Matahari kembali terbenam, hutan belantara terasa sangat hening.
Sisa cahaya senja menembus celah-celah ranting pohon, meninggalkan bayangan berbintik di tanah.
Liang Qing memegang kompas di tangan kirinya. Tangan kanannya menggenggam pisau komando, sesekali mengangkat kompas untuk memastikan arah, lalu mengayunkan pisau untuk menebas semak berduri sambil memimpin jalan di depan.
Saat cuaca mulai gelap, kami menemukan beberapa cahaya api yang tersebar di kedalaman hutan.
Tempat yang bercahaya pasti ada penghuninya, kami memperlambat langkah dan perlahan-lahan menyusup mendekati sumber cahaya itu.
Ketika sampai di dekatnya, barulah kami sadar bahwa tak jauh di depan terdapat sebuah desa.
Di dalam desa itu berdiri beberapa tiang kayu berbentuk obor, bagian atasnya terbakar api nanar yang menerangi seluruh permukiman.
Desa ini terletak di jantung hutan lebat, berukuran kecil dengan sekitar 20-30 rumah penduduk. Seluruh bangunan dibuat dari material kayu hutan setempat, terlihat megah dengan arsitektur klasik.
Kami merasa lega dalam hati, berpikir malam ini bisa menginap di desa daripada harus berkemah di alam liar.
Tepat ketika kami bersiap masuk desa untuk meminta tempat menginap, tiba-tiba terdengar jeritan menyayat hati dari dalam permukiman. Suara itu memecah kesunyian malam, bergema nyaring di tengah hutan yang sunyi.
Dadaku berdebar kencang. Kami segera bersembunyi di balik semak-semak, membuka mata lebar-lebar sambil mengawasi situasi di desa dengan penuh kewaspadaan.
Terlihat seorang pria berpakaian khas suku minoritas. Ia berlari panik keluar dari desa, langkahnya sempoyongan, terus menengok ke belakang dengan wajah ketakutan, seolah ada sesuatu mengerikan yang sedang mengejarnya.
Liang Qing berseru: "Ini pakaian suku Yao! Pastinya ini desa suku Yao!"
Begitu Liang Qing selesai bicara, terdengar teriakan panik Tao Jiangwei: "Astaga! Lihat! Benda hantu apa itu?!"
Pandangan kami mengikuti arah belakang pria Yao itu. Begitu melihatnya, wajah semua orang langsung berubah.
Jantungku berdesir ketakutan, Sialan! Situasi apa ini?!
Benar ada sesuatu yang mengejar pria Yao itu. Bukan binatang buas, bukan hantu, juga bukan manusia. Tapi... sebuah kepala manusia!
Benar!
Dengan ngeri kami melihat sebuah kepala berambut panjang melayang berputar-putar. Mengejar keluar dari desa.
Tanpa sadar kami melotot, semua mulut terbuka. Memandang adegan tak wajar di depan mata ini.
Adegan aneh dan mengerikan yang biasanya hanya ada di film horor ini, tak disangka benar-benar terjadi di depan kami.
Sebuah kepala manusia bisa terbang melayang, bahkan seperti punya kesadaran sendiri mengejar pria Yao itu.
Pria Yao itu ketakutan setengah mati, berlari terhuyung-huyung, dan segera disusul oleh kepala aneh itu.
Sebelum kami sempat sadar, terdengar jeritan menyayat hati dari pria suku Yao itu: "Aduh——"
Kepala manusia aneh itu tiba-tiba membuka mulut dan menggigit leher pria suku Yao.
Gigi kepala itu sangat tajam, dengan mudah menerobos arteri leher pria tersebut. Darah mendidih menyembur tinggi membentuk busur di udara, bagai pelangi berwarna merah.
Jeritan pria suku Yao terhenti tiba-tiba. Kedua tangannya menarik-narik kepala itu, namun benda tersebut seperti belatung yang melekat di tulang, terus menggerogoti lehernya. Darah memancur deras bagai air mancur, membentuk kabut darah kental.
Perlawanan pria suku Yao semakin melemah. Terhuyung-huyung akibat kehilangan darah, akhirnya ia terjatuh dan menyerah.
