Chang Xian bukan hanya pekerja media esports, dia sendiri adalah pemain setia Glory. Konten kerjanya seluruhnya berkaitan dengan Glory; di waktu luang, hiburan untuk membuang waktu tetap bermain Glory.
Di Shen Zhi Lingyu, Chang Xian juga punya akun Master Bela Diri. Di dalam game, dia seperti pemain biasa. Seperti banyak pemain biasa lainnya, dia pernah menjadi korban pemulung paling kejam di Glory, Destroying Immortality.
Saat mempersiapkan wawancara, Chang Xian sudah melihat nama karakter Destroying Immortality () dalam daftar pendaftaran Tim Xingxin. Namun sejak tantangan sebelumnya hingga tiga pertandingan berturut-turut belakangan ini, karakter Destroying Immortality sama sekali tidak muncul. Chang Xian mengira orang ini akhirnya tidak bergabung dengan Xingxin. Tapi setelah datang, dia benar-benar melihat Destroying Immortality. Seketika itu juga, dendam kecil Chang Xian terhadap Destroying Immortality meledak di depan mata. Dalam PK saat itu, dia tumbang, senjatanya di-drop. Sebelum sempat menyuruh rekannya mengambilnya, bayangan gesit menyelinap di kerumunan pertempuran massal, mengambil senjatanya dan pergi.
Chang Xian yang sudah dalam mode kamera arwah menyaksikan semua ini jelas-jelas. Sarung tangan petir itu dia dapatkan setelah menghabiskan waktu tak terhitung. Tapi dalam satu PK ini, seorang Pemulung dengan mudah mengambilnya. Chang Xian merasa begitu memuakkan sampai seminggu tak berminat bermain game.
Dia pernah berpikir untuk mencari masalah dengan Destroying Immortality, tapi Domain of Gods sangat luas. Mencari seseorang tidak bisa hanya mengandalkan kesabaran dan ketekunan. Chang Xian bertahan beberapa waktu namun akhirnya menyerah. Sekarang kejadian itu sudah lama berlalu, saat melihat anggota Tim Xingxin ternyata ada Destroying Immortality, dia sempat marah. Tapi menghadapi Tim Xingxin sebagai bagian pekerjaan, dia tidak boleh mencampurkan perasaan pribadi. Apalagi meskipun Destroying Immortality ada di daftar anggota, tapi tidak pernah muncul, belum tentu benar-benar ada! Aturan Tantangan Rookie memang cukup longgar.
Chang Xian tidak menganggap serius masalah Destroying Immortality ini. Sampai tiba-tiba saat perkenalan, pria angkuh dingin yang dikiranya Ye Qiu ini ternyata adalah Destroying Immortality. Wajah Destroying Immortality yang dia ingat itu membuatnya geram. Tanpa pikir panjang, dia langsung berbalik ingin menagih utang pada Mo Fan.
Semua orang terkejut mendengarnya. Kebetulan seperti ini bisa terjadi! Mereka menggeleng-gelengkan kepala takjub, tapi tak ada yang maju berkata-kata. Ekspresi Mo Fan yang biasanya datar kini terlihat bengong. Tampaknya dia sama sekali tidak punya persiapan psikologis untuk bertemu korban langsung seperti ini.
"Kamu... siapa?" Mo Fan akhirnya bertanya.
"Namaku Penuai Maut. Sarung Tangan Petir-ku waktu itu kau ambil, ya? Kayaknya kau tidak akan ingat!" teriak Chang Xian.
"Benar." kata Mo Fan.
"Sekarang aku bantu kamu ingat, kembalikan padaku!" Chang Xian berteriak. Faktanya sekarang dia sudah memiliki senjata yang juga bagus, yang masih dipermasalahkan bukanlah senjatanya sendiri, melainkan rasa kesal saat menyaksikan senjata kesayangannya diambil orang dengan helpless. Chang Xian sekarang sudah cukup tenang, soalnya kejadian itu sudah berlalu beberapa waktu. Jika benar-benar terjadi dalam satu minggu setelah insiden itu, dia yakin mungkin sekarang dirinya juga punya keberanian untuk memotong paha si pemalas ini.
"Sudah tidak ada." Jawaban Mo Fan cukup jujur, tapi justru membuat Chang Xian semakin panik. Dirinya bukan benar-benar ingin merebut kembali peralatan itu, sekarang setelah berhasil menemui orangnya, seharusnya ada sikap yang pantas ditunjukkan kan? Ini sopan-santun macam apa?
