Setelah mengucapkan kalimat filosofis yang menggugah pikiran, Wei Chen ternyata tidak melanjutkan penjelasannya. Semua orang mulai menganalisis, mungkin detailnya sudah dijelaskan sebelumnya dan ini hanya kesimpulan akhir. Mereka sudah menonton pertandingan selama lebih dari satu jam, tapi tak melihat Wei Chen dan Baozi. Rupanya kedua orang ini sedang berdiri di pinggir jalan sementara Wei Chen bercerita tentang kejayaan masa lalunya?
"Jiwa apaan? Cuma dua tahun!" Ye Xiu maju dan tanpa ampun membongkar kebohongannya.
"Omongan kosong!" Wei Chen menoleh dan melihat Ye Xiu, tetap tenang, "Tanpa aku, mana mungkin ada Blue Rain?"
Perkataan Wei Chen memang benar. Sama seperti Ye Xiu, saat dia terjun ke lingkup Glory belum ada Liga Glory yang merupakan komunitas profesional saat itu! Awalnya semua hanya pemain game online biasa, bertahan dengan metode bermain game melalui aktivitas dalam game. Saat itu, guild tempat Ye Xiu berada adalah Dinasti Jia, tapi guild itu bukan dia yang dirikan. Orang yang mendirikan guild tersebut, mungkin di awal juga tak menyangka ini akan menjadi pondasi bagi Klub Jia Shi dalam membangun dinasti mereka di masa depan.
Guild Dinasti Jia, awalnya sama seperti guild pemain lainnya, dibentuk oleh seorang pemain yang mengumpulkan teman-teman yang dikenal di dalam game untuk membangun organisasi hiburan bersama. Dalam proses bermain, guild ini semakin berkembang pesat. Setelah pembentukan resmi Liga Glory, beberapa guild akhirnya menjadi pondasi klub dan tim esports di dunia game online. Guild Dinasti Jia termasuk contohnya, begitu juga Pavilion Blue River. Perbedaannya, Klub Jia Shi yang dibangun berdasarkan pondasi Dinasti Jia dimiliki langsung oleh pendiri guild tersebut yaitu Tao Xuan. Sedangkan Tim Blue Rain, meski investor utamanya berbeda, pondasi guild mereka benar-benar berasal dari usaha keras kapten pertama mereka Wei Chen di dunia game online. Tidak berlebihan mengatakan tanpa dia, Blue Rain tidak akan ada.
"Besok kalian kalah melawan adik kelasku ini, malu-maluin banget!" Wei Chen melototi para anggota Xingxin.
Bertarung melawan mantan pemilik baru setelah keluar dari tim, bagi kebanyakan orang adalah momen yang menyedihkan. Tapi Wei Chen membutuhkan waktu delapan tahun penuh untuk menyelesaikan ritme ini!
Delapan tahun, masih adakah perasaan yang tersisa untuk Blue Rain?
Meski sehari-hari si pemalas tua ini selalu membual tentang masa kejayaannya di Blue Rain dengan sikap pamer yang tanpa malu, semua orang bisa mendengar kerinduan akan masa lalu dalam kata-katanya.
Rindu masa muda? Atau rindu Blue Rain?
Tidak ada yang menggali lebih dalam, karena semua orang tahu, apapun sikap Wei Chen terhadap masa lalu, saat ini dia adalah bagian dari Xingxin, dan dia jelas-jelas berpihak pada Xingxin.
"Besok, semangat." Ye Xiu berkata.
"Semangat!" Beberapa anak muda berteriak bersama di pinggir jalan raya.
"Fang Rui mana?" Setelah melihat semangat pasukan semua orang memuncak, Ye Xiu bertanya sekilas.
"Tak terlihat si pemalas itu." Wei Chen menjawab.
Setiap orang memiliki cara berbeda untuk mempersiapkan diri. Apa yang dilakukan ahli aliran licik ini? Semua penasaran, tapi tak ada yang mengganggunya hanya karena rasa ingin tahu.
Kompleks Perumahan Shanglin Yuan.
Meski sudah larut, masih banyak orang yang sedang menikmati udara malam atau mengajak anjing jalan-jalan di area perumahan. Su Mucheng dan Tang Rou duduk bersama di bangku batu pinggir jalan, menatap langit.
"Cuaca siang hari ini sangat bagus, kenapa malamnya tetap tidak ada bintang?" Su Mucheng bertanya.