Gubrak! Gubrak!
Kepala itu masih terus menghisap darah, menelan genangan darah kental dengan lahap. Bahkan terlihat bagian bawah leher kepala itu mengembang sedikit.
Yang membuat ngeri sekaligus membingungkan: Mengapa darah yang ditelan itu tidak bocor dari bekas luka di lehernya?
Pria suku Yao itu meregangkan anggota badan dan menghembuskan napas terakhir. Matanya melotok bulat, menunjukkan ekspresi penuh kekecewaan saat ajal menjemput.
Pada saat itu, kepala manusia itu berputar dan terbang ke atas, mengeluarkan tawa aneh cekikikan yang mengerikan ke arah mayat pria dari suku Yao.
Kepala manusia ternyata bisa tertawa?!
Jika tidak melihat langsung dengan mata kepala sendiri, aku sulit mempercayai semua yang baru saja terjadi.
Sebuah bayangan manusia perlahan keluar dari desa-desa. Bayangan itu mengenakan jubah panjang dengan kerah, seluruh tubuhnya tersembunyi di balik jubah tersebut.
Kami serentak menghirup napas dingin, biji mata kami nyaris terlempar keluar dari soketnya.
Ya ampun!
Bayangan manusia ini... ternyata tidak memiliki kepala!
Mari kita gunakan imajinasi sejenak: seorang manusia tanpa kepala berjalan tegap keluar dari desa-desa – sungguh pemandangan yang sangat aneh dan mengerikan! Ini jelas melanggar logika biasa. Manusia tanpa kepala seharusnya hanyalah mayat, tapi bagaimana mayat tak berkepala ini bisa berjalan? Langkahnya pun sama naturalnya dengan manusia biasa. Yang paling membingungkan adalah bekas luka di lehernya terlihat rapi, sama sekali tidak ada darah yang mengalir.
Saat kami masih diliputi kengerian, sesuatu yang lebih misterius terjadi.
Tubuh tanpa kepala itu mengangkat kedua lengannya, melambai ke arah kepala yang melayang itu sambil melantunkan mantra dengan lantang: "Kepala datang! Kepala datang!"
Kepala yang melayang di udara tiba-tiba berputar cepat seperti menerima perintah, lalu terbang berputar-putar menuju tubuh tanpa kepala itu dan dengan mantap mendarat di bekas luka di lehernya.
"Orang itu mengangkat kedua tangannya menahan kepalanya, memutar kepala 180 derajat hingga wajahnya menghadap ke depan. Kemudian memutar lehernya, terdengar suara plak-plak, kepala manusia itu ternyata menyatu kembali dengan tubuhnya, bekas luka di leher benar-benar rapat tanpa celah atau luka tersisa."
Kami terpana, ilmu hitam macam apa ini? Sungguh aneh melebihi imajinasi kami!
Sebuah kepala manusia bisa terlepas dari tubuh, terbang menggigit dan menghisap darah, lalu kembali menyambung ke tubuhnya. Ini benar-benar mengerikan tanpa alasan, hati kami menggigil ketakutan.
Senyuman suram muncul di wajah pria itu. Ia menendang mayat pria suku Yao di tanah yang sudah kaku tak bergerak.
Tiba-tiba Liang Qing berkata dengan wajah pucat: "Ini adalah Fei Tou Jiang! Ini Fei Tou Jiang!"
Fei Tou Jiang?!
Hati kami berdebar, apakah pria beraura Yin itu juga seorang tukang santet? Apakah dia anggota Siam Jiao?
Pipi Liang Qing berkedut gugup: "Fei Tou Jiang adalah ilmu santet kuno yang jahat. Tukang santet bisa mengendalikan kepalanya sendiri untuk membunuh, tapi kultivasinya membutuhkan darah manusia!"
"Dasar Pak!" umpat Murong Feng sambil mengangkat pistol.
Lao Yang menahan lengan Murong Feng: "Jangan terburu emosi, amati situasi dulu!"
Murong Feng kesal melepaskan lengannya, matanya penuh api kemarahan.
