Tidak!
Tidaaak——
Mengapa begini?
Mengapa begini?!
Mengapa?!
Xiao Di, keluarlah!
Katakan padaku, rupanya mengapa ini terjadi?!
Jika kau tak pergi, aku takkan meninggalkanmu!
Jika kau tak pergi, aku takkan meninggalkanmu!
Tapi, tapi mengapa kau pergi?
Aku terdiam membeku di situ, seperti tiang kayu tak berjiwa, tanpa kesadaran.
Gemuruh!
Bagai guntur menyambar di telinga, menghancurkan semua harapan indahku menjadi debu.
Jantungku bergetar hebat, terhuyung mundur selangkah, lutut lemas hampir terjungkal.
"Kakak Xiao Gu!" Xiao Guoguo melangkah maju. Ingin berbuat sesuatu untuk menopangku.
Ku melambaikan tangan. Wajah pucat membiru, tenggorokan seperti tersumbat sesuatu: "Aku... aku baik-baik saja... sungguh..."
Lalu air mataku mengalir deras, sialan! Aku menangis lagi!
Jantungku terasa sangat perih, begitu perih hingga hampir tak bisa bernapas.
Kurasakan jelas suara jantungku hancur, bagai kaca jatuh ke bumi, pecah berkeping-keping.
Dalam dua hari ini, aku harus mengalami saudara meninggal dan pasangan pergi serangan ganda seperti ini, aku benar-benar si sial nomor satu di dunia!
Tak pernah terbayang sebelumnya, Gu Meidi ternyata akan meninggalkanku.
Semula kukira, setelah melewati begitu banyak gejolak, aku dan dia pasti bisa saling mengandalkan hidup-mati, tak ada yang bisa memisahkan kami.
Tapi, mengapa hal ini bisa berubah seperti ini?
Air mataku mengalir bisu, lengan lunglai menjuntai, jari-jariku terbuka lepas, surat itu melayang jatuh ke tanah.
"Xiao Di! Xiao Di—" Tiba-tiba aku seperti orang gila, melesat keluar kamar paviliun, berlari secepat angin puyuh menuju luar pintu gerbang.
"Hei! Kakak Xiao Gu. Kau mau ke mana?" Xiao Guoguo buru-buru menyusul.
"Aku harus mencari Xiao Di! Aku harus mencari Xiao Di!" Ku berlari keluar Enam Pintu Gerbang tanpa menoleh, otak seperti terbakar, kacau balau, sakitnya hampir pecah.
Di depan pintu gerbang Enam Pintu Gerbang, bayangan orang berdiri dengan angkuh: "Berdiri!"
Aku menengadah, ternyata itu Kepala Komandan Qiqi.
"Xiao Di pergi! Aku harus mencari Xiao Di! Xiao Di pergi!" Bahasaku kacau balau, bahkan aku sendiri tak tahu sedang berbicara apa.
"Aku tahu!" Qiqi mengangguk sedikit.
"Apa? Kau tahu?" Aku terkejut, memandangi Qiqi dengan tak percaya: "Bagaimana kau tahu?"
Qiqi dengan tangan tergenggam di belakang punggung berkata tenang: "Gu Meidi menemuiku tadi malam, kami berbincang semalaman!"
"Mengapa kau tidak memberitahuku? Mengapa kau tidak memberitahuku? Kalian semua menipuku!" Aku berteriak marah.
"Xiao Di sebenarnya ingin kusampaikan padamu, tapi untuk hal seperti ini, lebih baik dia sendiri yang memberitahumu! Aku tahu perasaanmu pada Xiao Di, khawatir kau tak bisa menerima secepat ini, makanya sejak pagi aku sudah menunggumu di sini!" kata Qiqi.
"Mengapa Xiao Di harus pergi? Qiqi, katakan padaku, mengapa Xiao Di harus pergi?" Air mataku mengalir deras, tak bisa kuhalangi.
Kepergian Xiao Di sebelumnya tak sesakit ini, karena saat itu aku tak tahu semua yang telah dilakukannya untukku, dan intuisi mengatakan kita pasti akan bertemu lagi. Tapi kali ini, intuisi apaan sih sama sekali tak ada, hatiku terasa hampa. Kupikir kali ini, aku benar-benar tak akan bisa bertemu Xiao Di lagi.
Aku takut, aku benar-benar takut, aku tidak tahu bagaimana harus tetap berani hidup jika dunia tanpa Xiao Di?
