"Kupandang perlahan sambil menghela nafas panjang dalam hati."
"Perjalanan ini terlalu berbahaya. Aku tak ingin lebih banyak orang polos terluka."
"Syukurlah. Hanya si brengsek bule berambut emas yang mati, yang lain selamat tanpa cedera."
"Kuyakin setelah kejadian ini, mereka yang masih punya pikiran mesum akan bertobat dan mengikuti jalan kebajikan."
"'Hati-hati di jalan! Semoga lancar!' Terdengar teriakan Tao Jiangwei dari belakang."
"Aku tertegun, lalu menoleh. Kulihat Tao Jiangwei dengan wajah riang berdiri di belakangku, melambaikan tangan pada bus yang menjauh."
"Kutatapnya heran: 'Kau... Kenapa tidak naik bus?'"
“Mengapa aku harus naik gerbong?” Tao Jiangwei membalas.
Aku mengusap dahi: “Gila! Untuk apa kau tinggal? Kali ini tak ada masalah sudah untung nyawamu selamat, masa belum buru-buru pergi dari sini?”
“Aku takkan pergi!” Tao Jiangwei berkata dengan wajah serius: “Perjalanan ini benar saja tak sia-sia. Sungguh merangsang. Petualanganku baru saja dimulai, gua tak tega berpisah! Terus berjalan, kurasa aku bisa kumpulkan lebih banyak kisah aneh, pulang nanti pasti bisa buat novelku lebih seru, memikat!”
“Bangsat!” Aku benar-benar kehabisan kata: “Demi karya sampe nyawa dipertaruhkan?”
Tao Jiangwei meraih lenganku: “Saudara Tuoba, barusan aku sudah lihat, rupanya kau ahli yang menyembunyikan keahlian! Maka kuputuskan, aku akan tetap di sini mengikutimu, ke mana kau pergi akan kukuti, asal kau lindungi aku. Aliran sesat itu tak kutakuti!”
“Apa?!” Mataku melotot: “Kau mau ikut aku? Ikut buat apa?”
“Ikutmu menjelajahi dunia persilatan!” Tao Jiangwei menatapku dengan semangat berapi-api.
“Mas! Aku mohon, cepatlah pergi! Kau tak cocok tinggal! Tahukah kau bahaya apa lagi yang akan dihadapi di jalan? Demi pertemanan kita, kuberi tahu jujur, ikut kami nyawamu bisa melayang setiap saat!” Aku sudah berusaha membujuk sepenuh hati.
Siapa sangka Tao Jiangwei sudah bulat hati mengikutiku, dengan ekspresi heroik menepuk-nepuk dadanya: "Aku tidak takut! Aku punya pengetahuan dan budaya! Saudara Tuoba. Tenang saja, aku pasti tidak akan merepotkanmu! Lagipula ini keputusanku sendiri, hidup atau mati terserah pada Tian Ming, sekalipun aku mengalami kecelakaan. Tak perlu kau tanggung jawab. Usiaku hampir tiga puluh tahun, aku berhak mempertanggungjawabkan nyawaku sendiri!"
Tao Jiangwei bersumpah mati-matian, tapi aku tetap tidak menyetujui. Bagaimanapun Tao Jiangwei hanyalah seorang pelajar, tidak jago bertarung. Mengikuti kami tidak bisa membantu, malah seperti si kecil yang merepotkan. Kami harus memisahkan perhatian untuk merawatnya, benar-benar merepotkan.
Tentu, ini bukan yang terpenting. Yang paling utama adalah aku tahu betapa berbahayanya Hutan Wan Du. Tao Jiangwei bisa dibilang orang baik, aku tidak mau dia mati sia-sia.
Tapi bagaimanapun aku membujuk, Tao Jiangwei tetap bersikukuh: "Tak perlu banyak bicara! Sekalipun kau cambuk aku dengan pecut, aku tidak akan pergi! Saudara Tuoba, aku pasti mengikutimu!"
Waah!
Aku hampir menangis, sungguh, ini benar-benar seperti dihantui hantu!
Aku benar-benar ingin bersujud pada Tao Jiangwei: Mas, kau mau mengampuniku tidak? Dendam apa yang kau punya padaku, sampai begini kau mengikatiku?
Aku sangat menyesal tadi tidak memperhatikan Tao Jiangwei yang tetap tinggal. Andai tidak, pasti sudah kukikat erat dan kusembunyikan di bus wisata.