Beberapa saat kemudian, suara riuh rendah warga terdengar dari dalam desa. Puluhan warga suku Yao berbaris rapi menuju tanah lapang di depan desa.
Empat tukang santet berbaju panjang dan berjubah mengikuti di samping kerumunan. Warga suku Yao itu menundukkan kepala, ternyata sedang diarak oleh keempat tukang santet itu.
Kami bukan orang bodoh. Sekilas sudah mengerti: Lima tukang santet telah menyusup ke desa Yao, menyandera seluruh warga. Entah apa maksud jahat mereka?
Di antara tukang santet itu, kami melihat wajah yang familiar.
A Bei?!
Kami melihat A Bei!
A Bei masih dengan wajah dingin dan suramnya, berdiri di depan kerumunan. Cahaya api menerangi wajahnya yang mengerikan dan buruk rupa.
Pepatah mengatakan: Musuh bertemu, mata langsung merah.
Saat Murong Feng melihat A Bei, amarahnya langsung meledak: "Aku tidak percaya! Itu A Bei! Aku harus membunuh bajingan itu!"
Lao Yang dan Lao Niao mati-matian menghalangi Murong Feng: "Jangan heboh! Kita belum tahu maksud mereka! Lebih baik jangan membuat siluman waspada!"
Wajah Murong Feng memucat seperti hati babi: "Aku tidak percaya! Bagaimana mungkin aku tidak heboh?"
Aku menepuk-nepuk bahu Murong Feng: "Tenanglah! Kalau A Bei sudah muncul, kami takkan membiarkannya lari!"
Murong Feng akhirnya tenang, menggigit giginya dengan kebencian sambil mengangguk.
Mayat pria suku Yao itu tergeletak di hadapan warga, bagai membunuh ayam untuk mengancam monyet.
Melihat mayat pria Yao, banyak warga menunjukkan raut panik. Yang penakut bahkan menundukkan kepala, tak tega memandang.
Seorang wanita Yao menerobos kerumunan, menjatuhkan diri ke mayat pria itu sambil meraung menangis.
Tukang santet kepala terbang itu tampaknya pemimpin kelompok. Ia tersenyum sinis, menunjuk ke arah wanita Yao.
A Bei mendekat tanpa belas kasihan, mencengkeram rambut wanita itu dan memaksa wajahnya menghadap tukang santet.
Dalam cahaya api, mata merah wanita itu dan pipi kemerahannya memperlihatkan sisa-sisa kecantikan.
Tukang santet itu terkekeh puas sambil mengangguk.
A Bei memahami isyarat, mengeluarkan pil aneh dari labu kecil di pinggangnya dan memaksanya masuk ke mulut wanita.
Wanita itu menggigit bibirnya kuat-kuat, menolak menelan.
A Bei menampar punggungnya, membuat pil itu terguling masuk ke perut.
"Hanya sekejap mata, ekspresi wanita itu menjadi beku. Ia tidak menangis lagi, diam-diam berdiri seperti boneka kayu yang dikendalikan orang, patuh berjalan ke belakang A Bei, lalu berdiri dengan tangan terkulai."
"Kalian ini menciptakan karma buruk! Sungguh karma buruk!" Seorang tetua suku Yao maju dari kerumunan. Janggut kambingnya sudah memutih, tangan kirinya memegang tongkat bambu. Dengan marah ia memukulkan tongkatnya ke tanah, memaki para tukang santet itu.
"Kakek tua bangsat, minggir! Ini bukan urusanmu!" Guru Kepala Terbang berkata dingin.
"Aku kepala desa Yao ini. Kalau ada masalah, hadapi aku! Jangan sakiti warga desaku!" Tubuh kakek Yao itu kurus, tapi saat mengucapkan ini, seolah ia tumbuh besar dan perkasa.
"Hehe!" Guru Kepala Terbang menyeringai merendahkan: "Kakek yang tanah kuburan sudah sampai di bibir ini masih mau jadi pahlawan? Minggir! Jangan paksa aku mengamuk. Aku hanya mau wanita di desa kalian!"
