"Berani mengobrak-abrik Enam Pintu Gerbangku, setujukah kalian?"
Suara Qiqi bergema di puncak Gunung Huashan, membuat siapapun yang mendengarnya merasakan rasa dingin tanpa alasan.
Cring! Cring!
Alunan kecapi kuno semakin sengit. Semakin meninggi.
Tiba-tiba, terdengar dentang memekakkan telinga bagai senar yang putus, menusuk sekaligus mengerikan.
Lalu, hal tak terduga terjadi.
Langit yang awalnya bertabur bintang tiba-tiba diselimuti serpihan salju sebesar bulu angsa. Hujan salju lebat menutupi langit dan bulan. Ditiup angin gunung, salju berterbangan memenuhi angkasa dan bumi. Di bawah cahaya bulan, salju-salju itu memancarkan cahaya aneh yang memesona.
Semua orang menengadah memandang langit, mengeluarkan teriakan takjub yang tak wajar:
"Turun salju?!"
"Bagaimana mungkin turun salju?!"
"Sekarang kan musim panas, kok bisa turun salju, hebat banget ya!"
Langit tiba-tiba diselimuti salju lebat, orang-orang terheran-heran bahkan ada yang bersorak gembira menyambut pemandangan aneh nan indah ini.
Kepingan salju yang beterbangan membeku dengan kecepatan luar biasa di angkasa, berubah menjadi kabut kristal es transparan yang menyerupai tutup panci raksasa unik, menyelubungi puncak Gunung Huashan. Cahaya bulan memantul di permukaan kristal es itu, memancarkan kilau misterius yang tak terdefinisi, indah bak surga.
Sungguh mempesona!
Semua yang menyaksikan terpana tak bergerak.
Bahwa kilau darah di mata Meng Tian pun mereda, ia termangu memandang langit dengan tatapan kosong.
Sebuah angin topan menderu lewat disertai rentetan suara "ssss" sambung-menyambung. Di bawah tatapan terbelalak kerumunan orang, lapisan embun beku berasap dingin merambat cepat di tanah. Permukaan tanah seketika berubah seperti permadani putih, menyelimuti setiap sudut puncak Huashan - rerumputan, pepohonan, hingga bebatuan, semuanya tertutupi kristal es yang ekstrem dinginnya.
Asap dingin menusuk membubung dari puncak Huashan, memenuhi cakrawala.
Hanya dalam hitungan detik, seluruh puncak Huashan kecuali markas Enam Pintu Gerbang telah tertutupi lapisan embun beku.
Anehnya, embun beku itu menyebar hingga ke pintu gerbang Enam Pintu Gerbang lalu berhenti sendiri.
Aku dan Meng Tian berdiri di tangga pintu gerbang, jadi tidak ikut membeku.
Aku menunduk memandang permukaan es yang jernih bercahaya, dengan cahaya bulan mengalir di atasnya, samar masih bisa memantulkan bayangan orang.
Beberapa saat kemudian, seluruh puncak Gunung Huashan sunyi senyap. Semua makhluk di sana seakan terperangkap dalam es.
Tak ada lagi teriakan kagum. Tak ada keriuhan, juga pekik perang.
Ratusan prajurit Jiuli membeku menjadi patung es. Mereka semua mempertahankan pose terakhir, bak patung es hidup yang sempurna. Sebelum sempat bereaksi, seluruh tubuh mereka sudah membatu tak bisa bergerak sedikit pun.
Angin yin yang dingin menerpa puncak gunung, menerbangkan serpihan es yang mekar perlahan bagai bunga es di bawah sinar bulan.
Astaga!
Tak wajar!
Sungguh tak wajar!
Siapa lagi selain Kepala Komandan Qiqi yang bisa menguasai keahlian khusus membekukan?
Saat itu di Rumah Sakit Xinbei, Qiqi pernah melepas Pisau Badai Salju yang membekukan satu gedung.
Tapi kini, dalam kemarahan memuncak, Qiqi bahkan membekukan seluruh puncak Gunung Huashan!
Benar!
Meski aku sama sekali tidak percaya, tapi fakta telanjang terpampang di depan mata.
Seluruh puncak Gunung Huashan telah dibekukan oleh Pisau Badai Salju Qiqi!
Kekuatan tempur Qiqi benar-benar mengerikan!
"Layak jadi Kepala Komandan Enam Pintu Gerbang kita, dengan kekuatan individu saja bisa membekukan semua musuh."