“Kamu kamu……” Chang Xian “kamu kamu” dua kali, tapi menyadari dirinya pun tak bisa berkata-kata. Dia bukan mengincar peralatan, hanya ingin melampiaskan amarahnya. Tapi kini dia justru sadar tak tahu harus bagaimana agar bisa melampiaskan amarah ini – memukuli lawan sampai babak belur? Chang Xian tahu ini agak tidak realistis.
Saat keduanya sedang berhadapan, Qiao Yifan yang mengendap-endap mengambil air justru kembali sambil membawa gelas. Tanpa tahu apa yang terjadi di sisi ini, melihat Chang Xian berdiri di depan mata semua orang, langsung dia menyodorkan gelas air itu.
“Minumlah.” Tiba-tiba muncul seorang bocah pengantar air di sebelahnya, membuat Chang Xian bingung harus bereaksi bagaimana.
Semua orang juga menopang dahi mereka, benar-benar adegan yang tak terduga ini!
“Ahem, Xiao Chang. Mo Fan mengambil peralatanmu, kamu hari ini menabrakku. Menurutku masalah ini kita kompensasikan saja, bagaimana? Berdebat juga tidak ada gunanya.” Chen Guo menunjukkan wibawa sebagai si bos wanita, mengambil alih masalah ini. Sebenarnya, kompensasi model apa ini? Tapi Chen Guo sudah menyadari, kemarahan Chang Xian sebenarnya tidak sebesar yang ditunjukkannya. Mungkin karena sudah lama berlalu, dendamnya tidak begitu besar, hanya seperti bekas luka di hati. Jika bertemu orang yang pandai bersosialisasi, mungkin dengan beberapa kata saja, mereka malah bisa menjadi teman! Tapi sayangnya, Mo Fan jelas bukan tipe orang seperti itu. Lihatlah dia masih dengan serius berkata "tidak bisa menemukan", seolah sengaja membuat orang kesal.
Chang Xian yang berdebat dengan si pemalas ini agak terjebak situasi. Perkataan Chen Guo ini sebenarnya memberinya alasan untuk melupakan masalah.
Chang Xian yang sudah setahun menjadi wartawan memang punya kecerdikan. Begitu dengar ini, dia segera paham bahwa Chen Guo sedang memberinya tangga untuk turun dari situasi canggung dengan Mo Fan. Dia langsung meraih kesempatan, sambil berterima kasih pada Qiao Yifan yang membawakan air, mulai berbasa-basi dengan Chen Guo.
Qiao Yifan yang bingung, tidak tahu apa yang terjadi di sisi ini saat dia mengambil air, bertanya pada Mo Fan di sampingnya dengan wajah bingung: "Ada apa?"
“Minta peralatanku ya!” Mo Fan menjawab sesederhana mungkin, membuat Chang Xian di seberang hampir menumpahkan air dari cangkirnya. Bukankah dirinya sedang menagih peralatan? Ini soal mengembalikan peralatan, beda tipis kata tapi maknanya jauh berbeda!
Chen Guo juga tidak terlalu suka pada Mo Fan. Mendengar si pemalas itu lagi-lagi bicara singkat tapi menyebalkan, hatinya juga jengkel. Langsung dia berkata pada Chang Xian: “Xiao Chang, urusan resmi dulu saja. Kalau urusan pribadi mau diselesaikan, nanti kalian berdua bisa mengurusnya sendiri, tidak ada yang menghalangi.”
“Oh iya, baiklah! Mari kita mulai sekarang? Sejujurnya aku belum terlalu mengenal kalian, maaf ya kalau ada pertanyaan yang kurang pas,” kata Chang Xian yang mulai serius menjalankan tugasnya dengan profesional.
“Hehe, tanyakan saja apa yang ingin kamu tanya,” ujar Chen Guo.
“Sebenarnya aku sangat penasaran, apakah Ye Qiu – mantan kapten Tim Jia Shi, Ye Qiu Shen itu – ada di Tim Xingxin kalian?” Langsung Chang Xian melemparkan pertanyaan paling membara ini.
Chen Guo melirik Ye Xiu. Semua orang juga memandangi Ye Xiu. Penasaran bagaimana si pemalas ini akan menghadapi pertanyaan itu.
