Dewa Api dan Dewa Matahari dengan cepat melesat ke sumber jeritan itu. Saat tiba, mereka menemukan sumber suara tersebut ternyata berasal dari Aula Paus!
"Ada apa yang terjadi?" Kecepatan Dewa Api dan Dewa Matahari cukup baik, mereka hampir tiba di Aula Paus hanya beberapa detik setelah jeritan itu terdengar.
Namun meski begitu, mereka tetap terlambat selangkah.
Di hadapan mereka, Paus yang sudah menua itu menutupi lokasi jantungnya dengan ekspresi tak percaya. Sebilah pedang panjang berwarna merah darah menembus dadanya. Matanya terbelalak penuh ketidakrelaan. Bagaimana mungkin, dengan kekuatan tingkat kesuciannya, dia sama sekali tidak merasakan getaran energi sedikitpun saat pedang itu tiba-tiba menusuk dadanya.
Baru saja sebelumnya, dia sedang duduk bermeditasi di Aula Paus. Tiba-tiba dadanya terasa sesak, lalu rasa sakit seperti terkoyak menghantam hatinya.
“Ah~~” Terdengar jeritan menyakitkan yang terkeluar dari mulut Paus. Sakit menusuk itu memaksanya menundukkan pandangan, dan di sana terlihat sebilah pedang panjang berwarna darah telah menghujam jantungnya. Darah merah terang mengalir deras dari luka itu.
“Mungkin ini yang terbaik.” Paus menutup matanya, seluruh tubuhnya terjatuh ke depan. Setidaknya, saat ini, dia tak perlu lagi khawatir tentang segala urusan dunia fana.
Braak! Tubuh Paus runtuh ke tanah. Sepanjang hidupnya, dia hanya melakukan satu kesalahan: di detik-detik terakhir, tergoda oleh keserakahan. Saat peluang menjadi dewa menghampiri, dia gagal menahan godaan itu.
Di rumah Gao Leihua ada pepatah: "Perbuatan baik dan jahat pada akhirnya akan mendapat balasannya." Hanya saja, waktu pembalasan itu hanya masalah cepat atau lambat.
Di belakang Paus berdiri seorang pria berbaju jubah putih. Di tangan pria itu tergenggam sebilah pedang panjang merah darah. Wajah pria tersebut agak pucat, namun secara keseluruhan merupakan pria yang cukup tampan. Pria berjubah putih ini tak lain adalah Jenderal Kavaleri Darah di bawah komando Gao Leihua - Goethe.
Di belakang Goethe terdapat empat sosok manusia berwarna ungu-emas. Saat ini mereka bertanggung jawab atas pengawasan di sekitar area.
"Misi selesai. Sesuai perintah penguasa baru, kami menghabisi si tua ini tepat pada senja." Goethe tertawa ringan sambil perlahan menghunus pedang merah darah itu dari tubuh Paus. Setelah mengonfirmasi kematian Paus, Goethe melambaikan tangan ke empat Ksatria Darah di belakangnya: "Sudah, kita pergi."
"Siap, Jenderal Goethe." Para Ksatria Darah mengangguk lemah, lalu kelima orang ini bersiap untuk pulang.
"Apa yang terjadi?!" Tiba-tiba, Dewa Matahari dan Dewa Api baru saja tiba di pintu masuk Aula Paus.
Di sisi Dewa Matahari, Dewa Api terkejut memandang pria berjubah putih di aula Paus dan bayangan keemasan-ungu di belakangnya. Ketika mata Dewa Api melihat empat bayangan keemasan-ungu itu, pupil matanya menyempit tajam! Dewa Api mengatupkan rahang dengan keras - bayangan-bayangan keemasan-ungu ini sangat dikenalnya! Baru saja, makhluk semacam ini mencetak tak terhitung bekas tinju di tubuh mulianya!
Bersamaan, Dewa Matahari di samping Dewa Api juga mengatupkan rahangnya setelah melihat pemandangan di tengah arena. Dia mengenali sosok yang sudah tergeletak di tanah - ini adalah Paus yang sedang menjabat, agen mereka Tiga Dewa Cahaya di dunia fana!