Suara Qiqi berkeliaran dari markas lama, dingin menusuk tulang.
Meski tak ikut membeku, tapi di dalam tubuhku mengalir hawa dingin ekstrem, seluruh badan terasa kaku seperti patung es.
Gema suara Qiqi bergema di telinga: "Siapa berani menginvasi satu ons pun wilayah Huashan, akan kubuat menjadi - debu halus!"
Begitu aksara "fen" bergema, terdengar suara "Cring" melengking di udara.
Tok-tok-tok! Tok-tok-tok!
Seketika itu, puncak Gunung Huashan bagai sedang menyalakan petasan, dentuman ledakan bersahutan memecah kesunyian malam.
Patung es prajurit-prajurit itu serentak remuk. Berubah menjadi abu kristal beterbangan, tak tersisa sedikitpun serpihan tulang.
Kabut es berdesakan meledak-ledak, puncak gunung diselimuti kabut dingin. Diterpa angin gunung, tak menyisakan apapun.
Ya! Tak ada yang tersisa!
Ratusan prajurit Jiuli yang berkumpul di alun-alun besar, lenyap bagai ditelan bumi tanpa jejak.
Hanya lapisan es bening di tanah yang masih mengingatkanku: Semua yang terjadi tadi nyata adanya.
Aku, tidak sedang bermimpi!
Qiqi baru saja bertindak, dalam sekejap ratusan nyawa manusia hancur membeku. Kekuatan tempur yang mengerikan seperti ini cukup membuat musuh gemetar ketakutan.
"Siapa lagi yang berani menginjakkan kaki di Gunung Huashan?" Suara Qiqi berdesing dingin, membawa aura kuasa tak kasat mata yang sangat perkasa.
Aku dan Meng Tian serentak gemetar, tanpa sadar ingin bersujud menyembah Qiqi yang luar biasa perkasa ini.
"Tak kusangka di Enam Pintu Gerbang ada siluman perempuan sehebat ini! Lao fu harus menimbanya!" Terdengar siulan menusuk yang membelah langit malam, sekaligus meruntuhkan keheningan puncak Huashan.
Sebayangan hitam menyembur ke angkasa - ternyata seekor burung elang tua berukuran raksasa.
Sayap elang itu terkembang lebar, berputar-putar di atas puncak Huashan. Siluet gagahnya melintas di bawah cahaya bulan, penuh kewibawaan yang menggetarkan.
Di punggung elang itu berdiri tegak seorang kakek beruban bernama Luo Yunbo, sesepuh Suku Elang.
Tiba-tiba elang itu menyambar ke bawah seperti pesawat tempur, mengeluarkan siulan melengking.
Bersamaan, Luo Yunbo berteriak keras. Tubuhnya melesat bagai panah dari punggung elang, berputar beberapa kali di udara sebelum mendarat ringan dengan kedua tangan terentang - sungguh pertunjukan ilmu bela diri ringan yang memukau mata.
"Tampak Luo Yunbo wajahnya merah seperti kurma, postur tubuhnya perkasa bagai harimau. Ia mengenakan kemeja terbuka yang memperlihatkan otot dada kekar. Di dadanya terukir tato totem elang yang hidup. Tato elang itu begitu nyata seolah hendak terbang keluar dari dadanya. Cakar elang terlihat seperti menjulur dari dalam jantungnya, memancarkan aura kuasa yang mencekam.
"Siluman perempuan! Kau telah membunuh begitu banyak warga kami, tentu takkan kuampuni!" Terdengar suara mengaum bagai guntur. Seorang pria paruh baya bertubuh tegap melompat ke puncak Gunung Huashan.
Pria perkasa ini gagah bagai banteng jantan, seluruh tubuhnya memancarkan energi garang. Dialah sesepuh Suku Sapi, Sun Yalei. Tinggi badannya mencapai 190 sentimeter, dari kejauhan tampak seperti bukit kecil. Kekuatan fisiknya mencengangkan - kedua lengannya sebesar betis orang biasa, otot-ototnya terbentuk sempurna, tak diketahui bagaimana cara melatihnya.
Di leher Sun Yalei tergantung kalung tulang manusia. Jika diamati, ternyata itu adalah rangkaian jari kelingking. Setiap kali membunuh, ia suka memotong jari kelingking lawannya, menguliti dagingnya, lalu melubangi dan merangkainya. Jari-jari di kalung itu berjejalan rapat, jumlahnya hampir mencapai seratus.