Qiqi menghela napas: "Ini memang takdir, apa yang ditakdirkan pasti terjadi, yang bukan takdir jangan dipaksakan! Sekarang kubu Sembilan Tua tercerai-berai, Suku Rusa dan Suku Ikan bersekongkol merongrong, sementara mengendalikan anggota suku lain. Tapi tanpa pemimpin, mereka butuh figur berwibawa dan mumpuni untuk menguasai situasi. Gu Meidi jelas kandidat utama. Jika kekacauan ini tak terkendali dan Sembilan Li kacau-balau, dunia fana akan kembali menderita. Jadi Gu Meidi meninggalkanmu demi kebenaran yang lebih besar, demi nasib dunia! Di bawah kendalinya, Suku Sembilan Li pasti akan pulih tenang, takkan muncul lagi menyakiti orang.
Gu Meidi seorang wanita saja sudah paham kebenaran bangsa, masak kau masih belum mengerti? Dia mengorbankan perasaan kalian untuk menukar kedamaian Tanah Tiongkok! Jangan salahkan dia, justru kau harus bersyukur, syukur tak salah mencintai, syukur bisa mencintai wanita hebat sebesar ini!
Aku tahu ini kejam bagimu. Tapi ini juga takdirmu. Hidup di dunia memang harus melepas banyak hal. Seperti kami anggota Liu San Men, demi rakyat sejahtera, rela melepas ikatan keluarga, cinta, bahkan nyawa! Xiao Gu, semoga kau bisa benar-benar paham!
Selain itu, kau juga jangan berusaha mencari Gu Meidi. Markas Suku Sembilan Li mungkin tak akan lagi berada di Shennongjia. Gu Meidi akan membawa sukunya bermigrasi kembali, menyatu di sudut tertentu negara ini. Meski kau jelajahi seluruh Tanah Tiongkok, tetap sulit menemukan jejaknya!"
Raut wajahku lesu, bagai patung berdiri di tempat, membiarkan angin gunung mencambuk tubuhku.
Saat ini, aku mengerti, benar-benar mengerti.
Gu Meidi melindungi sukunya, sekaligus agar mereka tak lagi muncul menyakiti orang. Maka dengan tegas ia memilih kembali ke Suku Sembilan Li, memegang kendali panji suku. Di bawah manajemennya, Suku Sembilan Li pasti tak akan keluar lagi menyakiti orang. Ia berkorban diri untuk menukar kedamaian seluruh Tanah Tiongkok.
Ini pilihan Gu Meidi. Jika ia sudah memutuskan, buat apa aku memaksa? Mencintainya berarti menghargai keputusannya. Seperti kata Qiqi, aku harus bersyukur—bersyukur dalam hidup ini pernah mencintai perempuan hebat bernama Gu Meidi!
Kukeringkan air mata, menatap mentari pagi di ujung langit.
Dalam mata berkaca-kaca, wajah cantik Gu Meidi seolah muncul lagi, berkata: "Xiao Gu, aku cinta kamu!"
Kutatap mentari itu: "Xiao Di, aku juga mencintaimu!"
Cahaya keemasan menyilaukan tiba-tiba memancar dari mataku. Wajah Gu Meidi menghilang bagai asap rokok.
"Tapi aku tahu, tak peduli seberapa besar laut berubah, tak peduli bagaimana dunia berganti, di dasar hatiku akan selalu bersemayam seseorang. Itulah cinta terindah dalam hidupku, juga kenangan termegah yang kusimpan sepanjang hayat!"
"Xiao Di, aku juga berterima kasih padamu. Terima kasih karena pernah begitu mencintaiku, terima kasih telah memberikanku kenangan paling gemilang, paling bahagia, dan terindah dalam hidup ini!"
"Hidup manusia begitu singkat. Di kelahiran berikutnya, aku masih akan menunggumu di persimpangan tempat kita bertemu di kehidupan ini, seperti janji kita untuk tak mau berpisah!"
"Xiao Gu, kau benar-benar mengerti?" Qiqi menatapku.
"Hmm!" Aku mengangguk tegas, menunjuk ke dada. "Di sini, masih terasa sakit!"
Qiqi menghela napas. "Aku tahu perasaan kalian sangat dalam. Pasti ada rasa sakit di hati. Tapi waktu adalah obat terbaik untuk menyembuhkan luka. Aku yakin suatu hari nanti, dadamu tak akan lagi merasa perih!"
Aku menyeringai. "Mungkin! Tapi bukan karena sudah tenang, melainkan karena mati rasa!"