“Dicambuk pun tidak mau pergi? Gila! Tekadmu kuat! Kalau ditodong senjata begini, mau pergi tidak?” Lao Niao mencabut senjatanya, mengarahkannya ke kepala Tao Jiangwei.
Tao Jiangwei wajah pucat, bibirnya gemetar tak terkendali: "Ini... ini apa maksudmu? Polisi terhebat ya? Polisi boleh sembarangan mengancam orang dengan senjata? Kau... dari daerah mana? Aku pasti akan melaporkanmu!"
Lao Yang melambaikan tangan ke Lao Niao: "Lao Niao, apa yang kau lakukan? Cepat taruh senjatanya!"
Lao Niao menyeringai, menyimpan senjatanya: "Aku hanya bercanda dengannya!"
Xiao Guoguo menarik lengan bajuku, berbisik: "Di mana kau memancing masalah dengan si bodoh ini?"
Aku mengangkat bahu, menunjukkan sikap pasrah.
Tao Jiangwei melihat kami semua menolaknya, langsung marah: "Oke! Kalian benar-benar tak punya hati nurani! Sungguh menghancurkan jembatan setelah menyeberang! Jangan lupa, aku juga berjasa menyelamatkan nyawa kalian! Dasar polisi, begini caranya memperlakukan penyelamat nyawa? Zaman sekarang, kemanusiaan sudah hilang!"
"Sudah cukup!" Mendengar Tao Jiangwei seperti Biksu Tang Sanzang membaca mantra, Lao Yang akhirnya bersuara: "Kau boleh ikut kami, tapi jangan bilang tidak kuingatkan! Hal-hal yang akan kita lalui mungkin belum pernah kau alami setengah hidupmu ini. Jika terjadi sesuatu, kami tidak bertanggung jawab! Kami bukan sedang wisata, tapi menjalankan misi. Lebih baik kau pahami ini baik-baik!"
Tao Jiangwei mendengar Lao Yang mulai melunak dan mau membawanya pergi, seketika wajahnya berseri-seri sambil terus-menerus mengangguk dan membungkuk: "Aku mengerti! Aku mengerti! Aku sepenuhnya mengerti! Aku akan patuh mengikuti kalian, pasti tidak akan membuat masalah! Percayalah, aku ini pria yang punya kecerdasan!"
"Lebih baik seperti itu!" kata Lao Yang.
Lao Yang lalu berbalik ke arah Tu Xiaohua: "Polisi Tu Xiaohua, bisakah memberinya senjata perlindungan? Lihatlah dia bertangan kosong seperti ini, kalau sampai menghadapi bahaya, pasti yang pertama mati!"
Tu Xiaohua yang cukup pengertian mengangguk, menganggukkan dagunya memberi isyarat pada anak buah untuk menyerahkan pisau militer pada Tao Jiangwei. Tao Jiangwei memeluk erat pisau itu sambal terus memuji: "Wah, bagus sekali!"
Liang Qing menengadah melihat cuaca, mengerutkan alis: "Hari sudah sore, kami harus buru-buru melanjutkan perjalanan. Mungkin kita bisa cari tempat bermalam di kuil yang ada di hutan depan itu menurut ingatanku. Jangan sampai harus berkemah di tempat sepi begini!"
Kami mengangguk, menyegarkan kembali perasaan, lalu berjalan menuju hutan di depan dipimpin Liang Qing.
Saat senja mulai tiba, akhirnya kami sampai di pinggiran Hutan Wan Racun.
Liang Qing menunjuk ke arah hutan lebat yang hitam pekat: "Hutan lebat di depan itu adalah Hutan Wan Racun!"
Aku memusatkan penglihatan, melirik ke arah Hutan Wan Du. Kurasakan hutan itu gelap gulita, tak tertembus cahaya, dipenuhi aura suram yang begitu pekat, menciptakan sensasi mencekam yang membuat tak nyaman.
Di tepi hutan lebat ini, benar-benar berdiri sebuah kuil.
Thailand sebagai negara besar penganut Buddhisme, budaya Buddha berkembang pesat di mana-mana. Maka tak heran kuil-kuil besar kecil mudah ditemui bahkan di pedalaman terpencil seperti ini.