Sun Yalei menggenggam sebuah kapak perang raksasa dengan tangan kanannya terbalik. Kapak perang tulang sapi ini juga dibuat dari tulang sapi yang diasah, mata kapaknya setajam sinar, mampu dengan mudah meninggalkan retakan jelas di permukaan es. Kapak tulang ini berbobot lebih dari seratus jin, senjata yang sangat berat. Tanpa kekuatan lengan luar biasa, mustahil mengayunkannya.
Sun Yalei berteriak keras, dari mata sebesar bel tembaga itu tiba-tiba memancarkan kilau dingin.
Sun Yalei mengangkat kapak perang tulang sapinya, melukis lingkaran di udara, lalu menghantamkannya dengan dahsyat ke permukaan es.
Bergemuruhlah suara menggelegar, es terbelah membentuk lubang besar. Retakan menjalar di tanah berpusat pada Sun Yalei, seolah ia berdiri di tengah jaring laba-laba raksasa, aura pembunuhannya mencekik.
"Aku ikut juga!" Suara genit seorang wanita menyusul, tiba-tiba siluet tubuh molek muncul di permukaan es.
Hanya melihat punggungnya, orang akan mengira ini perempuan dengan pesona tiada tara.
Tapi saat wanita itu berpaling, ternyata seorang wanita paruh baya.
Namun perawatan tubuhnya cukup baik, alisnya menggurat rayuan, masih menyimpan daya pikat yang kuat.
Perempuan ini pernah kulihat. Ia adalah sesepuh Suku Ular Cao Yunji, dijuluki Cao Sanniang. Dulu di Shennongjia, ia pernah bertengkar mulut dengan Xiao Guoguo, sampai darahnya mendidih dan bersumpah akan menguliti kulit rubah Xiao Guoguo.
"Cao Yunji bagaikan gadis, berdiri anggun bak giok di sana."
Angin gunung berhembus, baju panjang hijau kebiruannya seperti tarian ular berbisa, berkibar-kibar perlahan, sesekali memperlihatkan betis putih salju yang memesona.
Cao Yunji berkata dingin: "Setelah membantai Liu San Men nanti, serahkan gadis Gu Meidi padaku. Terakhir kali dia melepaskan Roh Naga hingga membuat siluman kami jadi cacat, hutang ini harus kuhitung sampai tuntas!"
Sesepuh Suku Sapi mendengus marah: "Ratu Ulatku juga dibunuh mereka, Gu Meidi harus diserahkan padaku!"
"Serahkan padaku!" Cao Yunji tak mau mengalah.
"Kalian bertiga si tua bangka bodoh ini sungguh konyol! Gu Meidi sekarang anggota Liu San Men. Mau membunuhnya, sudah minta izin pada Sang Kepala Komandan ini?" Bayangan orang menyembur dari markas Enam Pintu Gerbang.
Wah!
Aku mengangkat kepala seakan melihat dewi turun ke bumi.
Qiqi mengenakan gaun berlengan lebar bergaya Tiongkok kuno berwarna biru langit, berputar-putar di udara dari atap Aula Kebajikan. Rok birunya berkibar seperti bunga mekar di angkasa, kelopak-kelopak berlapis beterbangan, memancarkan pesona bak dewi yang menari di bawah cahaya bulan, begitu indah hingga tak terucapkan.
Qiqi melayang turun dengan anggun, berdiri tenang di depan pintu gerbang sambil menggendong kecapi kuno di pelukannya.
Gaun panjang menjuntai ke tanah, di bawah kaki Qiqi berhampar seperti ombak awan.
Ujung jubahnya terbuka separuh, memperlihatkan dada putih bersalju yang menyilaukan mata.
Hari ini, untuk pertama kalinya Qiqi tak mengenakan jepit rambut sanggul.
Ini pertama kalinya kulihat Qiqi dengan rambut terurai, helai hitam legamnya mengalir bagai air terjun hingga pinggang rampingnya.
Ini mengingatkanku pada pepatah: rambut sepanjang pinggang!
Menatap punggung Qiqi, sesaat mataku terpana tak berkedip.
Cring!
Jari-jari giok Qiqi melesat di atas senar qin, alisnya yang seperti daun willow mencuat. "Bertiga, gerakan fisik!" serunya dingin.
