Persiapan perayaan sederhana di kandang Dominant Hero untuk memperingati lolosnya tim mereka ke final kejuaraan akhirnya tak terpakai. Layar elektronik hanya menampilkan ucapan selamat formula untuk pihak pemenang.
Para pemain dari kedua tim berbaris di tengah arena.
Ye Xiu, Han Wenqing, Lin Jingyan, Zhang Jiale...
Para veteran ini bertemu, saling mengenal, dan saling bunuh di arena yang dibangun oleh semangat membara. Ada yang meninggalkan tawa, ada yang meninggalkan kesedihan, ada yang meninggalkan keharuan.
Mungkin hubungan mereka tidak bisa disebut sebagai teman, namun saling pengertian di antara mereka tidak kalah dari pasangan sahabat terdekat. Mereka memiliki keinginan yang sama, target yang sama. Di arena ini, mereka mengucurkan keringat yang sama, membara dengan semangat yang sama.
Sayangnya, setiap kali mustahil membuat semua orang meraih hasil yang diharapkan. Setiap kali pasti ada yang harus turun dari panggung dengan wajah muram di tengah jalan.
Semuanya berakhir...
Han Wenqing memandangi arena yang sudah begitu dikenalnya ini, memandangi penonton yang membisu.
Musim kompetisi lainnya telah usai, musim kesepuluh dalam karir profesionalnya, berakhir.
Gagal lagi.
Ya, di dalam hati Han Wenqing, tidak meraih juara berarti kekalahan. Kalimat "kalah tapi tetap terhormat" sama sekali tidak ia sukai.
Dan kali ini, orang yang mengakhiri kegagalannya dengan titik penuh - Ye Xiu, lagi-lagi Ye Xiu. Atau sebelumnya, si pemalas ini masih dipanggil Ye Qiu.
Han Wenqing sama sekali tidak peduli alasan perubahan nama. Apapun namanya, ia bisa langsung mengenali si pemalas ini di lapangan. Selama sepuluh tahun karirnya, orang yang paling banyak meninggalkan kenangan - dari ujung rambut sampai ujung kaki, campur aduk suka dan duka.
Kali ini, untuk keempat kalinya, Ye Xiu menanamkan pahitnya kekalahan bagi dia dan Dominant Hero di playoff. Namun setelah semuanya berakhir, kata pertama yang Han Wenqing ucapkan pada Ye Xiu adalah: "Selamat."
"Selamat, selamat atas kemenangan. Kesedihan diri sendiri justru menjadi kegembiraan lawan, kompetisi profesional memang sekejam ini."
"Terima kasih." Ye Xiu menjawab, kedua tangan mereka bersalaman.
Suasana hening tiba-tiba diselingi tepuk tangan yang tak kunjung mereda. Mereka benar-benar lawan yang layak dihormati, selama 10 tahun Glory, ketekunan mereka tak pernah goyah. Apapun rintangan yang dihadapi, hati yang mengejar gelar juara tak pernah redup.
Tapi dari kedua orang ini, akhirnya hanya satu yang bisa bertahan. Sungguh hal yang menyayat hati.
Fans Dominant Hero membenci bahkan mendendam pada Ye Xiu. Tapi saat ini, tanpa sadar mereka berharap: Bagaimana jika Ye Xiu dan Han Wenqing berada di tim yang sama? Jika mereka bisa bersama mengangkat piala juara, alih-alih terus bertempur?
Tapi kedua orang ini tak punya penyesalan seperti itu.
Banyak media di luar arena mengincar adegan kedua orang ini, berharap mereka menunjukkan interaksi yang lebih mengharukan. Tapi tidak ada.
Ucapan selamat, terima kasih, lalu berpisah.
Jangan harap ada pelukan, bahkan jabat tangan mereka tak bertahan lama sebelum berpisah. Keduanya berbalik arah, menuju target masing-masing...
Han Wenqing selanjutnya bertemu Su Mucheng. Ye Xiu? Dia melihat Lin Jingyan dan Zhang Jiale.
Biasanya, prosesi jabat tangan sebelum/lomba mengikuti urutan: Kapten pertama, lalu wakil kapten, dan seterusnya.
Xingxin hanya memiliki Kapten Ye Xiu, tanpa wakil kapten yang numpang nama, sehingga formasi tim lebih santai; Sementara di Dominant Hero, aura Wakil Kapten Zhang Xinjie sangat kuat. Tapi sekarang, Zhang Xinjie tidak berjabat tangan dengan Ye Xiu sesuai urutan biasa setelah Han Wenqing, melainkan Lin Jingyan dan Zhang Jiale yang maju bersama menghadap Ye Xiu.