Orang Thailand gemar bersembahyang, sehingga hio dan lilin di kuil biasanya ramai. Tapi karena lokasinya terisolir, kuil di hadapan kami ini terlihat lusuh. Bila dibandingkan dengan Kuil Giok Buddha sebelumnya, bagai bangsawan mewah berhadapan dengan pengemis compang-camping.
Kuil ini jelas sudah lama tak terawat, terlihat bobrok di mana-mana.
Reruntuhan temboknya penuh bercak lapuk, seperti penderita penyakit kulit—di sini lepas sebidang plester, di sana mengelupas cat. Di balik plester yang mengelupas, semut-semut membangun sarang dengan lubang-lubang kecil sebesar jarum, berjejal keluar-masuk.
Liang Qing mendekat mengamati: "Kayaknya malam ini bakal hujan!"
"Lho? Bukannya cahaya matahari terbenam ini masih kemerahan?" sahut Lao Yang.
Liang Qing menunjuk ke arah pasukan semut zeni yang sedang mengangkut barang: "Semut berbaris lurus, membawa sesuatu ke sarang. Ini pertanda hujan akan turun, jadi koloni semut harus menyiapkan cadangan makanan lebih dulu!"
Melewati tembok luar, kami sampai di pintu gerbang kuil. Pintu kayu merah aslinya sudah lapuk parah. Papan-papan kayunya sudah busuk. Di atas pintu tergantung papan nama horizontal bertuliskan aksara Thailand, mungkin nama kuil. Liang Qing menjelaskan, tulisan di papan itu adalah "Kuil Menluo".
Tao Jiangwei mengeluarkan buku catatan, terus menulis dan menggambar di dalamnya. Ia mencatat semua kondisi lingkungan sekitar dan penjelasan Liang Qing dengan sangat serius. Cara kerjanya yang penuh dedikasi justru terlihat keren, memancarkan aura seniman yang kuat.
Papan nama itu sudah copot di salah satu sudutnya, tergantung menggantung di udara. Tertiup angin, berbunyi kreek-kreek sambil bergoyang.
Papan nama penuh debu, dipenuhi jaring laba-laba dengan seekor laba-laba besar bergelantungan di atasnya.
Melihat kondisi memprihatinkan Kuil Menluo, Lingsheng dan Lingdu menyatukan kedua tangan sambil bergumam mantra Buddhis yang tidak kami pahami.
Kurasa terjemahannya kira-kira seperti "Amitabha" yang sering kita dengar.
Liang Qing mendorong pintu gerbang dan masuk lebih dulu. Debu berhamburan dari atas pintu, memperkuat kesan muram dan rusak di tempat ini.
“Kuil ini tidak terlalu besar, selain aula utama, di belakangnya terdapat kolam harapan, lalu kamar paviliun, ruang pembacaan sutra, serta dapur dan lainnya, membentuk huruf U.”
Di aula utama terdapat tiga patung Buddha, aku tidak tahu jenis Buddha apa. Patung di tengah lebih tinggi, dari sisa cat yang masih menempel, patung ini dulu pastinya dilapisi jubah emas. Namun sekarang lapisan emas di permukaan patung hampir seluruhnya terkelupas.
Di sisi kiri-kanan patung utama ini, ada dua patung Buddha kecil. Cat pada kedua patung kecil ini juga sudah lapuk dan terkelupas, dengan jaring laba-laba tergantung di atasnya. Tempat hio di depan sudah lama kosong, hanya menumpuk debu tebal.
Lingsheng dan Lingdu maju ke depan. Sebagai murid agama Buddha, melihat kondisi patung yang begitu bobrok, hati mereka tentu sedih. Tak peduli kotoran, mereka langsung membersihkan jaring laba-laba dengan tangan.
Melihat kesungguhan Lingsheng dan Lingdu, aku tak tahan menyatukan kedua tangan, hendak memberi penghormatan pada ketiga patung ini.
Liang Qing tiba-tiba menarik lenganku, melirikku diam-diam sambil berbisik: "Jangan sembah!"
"Kenapa?" Aku bingung menatap Liang Qing.
Orang Tiongkok punya kebiasaan: setiap melihat patung Bodhisattva atau dewa, pasti memberi penghormatan. Seperti pepatah: "Pergi ke suatu tempat, sembah di tempat itu!"
Tapi di Thailand aturannya berbeda. Liang Qing berkata dengan wajah serius: "Kuil di Thailand tidak bisa sembarangan disembah!"