"Brengsek!" teriak Dewa Matahari. Agen mereka di dunia dibunuh bagaikan tamparan keras di wajah mereka! Dengan malu marah, Dewa Matahari mengangkat tangan kanannya sambil berteriak: "Atas nama Dewa Matahari, muncul lah, Tombak Cahaya!"
Dengan suara "Syuush!", seiring teriakan Dewa Matahari, kilatan cahaya merah muncul di tangan kanannya. Sinar merah itu membentuk batang panjang di tangan sang dewa. Fenomena ini terjadi akibat konsentrasi elemen api yang sangat pekat. Kemudian, cahaya merah di tangan kanan Dewa Matahari berkedip-kedip, mengubahnya menjadi tombak indah bertuliskan mantra-mantra magis.
Setelah memanggil senjatanya, Dewa Matahari langsung menghujamkan tombak tanpa ragu. Gerakan ini merupakan teknik ksatria klasik - tusukan frontal. Tubuhnya meluncur seperti melesat di atas es, meninggalkan bayangan samar menuju Komandan Kavaleri Darah Godard! Tombak itu memancarkan kekuatan dahsyat yang siap menghabisi Godard dalam satu serangan!
Kilatan keterkejutan terlihat di mata Godard. Kekuatan pria berambut merah api ini melampaui imajinasinya. Tapi Godard bukanlah tipe yang pasrah menerima takdir.
Ketika Dewa Matahari menerjang ke arahnya, Goethe mengayunkan pedang panjangnya yang angker dengan gerakan halus. Pedang merah darah itu berputar di udara, tampak lambat namun sebenarnya cepat, menciptakan lapisan demi lapisan bayangan pedang yang mempesona.
"Jurus Pedang Jiwa, Mi Jian!" Suara Goethe bergema seolah datang dari ujung cakrawala.
Dewa Matahari menyeringai sinis melihat gerakan pedang Goethe. Masakan pedang lembek seperti itu bisa menahan tusukan mautnya? Omong kosong! Dengan geram, ia menambah kekuatan dan melesatkan tombaknya dengan kecepatan yang lebih dahsyat!
Dang! Dentuman logam bergema. Yang mengejutkan, tusukan penuh kekuatan itu ternyata tertahan oleh pedang Goethe yang tampak tak berdaya.
"Bagaimana mungkin?!" Dewa Matahari memandang tombaknya dengan tak percaya. Pupil matanya tiba-tiba memudar, seperti jiwa yang tercerabut dari raga.
Sebenarnya, jika diperhatikan dengan seksama pada pertarungan satu serangan dan satu pertahanan antara Dewa Matahari dan Goethe tadi, bukanlah pedang Goethe yang luar biasa sehingga bisa menahan serangan penuh Dewa Matahari. Melainkan, tombak Dewa Matahari tiba-tiba menjadi lemas tanpa tenaga sama sekali saat hampir menghujam Goethe. Karena itulah serangan tersebut bisa dihalau Goethe dengan mudah.
Menyusul keadaan kosong Dewa Matahari, empat Ksatria Darah yang terhubung secara spiritual dengan Goethe langsung menerjang seperti serigala terkutuk. Kepalan tangan berdarah mereka menghantam tubuh Dewa Matahari dengan kekuatan penuh.
Di sisi lain, Dewa Api yang diam di belakang tanpa maju tadi langsung terkejut saat melihat jurus pedang Goethe! Jurus Pedang Jiwa, teknik pedang milik Dewa Jiwa di masa lalu! Jurus Mi Jian ini adalah salah satu gerakan dalam Jurus Pedang Jiwa, konon ini adalah teknik pedang yang langsung menghipnotis jiwa. Jurus Pedang Jiwa hanya dikuasai oleh Dewa Jiwa zaman dulu dan prajurit jiwa di bawah komandonya.
Berdasarkan yang terlihat sekarang, pendekar berjubah putih ini dan sekumpulan bayangan manusia berwarna ungu-emas di belakangnya pasti anak buah pria berambut putih itu. Mungkinkah pria berambut putih itu adalah Dewa Jiwa dari masa lalu?! Dewa Api tak bisa menahan diri untuk membuat prediksi.
Namun, situasi saat ini tidak memberi waktu untuknya berspekulasi lagi. Posisi Dewa Matahari sedang tidak menguntungkan, jika Dewa Api tidak segera bertindak, Dewa Matahari tinggal menunggu mati.