“Hmm, dia? Bisa dibilang ada, bisa juga tidak,” jawab Ye Xiu.
“Maksudnya gimana?” Chang Xian bingung.
“Nanti kamu akan mengerti,” Ye Xiu tersenyum.
Licik sekali! Semua orang terkesima. Apa begitu saja dibujuk? Apa wartawan tidak akan mengejar-ngejar lagi?
Chang Xian memang tidak terus mendesak. Dalam melakukan wawancara eksklusif seperti ini, perlu ada pertimbangan akan batas yang tepat. Memaksa pertanyaan yang jelas tidak ingin dijawab lawan bicara sampai membuat atmosfer menjadi kaku, tentu akan merugikan proses wawancara selanjutnya. Dari aspek ini, Chang Xian masih kurang pengalaman. Jika digantikan oleh wartawan berpengalaman seperti Cao Guangcheng, pertanyaan semacam ini pasti tidak akan dilewatkan. Tapi tidak akan diajukan di awal. Karena jika ditanyakan sejak awal, memang harus ada kesadaran akan batas - tidak boleh merusak atmosfer sejak awal. Hal ini berpotensi memicu masalah emosional. Menyimpannya untuk ditanyakan di saat-saat terakhir justru lebih baik. Jika ternyata tidak ada jawaban bernilai tinggi, cukup tertawa ringan lalu mengakhiri wawancara dengan lancar. Jika menemukan materi yang berpotensi eksklusif, meski dengan interogasi intensif yang mungkin menyinggung perasaan, setidaknya tidak terlalu mempengaruhi wawancara kali ini.
"Chang Xian terlalu terburu-buru, sehingga sejak awal langsung melemparkan masalah ini. Namun dia tahu wawancara tidak boleh terlalu tajam di awal, akhirnya pertanyaan ini langsung dilupakannya setelah dibelokkan oleh Ye Xiu dengan jawaban ambigu."
Selanjutnya, Chang Xian secara natural menanyakan soal kesombongan Xingxin yang sedang banyak dikritik orang.
Ye Xiu kembali tersenyum: "Pertandingan selanjutnya akan membuktikan semuanya."
"Kelihatannya kalian sangat yakin. Menurut Kapten, apakah kekuatan tim kalian sudah cukup untuk menghempaskan Tim Jia Shi?" tanya Chang Xian.
"Dalam pertandingan, tidak ada yang tidak mungkin," jawab Ye Xiu sambil tertawa.
"Di dalam hati, semua orang mulai mengeluarkan suara hinaan lagi. Sebenarnya, bagaimana menghadapi Jia Shi juga menjadi dilema bagi Xingxin! Jika benar-benar harus melawan Jia Shi sekarang, Xingxin sama sekali tidak punya kepercayaan diri. Yang diandalkan Ye Xiu adalah para pemain dan karakter Xingxin masih memiliki ruang peningkatan yang besar. Mereka sekarang dan mereka yang akan dihadapi Jia Shi nanti, mungkin benar-benar berbeda."
"Hal ini pernah dijelaskan Ye Xiu kepada mereka, tapi sekarang saat menghadapi wawancara, si pemalas ini malah menutup mulut rapat-rapat. Dia malah mengikuti pertanyaan wartawan, seolah-olah sangat yakin bisa mengalahkan Jia Shi."
"Eh, bisakah kita membahas tentang kelas Loner yang sedang Anda gunakan? Sejauh yang saya tahu, karakter Loner Jun Moxiao milik Anda memiliki Senjata Perak ajaib yang bisa berubah bentuk secara bebas."
"Benar."
"Senjata ini sepertinya memang dirancang khusus untuk Loner. Bisakah Anda ceritakan ide di balik pembuatan senjata khusus ini? Menurutku pasti butuh usaha yang sangat besar ya?"
Semua orang kembali menatap Ye Xiu.
Terutama Chen Guo, pertanyaan ini bisa membangkitkan banyak kenangan dalam hati Ye Xiu. Pemuda yang telah tiada itu, sang jenius paling berbakat menurut mulut Ye Xiu. Chen Guo pernah ikut Ye Xiu dan Su Mucheng ziarah ke makamnya, dan sama sekali tidak meragukan hal itu.
"Ada seorang teman..." Chen Guo mendengar Ye Xiu mulai membuka topik.
