"Wu-la wu-la Meng Kaka..." Setelah menempelkan bulu burung pada kami, Lan Weiwei mengayunkan bendera komando segitiga sambil melantunkan mantra.
Di bawah bimbingan mantra Lan Weiwei, 48 penumpang berbaris rapi menyusuri pinggir jalan berdebu kuning, masuk ke dalam semak belukar yang bergelombang.
“Sekarang mau kabur?” Tao Jiangwei bertanya padaku, berusaha mendapatkan keberanian melarikan diri dariku.
Aku menggelengkan kepala: "Lihat situasi dulu! Aku belum bisa meninggalkan rekan-rekanku!"
Lan Weiwei mengibaskan bendera komando segitiga sambil memimpin di depan, Guo Chengkang mengikuti di belakang kerumunan, keduanya mengawal kami 48 orang menembus semak belukar, suara gemericik air sungai mulai terdengar samar di depan.
Sebuah sungai berkelok mengitari Hutan Wan Du, permukaan airnya berkilauan diterpa cahaya.
Sinar matahari jatuh di atas sungai, melebur menjadi serpihan emas yang menyilaukan.
Angin sungai berhembus pelan. Rumput liar di tepian sungai serentak merunduk, sebenarnya pemandangan alam primitif di sini cukup indah.
Sayangnya, saat ini kami sama sekali tidak punya mood untuk menikmati pemandangan.
"Wu la wu la meng ka ka..." Lan Weiwei terus bergumamkan mantra sambil mengibaskan bendera komando segitiga, menuntun ke-48 penumpang ini ke sebuah tepian sungai.
Tempat ini sepi dari jejak manusia. Mungkin sulit ada orang yang lewat dalam setahun dua tahun.
Dalam hati aku bertanya-tanya, untuk apa mereka membawa para penumpang ke tepian sungai ini?
Saat tiba di tepian sungai, pemandangan di depan mataku membuatku tertegun.
Tepian sungai ini luasnya sekitar tiga empat mu, terhampar rata sejauh mata memandang.
Suasana di sini sangat hening, hanya terdengar gemericik air yang mengalir tanpa henti.
Namun. Di atas hamparan tepi sungai yang rata ini, ternyata berjejal puluhan lubang tanah tersebar.
Benar, semuanya lubang tanah, membuat area ini terlihat seperti sarang tawon raksasa.
Penderita trypophobia pasti akan merinding melihatnya.
Lubang-lubang tanah yang berjejal itu saling terhubung, seluruh tepian sungai seolah dihujani bom. Lubang-lubang ini tersebar sangat merata dengan ukuran hampir seragam, jelas buatan manusia. Seperti sumur-sumur vertikal. Kukira setiap lubang setinggi manusia, lebar sekitar satu setengah meter, menyerupai perangkap, entah untuk apa, lebih mirip lubang tikus tanah raksasa.
Kami mengikuti kerumunan berwajah beku menuju tepi sungai. Baru setelah berjalan cukup jauh, aku menyadari keanehannya, rasa ngeri dalam hatiku semakin menjadi.
Lubang-lubang ini sekilas terlihat seperti perangkap berburu, tapi sebenarnya tidak. Lubang-lubang ini ternyata adalah - lubang mayat!
Benar, ini adalah lubang mayat!
Karena kusaksikan sendiri, beberapa lubang tanah masih menguburkan mayat. Seluruh tubuh mereka tertutupi pasir, hanya menyisakan kepala yang muncul di permukaan lubang, bagaikan tiang-tiang daging manusia yang tertancap di dasar lubang. Sekilas terlihat, setidaknya sepuluh hingga dua puluh lubang berisi mayat dengan ekspresi wajah yang beku. Dari warna kulit dan fitur wajah, ada orang kulit putih, Asia, hingga kulit hitam. Sungguh di luar dugaan, korban-korban ini ternyata berasal dari berbagai belahan dunia! Jika tebakanku benar, mereka yang terkubur ini sama seperti kami - para pelancong dari berbagai negara!
Dasar brengsek!
Hatiku dipenuhi kejutan dan amarah. Tali di jiwaku menegang kencang.