"Api!" Terlihat empat sosok manusia ungu-emas hendak menerjang Dewa Matahari Apollo. Dewa Api segera mengulurkan tangan kanannya, mengepalkan tangan lalu mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah, mengangkatnya ke hadapannya sambil berseru keras.
Secara bersamaan, unsur api segera mematuhi perintah Dewa Api dan berkonsentrasi cepat di sekeliling Dewa Matahari. Kemudian membentuk lapisan pertahanan kobaran api yang mengelilinginya.
Api yang dikumpulkan Dewa Api tentu merupakan zat terpanas di Langit dan Bumi. Meskipun unsur api lebih ofensif daripada defensif, lapisan tipis api yang ditempatkannya justru berhasil menahan serangan empat Ksatria Darah.
“Kakak kedua, Bangunlah.” Seketika Dewa Api berteriak kencang, suara yang menggema itu langsung membangunkan sang Dewa Matahari yang masih pusing. Setelah sadar, kemarahan Dewa Matahari langsung meluap—Dewa termasyhur seperti dirinya ternyata dikepung oleh bajingan tak dikenal di hadapannya menggunakan semacam pertarungan mantra tak dikenal. Dengan malu marah, Dewa Matahari mengangkat tombak sakti dan menghujamkannya ke arah Goethe di depannya.
Zzzz! Tombak sakti itu menancap keras di isi perut Goethe!
Goethe menatap batang logam panjang itu sambil menghela nafas pasrah. Meskipun memiliki hampir separuh kekuatan sang penguasa baru, tapi akhirnya hanya bisa dipaksakan masuk kategori Delapan Tingkat. Dibandingkan pria berambut merah di hadapannya, dirinya masih jauh tertinggal. Jurus "Mi Jian" yang dilancarkannya tadi cuma berhasil karena faktor kejutan.
Namun, diikuti kilatan senyum jahat di mata Goethe. Memang dirinya jauh kalah dengan pria berambut merah itu, tapi dia adalah simbiose sang penguasa! Selama tuannya tak mati, dia abadi! Wujud manusia hanyalah kulit luar, bahkan jika ditusuk berkali-kali tombak pun takkan berpengaruh?!
Maka, di bawah tatapan terkejut Dewa Matahari, Goethe sama sekali mengabaikan tombak yang menancap di tubuhnya. Tangan kirinya mencengkeram erat Tombak Suci Cahaya agar sang dewa tak bisa mencabutnya, sementara pedang panjang merah terang di tangan kanannya tanpa ragu menghujam ke arah Dewa Matahari!
"Sialan, kau ini barang apa?! Kenapa tak bisa mati?!" Dewa Matahari menghela napas pasrah, mengumpat keras sebelum melepas pegangan pada Tombak Suci Cahaya dan mundur beberapa langkah, menghindari tusukan pedang Goethe.
"Hmph, ingin membunuhku, tidak semudah itu!" Goethe mendengus dingin, sambil melantunkan doa dengan cepat: "Atas nama penguasaku. Mohon perlindungan Tuan, kekuatan petir menyertai kami!" Meski melantunkan doa, Goethe tidak memohon kepada mantan tuannya Dewa Jiwa, melainkan kepada penguasa barunya - Dewa petir dan kecepatan, Gao Leihua!
Setelah doa, lingkaran cahaya yang merepresentasikan petir dan kecepatan mulai berkedip di tubuh Goethe dan empat Ksatria Darah! Sebagai pelayan sekaligus pengikut Gao Leihua, Goethe dan para Ksatria Darah secara alami bisa meminjam sebagian kekuatan mengerikan sang dewa!
"Sialan, siapa bilang aku tidak bisa membunuh kalian! Wilayah——Api Ilahi!" Dewa Matahari tersulut amarah oleh Goethe. Hanya beberapa bajingan tak dikenal yang berani merebut Tombak Sinar dari tangannya dan berbicara dengan nada seperti ini?! Ini adalah penghinaan bagi jabatannya! Maka, tanpa peduli di mana mereka berada saat ini, Dewa Matahari tanpa ragu mengembangkan wilayah kekuasaannya.
Api, di sini adalah dunia kobaran api! Seluruh ruang dipenuhi oleh nyala api semata! Inilah wilayah Dewa Matahari——Api Ilahi!