"Bintang-bintang selalu ada secara objektif. Sayangnya polusi udara sekarang parah. Jadi bukan tidak ada, hanya tak terlihat. Atau mungkin cahaya bintang terlalu lemah, disembunyikan oleh lampu-lampu kota ini!" Tang Rou menjelaskan.
"Hmm, sayang sekali ya!" Su Mucheng menghela nafas.
"Omong-omong," tiba-tiba Tang Rou berkata, "Perasaanmu seperti apa saat pertama kali main playoff?"
"Pertama kali? Aku sangat gugup, khawatir. Takut performaku kurang bagus, takut tidak bisa membantunya." Jawab Su Mucheng.
“Terus kemudian bagaimana?” Tang Rou tidak bertanya siapa "dia" itu, ini sudah jelas!
“Kemudian… Aku memang tidak melakukan yang terbaik. Jika saat itu aku lebih hebat, mungkin Jia Shi tahun itu masih akan menjadi juara… Han Wenqing pernah kalah dari Ye Xiu tiga kali di playoff, tapi saat itu dia menang karena punya sekutu yang baik, sedangkan Ye Xiu tidak…” Ekspresi Su Mucheng berubah muram.
Tang Rou diam-diam menyesal. Ia lupa bahwa di playoff pertama Su Mucheng, mereka hanya meraih runner-up. Sepertinya ini prestasi yang bagus setelah juara, tapi sebenarnya sangat menyakitkan. Perasaan hanya selangkah lagi bisa meraih kesuksesan itu benar-benar bisa membuat seseorang kolaps. Kekecewaan dan penyesalan diri—tidak ada prestasi yang bisa membawa lebih banyak emosi ini selain posisi kedua di bawah juara.
“Maaf,” kata Tang Rou.
“Tidak apa-apa, ini sudah lama berlalu,” jawab Su Mucheng.
Sudah lama? Tang Rou berpikir dalam hati. Saat itu, Jia Shi gagal meraih juara di final kejuaraan. Setelah itu, Tim Jia Shi bahkan tidak pernah masuk final lagi. Apakah penyesalan Su Mucheng semakin berat? Apakah ia selalu merasa tidak membantu Ye Xiu dengan baik?
“Kali ini kita pasti menang!” seru Tang Rou.
“Kamu tidak gugup?” tanya Su Mucheng sambil tersenyum.
“Awalnya kupikir aku tidak akan gugup, tapi faktanya, ternyata tidak begitu.” Tang Rou berkata. Gugup? Apa itu? Hal yang biasanya membuat orang gugup justru membuat Tang Rou semakin bersemangat dan termotivasi. Tapi kali ini? Semangat dan motivasi itu tetap ada, namun kegugupan tidak sepenuhnya hilang. Tang Rou menyadari ada sedikit rasa takut di dalam hatinya. Dia mengakui hal itu.
“Benarkah?” Su Mucheng tetap tersenyum, “Mungkin itu justru baik! Sebenarnya selama ini menurutku kamu kurang merasakan kegugupan. Kalau terlalu gugup tentu tidak baik, tapi sama sekali tidak gugup juga bukan hal yang bagus!”
“Apa Ye Xiu juga pernah merasa gugup?” tanya Tang Rou.
“Tentu dia gugup. Sebenarnya sepanjang musim ini dia selalu tegang. Kalau tidak, kenapa dia berusaha mati-matian seperti ini?” jawab Su Mucheng.
“Aku tidak melihatnya.” Tang Rou bergumam.
“Kegugupan bisa diubah menjadi motivasi! Kamu harus menikmati kegugupan yang sulit didapat ini! Ini bukan rintangan, tapi nutrisi bagimu.” kata Su Mucheng.
“Inikah cara menghilangkan tekanan playoff? Dengan 'memakan' kegugupan sebagai suplemen?” tanya Tang Rou.
“Solusi ini tidak bagus?” balas Su Mucheng.
“Sepertinya hanya ini jalan keluarnya.” Tang Rou mengangguk. Dia mulai memahami maksud Su Mucheng.
“Hah, kalian berdua di sini ya!” Tepat saat itu, Ye Xiu dan kawan-kawan dari kelompok tua-muda juga kembali ke area perumahan. Berjalan menyusuri jalan raya utama, mereka melihat dua orang yang sedang duduk di bangku batu.
“Iya!” Su Mucheng dan Tang Rou berdiri, mereka juga sudah bersiap untuk pulang.