Dari situasi di tepi sungai, kami bukanlah korban pertama. Sebelumnya sudah banyak pelancong tewas di tangan Guo Chengkang dan Lan Weiwei. Dua brengsek terkutuk itu, dengan kedok sopir dan pemandu wisata, diam-diam telah menghabisi nyawa begitu banyak orang. Sungguh melanggar prinsip universal!
Tao Jiangwei jelas ketakutan. Tanpa sadar ia mendekatiku. Kukasih lirikan, menyuruhnya tetap tenang.
Wajah Tao Jiangwei pucat bagai tertimpa embun beku. Ia hanya ingin mencari inspirasi di Thailand, tak menyangka bertemu tukang santet sejati. Jika bisa pulang hidup-hidup, perjalanan ini pasti akan menjadi kenangan yang membekas seumur hidupnya.
Aku diam-diam melihat ke sekeliling para korban yang terkubur di lubang tanah, mereka seperti lobak besar yang ditanam di dalam lubang. Awalnya aku masih berpikir, mengapa tukang santet mengubur mereka hidup-hidup, tapi kemudian aku baru sadar sebenarnya mereka tidak mati karena dikubur hidup.
Dengan jelas kulihat, di tengah dahi setiap mayat terdapat lubang sebesar kuku. Di mulut lubang itu terdapat bekas darah yang sudah mengering, mungkin karena sudah terlalu lama, bekas darah itu mulai menghitam dan berubah warna.
Dan yang paling mengerikan, wajah semua korban terlihat sangat tua, kulit mereka keriput seperti kulit pohon, seolah kehilangan vitalitas hidup. Nutrisi dalam tubuh mereka seperti terkuras habis, membuat mereka terlihat sangat layu.
Tukang santet mengubur mereka di lubang tanah lalu membuat lubang di tengah dahi mereka. Untuk apa sebenarnya semua ini dilakukan?
Untuk sementara waktu aku belum bisa memahaminya sepenuhnya.
Singkat kata, pemandangan dihadapanku ini benar-benar menggetarkan.
Puluhan lubang mayat berjejal di depan mata. Jika lubang-lubang ini adalah sarang tawon, maka mayat-mayat di bawah tanah ini adalah larva di dalam sarang. Memandang sekeliling, kepala manusia bertebaran rapat-rapat. Aku tiba-tiba kehilangan kata-kata untuk menggambarkan pemandangan ini. Yang bisa terlintas di benakku hanyalah horor dan rasa mual.
Saya menemukan sejak menginjakkan kaki di tanah Thailand, rasa jijikku terhadap hal-hal dan pemandangan mengerikan hampir mati rasa. Di bawah kaki kami bertaburan kepala-kepala manusia dengan wajah pucat pasi. Kami berusaha menghindari kepala-kepala itu dengan hati-hati, seolah-olah itu ranjau darat yang terkubur, satu injakan saja akan meledak.
Lan Weiwei memimpin kami ke tepi sungai yang dipenuhi lubang mayat ini, entah apa yang dia bicarakan dengan Guo Chengkang sambil sesekali menoleh.
Guo Chengkang mengangguk, menyibak jubah panjang merah darahnya, lalu mencabut sebuah benda hitam legam mengilap dari pinggangnya. Benda itu berbentuk seperti duri tanduk sapi dengan lengkungan samar, ternyata sebuah paku besar. Ujung paku itu luar biasa tajam, memantulkan titik cahaya dingin di bawah sinar matahari.
Lan Weiwei mengayunkan bendera komandonya. Orang-orang yang dikendalikan seperti boneka itu mulai melompat satu per satu ke dalam lubang mayat.
Byur! Byur!
Orang-orang terus-menerus melompat ke dalam lubang mayat, membuat barisan kepala manusia di tepi sungai cepat menghilang.
Aku dan Tao Jiangwei saling memandang diam-diam. Tao Jiangwei menggigit giginya, menutup mata, lalu melompat ke dalam lubang mayat dengan desisan angin.
Begitu Tao Jiangwei terjatuh, aku pun mengikutinya.
Di dalam lubang mayat menyelimuti bau anyir tanah yang aneh, sama sekali tidak enak.