Qiqi juga tersenyum. "Tenang atau mati rasa, kayu telah menjadi perahu. Takdir sudah ditetapkan. Hidup tak bisa diulang dari awal. Yang perlu kita lakukan adalah berani menghadapi hari-hari ke depan!"
Aku mengangguk, mengusap air mata. "Kepala Komandan, tenanglah. Aku akan berani! Xiao Di kesayanganku saja berani menghadapi takdirnya, aku pun akan meneladaninya! Mencintai seseorang tak harus bersama. Di ujung langit dan bumi sekalipun, selama kita saling mengingat dalam hati, itu sudah cukup!"
Qiqi menepuk-nepuk bahuku, tak berkata lagi.
Aku pergi dengan perasaan hampa, sendirian dalam kondisi hunpo tidak lengkap, terhuyung-hayang tanpa sadar sampai di Paviliun Memandang Bulan.
Ku daki Paviliun Memandang Bulan, bersandar di pagar memandang jauh ke hamparan lautan awan yang luas, kehidupan bagaikan mimpi yang akhirnya tetaplah kosong belaka.
Di telinga, seolah ada yang sedang berbisik lembut:
Angin meniup terang serpihan salju
Menyepuhkan rambut kami yang putih
Dulu kita berjanji merantau bersama
Masihkah kalian ingat?
……
Kita berjanji takkan berpisah
Harus selalu bersama selamanya
Sekalipun harus melawan waktu
Sekalipun harus membelakangi seluruh dunia
……
Kubuka mulutku, berteriak keras ke langit tak bertepi: "Xiao Di, aku cinta kamu!"
"Aku cinta kamu——Aku cinta kamu——Aku cinta kamu——" Gema bergema jauh di puncak pegunungan, membawa cintaku terbang ke surga.
Benang di tangan Dewa Perjodohan, berkelindan mesra.
Entah mengapa, tiba-tiba wajah Dewa Perjodohan berubah.
Garis merah yang menghubungkan telapak tangan kita.
Putus.
Haruskah bertapa lagi lima ratus tahun, untuk memperbarui takdir ini bersamamu?
Dari belakang tiba-tiba terdengar suara langkah kaki halus, kuputar badan kaget: "Xiao Di?!"
Namun yang muncul dari belakang bukanlah Gu Meidi, melainkan Xiao Guoguo.
"Mencarimu setengah mati, ternyata kau sembunyi diam-diam ke sini!" Xiao Guoguo mendekatiku.
"Sembunyi apaan?" Senyumku kaku: "Aku cuma ke sini untuk menikmati angin!"
"Jangan berpura-pura! Tak perlu berlagak di hadapanku!" Xiao Guoguo menghela napas berat: "Awalnya aku juga tak paham mengapa Tuan harus pergi, tapi akhirnya aku mengerti, Tuan memang wanita yang luar biasa!"
"Mengapa kau tidak ikut pulang?" Aku mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya.
"Karena aku harus tinggal untuk menemanimu!" kata Xiao Guoguo.
Asap rokok masih menggenang di mulutku saat aku memalingkan wajah, menatapnya dengan tatapan terpaku.
Tatapan Xiao Guoguo penuh keteguhan: "Tanpa Tuan, pasti kau merasa kesepian. Karena itu aku akan tetap di sini menemanimu! Nanti kalau mau menikmati bulan, panggil aku! Menikmati bulan sendirian terlalu menyedihkan!"
Xiao Guoguo tersenyum tipis padaku, senyuman yang bagai bunga merekah di bulan ketiga, melelehkan salju yang membeku di dadaku.
"Xiao Guoguo, terima kasih!" Aku menghembuskan asap rokok sambil merasakan kehangatan mengalir di hati.
"Sebenarnya kau tak perlu bersedih seperti ini, melihatmu seperti ini sungguh menyayat hati! Ada satu hal lagi yang akan kuceritakan!" ujar Xiao Guoguo.
"Apa itu?" tanyaku.
Angin menerbangkan rambut panjang Xiao Guoguo saat ia menyipitkan mata: "Saat pergi, Tuan pernah bilang padaku, dalam sepuluh tahun dia akan kembali!"
"Sepuluh tahun?! Apa maksudnya?!" Aku merasa hati kecilku bergetar.
Xiao Guoguo menjawab: "Dia butuh sepuluh tahun untuk mengelola kembali Suku Sembilan Li. Saat Suku Sembilan Li tak lagi muncul untuk menyakiti orang, itulah saatnya dia pulang!"
