Plaza Budaya, salah satu distrik komersial terkenal di Kota S. Layar besar terbuka yang tergantung di gedung sisi utara jauh lebih spektakuler dibanding layar besar di stadion mana pun yang menyelenggarakan pertandingan Glory.
Saat ini, layar besar ikonik plaza tersebut sedang memutar cuplikan gemilang pertandingan Lun Hui vs Xingxin yang baru saja berakhir tadi malam.
"Ini benar-benar tidak terbayangkan sepuluh tahun yang lalu. Meskipun esports saat itu sudah berkembang cukup baik, perhatian yang diterima masih kurang, dan sulit mendominasi opini publik. Namun sekarang, rekaman final kejuaraan diputar di alun-alun pusat kota. Tim Lun Hui telah menjadi kebanggaan Kota S. Berkat Lun Hui, final Glory menjadi perhatian banyak warga di kota ini."
"Pejalan kaki di alun-alun ada yang berhenti sebentar untuk menonton, ada juga yang hanya melirik lalu berlalu. Sebagian memperhatikan pertandingan ini, sebagian tidak terlalu peduli. Tapi kalau ada yang sama sekali tidak tahu apa ini, pasti akan dihina."
"Glory bukan lagi sekedar glory para pemain, glory tim, atau glory fans. Ini sedang menjadi glory seluruh kota. Harapan dan perasaan yang dipikul oleh pemain dan tim kini semakin meningkat."
"Sayang sekali, kalau kemarin menang kita bisa meraih tiga gelar juara berturut-turut!!"
Tang Rou mendengar pria yang berdiri di depannya mengungkapkan penyesalan dengan nada sedih.
"Iya, betul sekali!" Orang di sebelahnya juga terus mengeluarkan kata-kata kekaguman.
Tang Rou sudah berdiri cukup lama di sini. Ia tahu kedua orang ini awalnya tidak saling kenal, hanya kebetulan berdiri bersama karena menonton, lalu mulai berdiskusi.
Tang Rou sangat paham bahwa keduanya sama sekali bukan pemain Glory. Percakapan mereka dipenuhi pernyataan setengah tahu, klaim berlebihan, dan rumor yang didengar sembarangan.
Namun dari awal sampai akhir, sebutan yang mereka gunakan adalah: kita.
Dua orang yang sama sekali bukan pemain Glory, sama-sama memperhatikan pertandingan ini, sama-sama memiliki rasa keterlibatan yang kuat dengan tim kota mereka, sama-sama memiliki ekspektasi tinggi akan gelar juara. Inilah bukti terbaik betapa Glory semakin populer dan pengaruhnya terus meningkat.
Tang Rou tersenyum.
Meski pendukung tim lawan, dia cukup memahami perasaan seperti ini. Dirinya sendiri dulunya hanyalah pemain biasa yang acuh tak acuh, lalu perlahan larut dalam permainan. Bahkan di awal, dia tidak merasa Glory sebagai game yang begitu seru. Yang ingin dicapainya hanyalah menjadi lebih kuat, lalu mengalahkan si pemalas yang telah membuatnya kalah belasan ronde berturut-turut.
Tapi sekarang?
Tang Rou sudah lama tidak memikirkan hal itu. Target yang dikejarnya bukan lagi mengalahkan Ye Xiu.
Seperti semua atlet profesional, dia merindukan kemenangan, berharap meraih mahkota juara.
Apakah ini karena sifat kompetitif?
Mungkin iya! Tapi jika hanya sekadar kompetitif, mungkin pandangannya akan tetap tertuju pada Ye Xiu. Kini, saat matanya menyapu sosok Ye Xiu, yang terpikir adalah bagaimana berkoordinasi lebih baik dengannya, lalu bersama-sama merebut kemenangan.
"Ini, mungkin bukan hanya soal keinginan untuk menang lagi. Ada perasaan lain di luar ambisi yang telah tumbuh diam-diam dalam hatinya. Dia sudah lama tidak bertarung hanya untuk kepentingan pribadi, dia juga memiliki tanggungan - rekan setim, fans, dan juga dua orang seperti di depannya ini yang tidak terlalu paham game, namun menganggapnya sebagai simbol kebanggaan dan kehormatan.
Sedikit menyesal tidak bisa tampil di pertandingan besok. Tapi yang terpenting adalah tim kita menang. Inilah perasaan Tang Rou yang paling nyata saat ini.
"Gelar juara adalah milik kita!" teriak Tang Rou tiba-tiba. Sebelum sempat dikepung sorotan mata, dia langsung berbalik dan pergi.
Semua orang tertegun sebentar. Meskipun pertandingan di layar raksasa ini sangat spektakuler, bagi mereka dan kota ini, suasana terasa agak mencekam.
Karena kemenangan pertandingan kemarin bukan milik mereka. Kemilau itu justru menerangi Tim Xingxin. Meski semua berkumpul menonton pertandingan ini, pikiran mereka sudah melayang ke pertandingan berikutnya. Yang mereka nanti-nantikan dengan tak sabar adalah kemenangan di pertandingan selanjutnya, lalu merebut gelar juara liga.
Gelar juara adalah milik kita!
Kalimat sederhana ini benar-benar mewakili suara hati semua orang. Meski agak kaget dengan teriakan tiba-tiba itu, mereka segera terseret emosi oleh kalimat lugas ini.
"Ya, juara adalah milik kita!" seseorang ikut berteriak, lalu semakin banyak orang yang bergabung. Di alun-alun, baik yang paham Glory maupun tidak, asalkan peduli dengan pertandingan ini dan punya harapan akan gelar juara, semua mulai menyuarakan sorakan ini.