Saat kuil Dewa Matahari membuka wilayahnya, Goethe memperlihatkan ekspresi pasrah. Di sisinya, empat Ksatria Darah dengan cepat berubah menjadi abu dalam dunia api yang tak bertepi ini.
"Nak, ingatlah namaku! Aku adalah Dewa Matahari Apollo! Saat kau sampai di neraka, jangan lupa laporkan siapa yang membunuhmu!" Apollo sang Dewa Matahari berkata dengan keras kepada Goethe di dalam wilayah kekuasaannya.
"Apollo, aku catat." Suara Goethe terdengar samar di telinga Apollo: "Ketika kita bertemu lagi nanti, aku pasti akan menjadi lebih kuat darimu. Demi nama tuanku!" Siluet Goethe perlahan berubah menjadi abu, namun tak terlihat sedikitpun rasa takut di wajahnya. Dengan tatapan tajam ke arah Dewa Matahari di dalam wilayah kekuasaan, ia mengucapkan pernyataannya.
"Haha! Lebih kuat dariku?! Omong kosong!" Dewa Matahari tertawa terbahak: "Orang mati mana bisa menjadi kuat! Kecuali kau hidup kembali! Sekarang, pergilah melapor ke neraka!" Sambil tertawa, ia mengulurkan tangan kanannya. Tombak Cahaya berjatuhan dari angkasa dan tepat mendarat di genggaman tangan sang dewa.
Neraka? Bukan tempat bagi kami. Sisa terakhir kesadaran Goethe menyeringai sinis, karena keberadaan kami adalah Tak Mati dan Tak Binasa!
……
Saat ini, Dewa Matahari dan Dewa Api yang sibuk bertempur tak menyadari bahwa di sudut Aula Paus, sosok manusia tampan sedang menatap kosong segala yang terjadi di dalam aula.
Itu Wu Tian, Uskup Agung Cahaya Wu Tian! Wu Tian yang paling berbakat dan paling berharap menjadi Paus Cahaya.
Wu Tian adalah yang beruntung, karena tadi saat Dewa Matahari membuka wilayahnya, tepi wilayah itu berhenti persis di depan hidung Wu Tian! Nyawanya pun terselamatkan.
Aura kuat dari wilayah itu juga menekan energi Wu Tian, membuat Dewa Matahari dan Dewa Api tak mendeteksi keberadaannya.
Kini Wu Tian terpaku menyaksikan adegan di tengah arena. Matanya membelalak melihat lima anak buah Gao Leihua dihancurkan dengan mudah oleh pria berambut merah yang tertawa histeris di hadapannya.
Setelah wilayah bubar, Wu Tian mengamati dengan cermat pria berambut merah dan pria kekar berpendar api di belakangnya. Tiba-tiba, seluruh tubuhnya membeku.
Dua sosok ini, Pastor Wu Tian mengenalinya. Sebagai uskup agung Cahaya, tentu dia tahu siapa mereka! Astaga, dunia ini benar-benar gila! Mereka ternyata adalah Dewa Api dan Dewa Matahari dari Empat Dewa Cahaya! Benar-benar Dewa Api dan Dewa Matahari!
Saat menyaksikan dua dewa asing ini, benak Wu Tian seketika menjadi kosong. Dia bahkan mengira ini sedang bermimpi, sulit dipercaya bahwa dia melihat Dewa Cahaya!
Sebenarnya perasaan Wu Tian ini sangat normal. Siapapun, ketika tiba-tiba menemukan dewa yang diyakininya muncul di hadapannya, pasti akan merasakan hal yang sama seperti Wu Tian saat ini.
Lalu sekarang, apa yang harus kulakukan? Menyaksikan turunnya Dewa Cahaya, Wu Tian sama sekali tidak merasa bahagia.
Jika ini terjadi di masa lalu, melihat dewa turun dia pasti langsung bersujud di kaki mereka. Tapi kini, Dewa Api dan Matahari turun justru menghancurkan anak buah Gao Leihua.
Dengan perhitungan seperti ini, Gao Leihua dengan Dewa Api dan Dewa Matahari jelas bukan berada di jalan yang sama. Inilah yang menjadi sumber kebingungan Wu Tian.
Karena, antara dirinya dengan Gao Leihua terdapat "kolusi" yang tak bisa dijelaskan...