Hingga saat ini, para anggota Tim Xingxin sudah hampir semuanya berkumpul, kecuali Mo Fan yang masih di ruang latihan menonton rekaman, dan Fang Rui yang tidak terlihat keberadaannya sejak tadi.
“Si pemalas Fang Rui itu sebenarnya lari ke mana ya?” Ye Xiu kembali bergumam santai.
“Dia? Sudah tidur!” kata Su Mucheng.
“Hmm?”
“Pulang lewat jam 8, lalu langsung tidur,” jelas Su Mucheng.
“Tidur lewat jam 8 malam?” Semua orang saling pandang bingung.
Jam lewat delapan malam, Ye Xiu, Qiao Yifan, An Wenyi, Luo Ji sedang menonton pertandingan malam ini; Wei Chen dan Baozi asyik ngibul di pinggir jalan; Su Mucheng dan Tang Rou jalan-jalan sambil mengobrol di area perumahan, sementara Fang Rui sudah tidur sejak sore.
"Tidur jam delapan, orang ini mau tidur berapa lama sih?" Wei Chen terkagum-kagum.
"Inikah cara dia meredakan tekanan?" tanya semua orang.
"Bisa jadi dia takut insomnia karena gugup, makanya lebih cepat tidur untuk punya waktu lebih buat memancing kantuk," lanjut perbincangan mereka.
Meski penasaran, tak ada yang benar-benar memeriksa apakah Fang Rui sudah tertidur pulas. Malam sebelum pertandingan akhirnya berakhir dengan ritme khas: awalnya berpisah, tapi pada akhirnya hampir semua berkumpul lagi.
Keesokan harinya pagi-pagi, Ye Xiu bangun dan turun ke lantai bawah. Fang Rui yang memang biasa tidur jam 8 malam itu sudah berada di ruang tamu dengan penuh semangat membaca koran.
"Tim 301 kalah cukup parah!" ujar Fang Rui sambil menyapa Ye Xiu yang baru turun. Di tangannya terlihat Esports Weekly edisi hari ini yang sudah berhasil dibelinya. Di musim playoff seperti sekarang, koran esports memang laris manis, apalagi di sekitar bekas markas Klub Jia Shi. Kalau tidak berangkat pagi-pagi, belum tentu bisa mendapatkannya.
"Iya, aku sudah tonton pertandingannya," jawab Ye Xiu.
"Dominant Hero akhirnya mengerahkan tenaga penuh?" tanya Fang Rui.
"Tentu saja, masa tidak?" kata Ye Xiu.
"Tapi koran bilang gaya main mereka jadi lebih defensif," sanggah Fang Rui.
"Mereka mengubah strategi. Dominant Hero sekarang tidak lagi sembarangan menyerang seperti dulu," jelas Ye Xiu.
"Mereka memperlambat tempo?" Fang Rui menyelidik.
Ye Xiu mengangguk.
"Kita mungkin akan menghadapi mereka berikutnya. Ini akan jadi lebih sulit," ujar Fang Rui.
Dua top player ini tidak perlu berdebat panjang. Hanya dengan beberapa kalimat sederhana, mereka sudah memahami situasi sepenuhnya.
Dominant Hero didominasi oleh para veteran, secara objektif mereka memang tidak lagi cocok dengan ritme yang terlalu cepat. Para veteran lebih cocok dalam pertandingan dengan strategi solid untuk memanfaatkan pengalaman dan kesabaran mereka menghadapi lawan. Tapi Dominant Hero sebagai tim, selama ini bukanlah tim bergaya seperti itu. Mereka bertarung garang selama sepuluh tahun, namun di playoff musim ini justru memperlambat ritme secara keseluruhan.
Dominant Hero tidak hanya menggilir istirahat para veteran untuk menjaga stamina! Mereka melakukan penyesuaian mendasar pada strategi, menciptakan pola permainan yang lebih sesuai, bukan lagi mengikuti ritme lama.
"Yang akan menjadi menakutkan, bukan cuma para pemain tua itu," kata Ye Xiu.
"Oh?"
"Ada juga Zhang Xinjie," lanjut Ye Xiu.
"Dia?"
"Gaya bermainnya sebenarnya lebih cocok dengan strategi pertahanan wilayah berritme lambat. Secara alami, dia tidak kompatibel dengan gaya Dominant Hero. Hanya karena sifatnya yang gigih, dia bisa memaksakan diri beradaptasi dengan strategi yang tidak sesuai. Tapi sekarang, gaya Dominant Hero justru bergerak mendekati keahlian sejatinya!"