Beberapa pemain veteran yang sangat familiar dengan pertandingan Glory, saat melihat siluet rampendek yang sedang melenggang pergi di kerumunan, hanya bisa tertegun.
"Nonak itu... Tang Rou dari Xingxin, ya?" tanya seseorang.
"Yang maksudmu Tang Rou si Rookie of the Year tahun ini?"
"Yang pernah bilang akan pensiun kalau gagal 1 vs 3, tapi akhirnya ngotot tetap main itu?"
"Yang cantik banget itu?"
Sorotan mata semakin banyak mengarah ke sisi ini. Semakin jauh Tang Rou melangkah, semakin yakin semua orang bahwa itu memang dirinya.
"Kalau gitu, teriakan tadi..." seseorang tiba-tiba tersadar.
"'Kita' yang dimaksud ternyata Xingxin?" yang lain langsung tercengang.
Sementara warga Kota S di alun-alun masih bersemangat meneriakkan "Juara milik kita", mereka yang paham fakta bahwa "kita" ini merujuk ke Xingxin merasa sangat kaku.
Tapi bagaimana mungkin menjelaskannya sekarang? Pun jika berhasil dijelaskan, apa gunanya? Apa kata "kita" jadi terlarang digunakan?
Tang Rou teriakkan "kita"-nya versi Xingxin, kami teriakkan "kita" versi Lun Hui. Dalam hati semua orang tahu persis "kita" mana yang dimaksud.
“Setelah menyadari hal ini, para penggemar fanatik Lun Hui ini tak lagi bingung. Dengan memanfaatkan kesalahan ini, mereka bersorak penuh semangat bersama semua orang: Juara adalah milik kita!”
Sorakan yang semakin membahana, Tang Rou tak menoleh. Sambil berjalan santai, dia kembali ke hotel.
Naik ke lantai atas, di koridor dia melihat Ye Xiu sedang menggigit rokok sambil melenggang. Melihatnya, Ye Xiu melambaikan tangan.
“Ke mana saja?” tanya Ye Xiu sambil lalu.
“Cuma jalan-jalan keluar,” jawab Tang Rou.
“Oh, semangat besok ya!” Tanpa kata-kata motivasi yang menggugah, Ye Xiu hanya mengucapkan ini secara biasa kepada Tang Rou.
“Besok?” Tang Rou malah menangkap kejanggalan kalimatnya.
“Lusa harus lebih semangat lagi,” kata Ye Xiu dengan kewibawaan.
“Hehe.” Tang Rou tersenyum tanpa bicara, tapi kemudian menyadari arah tujuan Ye Xiu yang sepertinya bukan ke kamarnya.
“Kamu mau ke mana?” tanya Tang Rou penasaran.
“Beberapa hantu kecil minta materi analisis, kubawa ke mereka,” jawab Ye Xiu.
Di Xingxin selain Wei Chen, semua kerap dipanggil "hantu kecil" oleh Ye Xiu. Tang Rou tak tahu siapa yang dimaksud, hanya melihatnya masuk ke kamar Luo Ji.
Rasa penasaran Tang Rou muncul, dia ikut mendekat. Di kamar Luo Ji, dia, Qiao Yifan, dan An Wenyi sedang mengelilingi satu komputer.
“Ini dia.” Ye Xiu menyodorkan sebuah flashdisk.
“Luo Ji dengan gesit mengambilnya, mencolokkannya ke komputer, dengan cepat menemukan yang dia butuhkan, menjalankannya, lalu menggabungkan dokumen beberapa orang yang dibukanya, serta buku catatan yang dia coret-coret, mulai menjelaskan pada An Wenyi dan Qiao Yifan.
Ye Xiu berdiri di samping, menyilangkan lengan, menggigit rokok, mendengarkan dengan serius.
Tang Rou tersenyum diam-diam.
Dia menduga materi yang dijelaskan Luo Ji saat ini lebih bisa dipahami olehnya daripada Ye Xiu. Bocah ini lagi menggunakan analisis matematikanya untuk masalah probabilitas.
Tapi si pemalas ini menjelaskan terlalu detail, sebentar formula ini sebentar deduksi itu, ekspresi An Wenyi dan Qiao Yifan bingung seperti Baozi.
Ye Xiu akhirnya tidak bisa menahan diri, dia bergerak, menunjuk layar komputer Luo Ji: "Perhatikan bagian ini."
Tang Rou terkejut, bagian yang ditunjuk adalah transformasi Fourier untuk fungsi kepadatan probabilitas dalam dokumen Luo Ji, materi level tinggi seperti ini ternyata bisa dipahami Ye Xiu? Dirinya sendiri hanya tahu itu apa.
Setelah memberi petunjuk, Ye Xiu berbalik hendak pergi, tepat menghadapi pandangan takjub Tang Rou.
"Lagi memberimu pelajaran," kata Ye Xiu sambil melewati Tang Rou, "Bukan hanya lawan, rekan setim pun tak boleh diremehkan!"
Dia sudah melewatinya, Tang Rou hanya bisa terus memandang punggungnya yang menjauh, tiba-tiba mendengar Luo Ji bertanya: "Ada masalah di bagian ini?"
"Di sana agak kotor," jawab Ye Xiu yang sedang keluar ruangan.
“Oh oh!” Luo Ji buru-buru mengeluarkan kain kacamata dan menggosok bagian layar tersebut.