"Pertandingan yang bagus." Lin Jingyan berjabat tangan dengan Ye Xiu sambil berkata.
"Terima kasih." Ye Xiu tetap memberikan jawaban singkat.
Kedua orang ini tidak seperti Han Wenqing yang telah berkonfrontasi dengannya selama sepuluh tahun, namun sisi tragis mereka mungkin lebih dalam daripada Han Wenqing.
Pasangan Han Wenqing dan Zhang Xinjie setidaknya berhasil mengalahkan Ye Xiu di Musim ke-4, menggulingkan Dinasti Jia Shi, dan meraih piala juara. Dengan dasar ini, meski karir selanjutnya tak berprestasi, mereka tak dianggap tragis.
Tapi Lin Jingyan dan Zhang Jiale, dua pemain Musim ke-2 yang hanya beda satu tahun perjuangan dari Ye Xiu dan Han Wenqing, tetap tak bisa meraih piala juara.
Lin Jingyan bahkan baru pertama kali masuk final musim lalu; Zhang Jiale di Glory dianggap sebagai lambang kesialan - empat kali masuk final, empat kali tangannya sudah menyentuh piala, tapi akhirnya gagal. Kali ini, bahkan kesempatan menyentuh pun tak ada.
“Semangat.” Zhang Jiale berkata pada Ye Xiu. Saat ini, dirinya akhirnya teringat musim panas dua tahun lalu ketika dia dan Ye Xiu yang sama-sama pensiunan bertemu di game online Glory.
Mereka seolah telah meninggalkan Glory, namun nyatanya hati juara dalam diri masing-masing masih belum padam. Akhirnya mereka memilih jalan berbeda. Ye Xiu menggunakan akun baru, berlatih dari level dasar di game online, merekrut anggota sambil membangun harapan sendiri, hingga akhirnya membentuk sebuah tim. Sedangkan Zhang Jiale memilih jalan yang lebih langsung dan sederhana - kembali ke dunia pro dengan bergabung ke Dominant Hero, membentuk formasi megah bersama Han Wenqing, Lin Jingyan, dan Zhang Xinjie.
Zhang Jiale takkan lupa, saat itu Ye Xiu juga mengajaknya bergabung. Jika dia setuju, mungkin sekarang dia akan menjadi bagian dari Tim Xingxin.
Tapi Zhang Jiale juga tak bisa menyangkal bahwa saat itu dia tak yakin dengan usaha rintisan Ye Xiu dari nol. Dalam pikirannya waktu itu, Ye Xiu yang sudah meraih tiga gelar juara berturut-turut mungkin lebih menghargai proses perjuangan. Tapi dirinya? Yang diinginkannya hanyalah sebuah piala juara, dengan cara apapun, agar karirnya tak meninggalkan kekosongan.
Keduanya melanjutkan perjalanan masing-masing mengejar kemenangan.
Ye Xiu dan Xingxin-nya mengalahkan Jia Shi dalam Tantangan Rookie, sementara Zhang Jiale bersama Dominant Hero kalah tipis dari Lun Hui di final kejuaraan tahun lalu.
Terus, lagi!
Dua orang terus mengejar ambisi mereka. Ye Xiu melewati Tantangan Rookie, memasuki Liga Profesional, membawa Xingxin-nya tanpa kamuflase menyerbu gelar juara liga. Zhang Jiale, bersama rekan setim Dominant Hero, juga kembali melancarkan serangan kavaleri ke arah mahkota kemenangan. Akhirnya, kedua tim bertemu di depan gerbang gelar juara. Pada akhirnya, Ye Xiu dan Xingxin-nya meraih kemenangan, sementara Zhang Jiale dan Dominant Hero tumbang di depan gerbang.
Menyesal?
Menyesal karena dulu tidak menerima undangan Ye Xiu untuk bergabung dengan Xingxin?
Tidak, tidak sama sekali.
Jika ini adalah Zhang Jiale dari dua tahun lalu, saat langsung tumbang di hadapan Xingxin, mungkin dia akan sangat menyesali pilihannya. Tapi sekarang tidak lagi. Dua musim yang dilewatinya bersama Dominant Hero, dua tahun berjuang dan menyerbu bersama rekan setim ini. Meski lebih mementingkan hasil, dia juga sangat tersentuh oleh proses ini. Dua tahun ini, dia mengalami banyak hal, mentalnya banyak berubah.
