu ada perangkap di pihak kami, akan sulit untuk melakukan serangan mendadak lagi dengan mudah.
Siluet kami cepat menyatu dengan semak-semak. Musuh yang segan dengan perangkap kami tidak segera mendekat, hanya maju perlahan dengan hati-hati. Keriuhan di lembah mereda, tiba-tiba menjadi sangat hening. Angin malam berhembus, bau anyir darah berkeliaran di mana-mana.
Kami bertemu kembali di hutan yang telah disepakati. Aku, Xiao Guoguo, dan Gu Meidi tidak terluka. Yang lain mengalami luka-luka ringan. Yang paling parah adalah saudara yang terkena panah tajam tadi, berusia sekitar tiga puluh tahun. Sampai sekarang aku belum tahu namanya.
Di Enam Pintu Gerbang, banyak nama tak diingat semasa hidup. Hanya setelah kematian, nama mereka terukir selamanya di nisan, membuktikan bahwa mereka pernah ada.
"Gu Meidi cepat-cepat memeriksa luka orang ini." Anak panah tajam itu menembus dadanya dan keluar dari punggung.
Bibir pria ini kebiruan, wajahnya basah keringat dingin, seluruh tubuhnya gemetar, ekspresinya menunjukkan kesakitan yang luar biasa.
"Bagaimana? Masih bisa diselamatkan?" tanyaku.
Gu Meidi menggeleng: "Panahnya tidak mengenai jantung, tapi mata panahnya diberi racun mematikan. Toksin sudah menyebar ke organ-organ dalamnya!"
"Brengsek! Menggunakan panah beracun, cara rendahan!" Tinjuku mengepal keras, buku-buku jari berderak.
"Di...dingin..." Pria ini menggigil, berbicara dengan susah payah.
Melihat penderitaannya, kugigit gigi. Tangan kiri menutup mulutnya, tangan kanan mengangkat Tianxie Qiang. Perlahan kutusuk ujung senjata ke jantungnya.
Setiap sentimeter tusukan, jantungku berdenyut keras.
Akhirnya pria itu berhenti kejang. Kututup kelopak matanya: "Saudara, pergilah dengan tenang!"