Hati kecilku berdebar kencang, mataku melihat ke sekeliling lubang mayat yang seolah dibuat khusus untuk manusia hidup. Orang-orang yang terkendali mental terjatuh ke dalam lubang tanah itu, lalu berdiri kaku seperti patung prajurit terakota, tak bergerak sedikit pun bagai batu yang terkikis angin.
Setelah semua orang masuk ke lubang mayat, aku diam-diam merangkak di tepi lubang. Biji mataku berguling-guling waspada sambil mengamati situasi di luar.
Adegan berikutnya membuatku terkejut bukan main.
Entah apa bisikan Lan Weiwei kepada Guo Chengkang, wanita itu lalu menunjuk ke arah lain. Guo Chengkang mengangguk, kemudian mereka bergerak menuju tepi lubang tempat bule pirang yang pernah menghina Lan Weiwei di bus itu berdiri kaku.
Wajah Lan Weiwei memancarkan hawa dingin pembunuhan. Rupanya dendamnya pada bule pirang itu sudah lama terpendam, makanya dialah korban pertama yang dipilihnya.
Aku merinding. Hati wanita seperti mata jarum, membalas dendam sekecil apapun. Memang sepantasnya bule sialan ini mendapat ganjaran.
Lan Weiwei mendekati tepi lubang, menyepak tubuh bule pirang yang wajahnya kosong bagai boneka kayu.
Guo Chengkang seperti pesulap, entah dari mana menemukan sekop. Srub-srub-srub, dalam sekejap lubang tanah telah terisi penuh, tubuh bule berambut emas itu tertutupi, hanya menyisakan kepala yang masih terlihat.
Guo Chengkang lalu berjongkok, mengangkat paku besar hitam legam mengilap. Tangan kirinya menekan kepala bule itu, sementara tangan kanannya menghunjamkan paku ke tengah dahi hingga menciptakan lubang di titik tengah antara alis.
Aku tersentak kaget, mata melotot tak terkendali. Lan Weiwei menyingsingkan gaun panjangnya, melepas labu kecil merah menyala dari pinggang. Labu setinggi sejengkal itu memancarkan warna merah darah di bawah sinar matahari, bagai nyala api yang membara di telapak tangannya.
Lan Weiwei bergumam mengucapkan mantra. Ia membuka sumbat labu lalu mengarahkan mulut labu ke lubang di dahi bule itu sambil berseru lirih.
Di hadapan tatapan heranku, segumpal bayangan kabur mengambang keluar dari dahi bule. Labu merah itu bagai magnet ajaib, menyedot bayangan seperti asap berkabut itu dengan daya hisap tak kasat mata hingga terserap seluruhnya ke dalam labu.
Lan Weiwei memutar pergelangan tangannya, *plak* menutup sumbat labu, senyum dingin terpancar di wajahnya.
Wajah bule berambut emas itu tiba-tiba mengerut seperti kulit pohon, kerutan memenuhi mukanya, kepalanya bergoyang lemah lalu tak bergerak lagi.
Astaga!
Aku ciut nyali. Aku bukan orang bodoh. Sekilas pandang saja, aku langsung paham apa yang dilakukan Lan Weiwei dan kawanannya. Dua tukang santet keji ini... mereka sedang mengambil roh manusia hidup!
Ya, sialan! Mereka benar-benar sedang mencuri roh manusia!
Hatiku membeku, seolah ruang jantungku dilapisi es.
Lan Weiwei dan Guo Chengkang bekerjasama mengambil roh manusia hidup. Untuk apa? Jangan-jangan mereka mau memakai roh manusia untuk ritual ilmu hitam?!
Meski bule berambut emas ini banyak salah, tapi tidak sampai pantas dihukum mati. Apalagi caranya yang begitu mengerikan. Melihat kelancaran Guo Chengkang dan Lan Weiwei, pasti ini bukan pertama kali mereka berbuat kejahatan ini.
Brengsek!
Aku nyaris teriak makian. Tinjuku menggenggam erat, telapak tangan basah oleh keringat.
Tidak bisa ditunda lagi! Jika tidak kuhancurkan sekarang, pasti akan ada lebih banyak korban!
Aku harus menghentikan mereka!
Aku HARUS menghentikan mereka!