Kesempatan meraih gelar juara pernah mereka miliki di musim sebelumnya. Xingxin musim ini hanya mendapatkan kesempatan yang sama seperti musim lalu mereka. Bahkan jika Xingxin akhirnya benar-benar merebut gelar juara liga, Zhang Jiale tidak akan menyesal. Xingxin yang ini adalah Xingxin versi ini. Jika ada dia, itu akan menjadi Xingxin yang sama sekali berbeda.
Kemenangan Xingxin versi ini tidak berarti Xingxin dengan kehadirannya juga akan menang. Hasil pertarungan di arena profesional tidak pernah mutlak. Penyesalan seperti ini sama sekali tidak diperlukan - ini pelajaran yang Zhang Jiale dapatkan selama dua tahun ini.
Ada banyak jalan menuju gelar juara.
Jalan yang dipilih Ye Xiu adalah satu, pilihan dia juga satu.
Jalan penuh duri yang dipilih Ye Xiu pernah membuatnya pesimis. Bagaimana dengan pilihannya sendiri? Mungkin dia pernah mengira jalannya adalah jalan pintas, tapi kini dia sadar itu sama sekali bukan. Tak ada jalan mudah menuju mahkota juara. Jika mengira cukup dengan mengumpulkan pemain top dan karakter hebat lalu bisa santai meraih gelar, itu berarti terlalu meremehkan Glory dan esports.
Zhang Jiale tak berani meremehkan. Karena itu dia tak akan menyesali pilihannya. Menolak undangan Ye Xiu, tak kembali ke Hundred Blossoms tapi bergabung dengan Dominant Hero - semua keputusan itu tak dia sesali.
Kini dia memberi selamat pada pemenang, tapi jalan dia sendiri harus tetap dia tapaki dengan tangan sendiri.
Keempat veteran itu menyelesaikan penghormatan pasca-pertandingan di arena. Sederhana, tanpa kata-kata berlebihan. Hanya frasa-frasa membosankan yang diulang-ulang.
Tapi semua yang menyaksikan adegan ini merasa dadanya sesak.
Kesederhanaan seperti ini, kata-kata hambar seperti ini - akankah semua orang masih punya kesempatan mendengarnya lagi?
Empat pemain yang karirnya sudah di ujung senja ini - masihkah mereka punya kesempatan saling mengucapkan semangat dan terima kasih di lapangan?
Semangat. Terima kasih.
Ungkapan sederhana itu ternyata jadi kemewahan bagi mereka saat ini. Masih adakah hari esok? Berapa banyak hari esok yang tersisa? Hanya kegelisahan yang tertinggal di hati penonton.
“Penampilan yang sangat gemilang.” Wakil kapten Dominant Hero Zhang Xinjie baru mendatangi Ye Xiu setelah trio veteran.
“Kalian juga.” Kata Ye Xiu.
“Tim ini sangat kuat.” Pandangan Zhang Xinjie beralih ke anggota Xingxin di belakang Ye Xiu, "Setiap orang memiliki keunikan yang tak bisa diabaikan."
Ye Xiu tersenyum. Dia tahu Zhang Xinjie akan melihat lebih banyak hal dibanding orang kebanyakan. Kemenangan Xingxin atas Dominant Hero bukan hanya karena individu atau momen gemilang semata, namun juga operasional tim yang luar biasa. Dalam serangkaian pertempuran penuh ketegangan yang berhasil membalikkan situasi dari kekurangan, Xingxin sama sekali tidak berkomunikasi via channel - bukti nyata koordinasi terlatih dan kesadaran kolektif untuk saling bersinergi mengarahkan tim menuju kemenangan.
“Terus semangat.” Ujar Zhang Xinjie.
“Kalian juga.” Ye Xiu menjawab.
Zhang Xinjie mengangguk. Bukan tipe yang suka basa-basi, dia mengakui Xingxin masih punya ruang peningkatan, sama seperti Dominant Hero. Meski Ye Xiu sejak awal masuk liga telah menjadi 'penggali kubur' kariernya, Zhang Xinjie tak pernah meremehkan. Sistem taktis yang dibangun Ye Xiu di Xingxin mengandung banyak pelajaran berharga untuk direnungkan.
Konten Ensiklopedia Hidup Glory pun terus diperbarui dan berevolusi.
