Jingxin adalah putri Raja Lautan. Sebagai putri Raja Lautan, ketika usianya mencapai tahap tertentu, dia akan secara otomatis memasuki tingkat kesucian. Suku putri duyung, sama seperti klan Naga, klan malaikat, dan klan iblis, ketika anggota perempuan mereka berusia sekitar seratus tahun, mereka akan otomatis mencapai tingkat kesucian.
Meskipun saat ini Jingxin masih jauh dari seratus tahun, dia sudah mencapai level Ahli Pedang tingkat enam. Di era ini dimana ilmu bela diri dan sihir sudah tidak sehebat dulu, tingkat enam sudah merupakan puncak yang mungkin dicapai manusia biasa!
"Ding!" Seiring pedang panjang biru es di tangan Jingxin terhunus, Uskup Agung Wu Tian merasakan hawa dingin menghujam ke wajahnya.
Bola mata biru es Jingxin menatap erat regu ksatria suci tersebut. Ksatria Kuil Suci memang termasuk pasukan elit manusia dengan level rata-rata mencapai Perak tingkat empat. Lagu perang berkah mereka benar-benar skill yang bikin pusing.
Ditambah baju zirah mewah hasil tempaan Kuil Cahaya, membuat ksatria-ksatria ini menjadi entitas yang benar-benar hebat.
"Resistance Ring - Cold Resistance." Menyaksikan sinar pedang es Jingxin, semua ksatria serempak melantunkan doa. Sebuah lingkaran cahaya biru es muncul di kaki mereka.
Swoosh! Hampir bersamaan dengan Ksatria Kuil Suci yang baru saja menginjak lingkaran perang mereka, siluet ramping telah melesat melewati barisan depan mereka. Pedang panjang biru es di tangan siluet ramping itu telah mengusap lembut leher para Ksatria Kuil Suci.
Dang! Beberapa pedang raksasa dari tangan Ksatria Kuil Suci berjatuhan ke tanah. Mereka menutup erat leher mereka dengan tangan. Namun tidak setetes darah pun mengalir dari leher mereka - leher itu telah membeku seketika!
Para ksatria yang tersayat leher ini menatap tak percaya pada siluet berambut biru yang baru saja melintas kilat. Siluet biru itu adalah Jing Xin.
Uskup Wu Tian yang berdiri di belakang pasukan Ksatria pun tertegun. Secara refleks ia mundur beberapa langkah, menyembunyikan tubuhnya di balik beberapa Ksatria yang belum tersentuh pedang.
Pada saat Jing Xin mengayunkan pedangnya, Pastor Wu Tian baru menyadari betapa minim pengetahuannya tentang Jing Xin. Bahkan tak tahu sama sekali bahwa Jing Xin menguasai ilmu pedang. Bahkan tak menyangka teknik pedangnya begitu luar biasa. Gerakan Jing Xin saat menyabet leher ksatria-ksatria Kuil Suci itu mengalir seperti awan berarak dan air mengalir. Dari satu jurus itu saja, jelas terlihat keahlian bermain pedangnya bukanlah level biasa.
Tubuh ksatria Kuil Suci terbungkus armor tebal yang menyelubungi hampir seluruh badan, hanya menyisakan celah tipis di leher. Tapi dengan presisi memukau, pedang Jing Xin menusuk celah sempit itu dan melesat melintasi tenggorokan mereka.
Kilatan pedang pun sirna, menyisakan sosok Jing Xin yang telah kembali berdiri di samping Bixi.
Ding! Jing Xin mengibaskan tetesan darah dari pedang biru esnya. Matanya menyiratkan kejijikan saat menatap Pastor Wu Tian.
Setelah melihat kejijikan di mata Jingxin, Wu Tian mengatupkan gigi. Ekspresi jijik Jingxin sama sekali tidak membuat Wu Tian menyesali apapun, malah semakin memperdalam kebenciannya terhadap Gao Leihua.
"Sialan, serang mereka semua!" Wu Tian mengaum dengan amarah. Seketika itu juga, ribuan Ksatria Kuil Suci tiba-tiba memenuhi seluruh jalan menuju Kuil Suci. Seribu ksatria dengan cepat berdatangan dari segala penjuru, mengurung Jingxin dan Bixi dalam lingkaran pengepungan.
Jingxin mengerutkan alis. Jumlah musuh terlalu banyak. Meskipun mereka hanya manusia biasa, Jingxin tidak yakin bisa membawa Bixi keluar dengan selamat, apalagi ini adalah pasukan elit Kuil Suci.
Pasukan ksatria yang semakin banyak mulai menyempitkan lingkaran pengepungan di sekitar Jingxin dan Bixi.
“Lei, di mana kau.” Kecemasan memenuhi hati Jingxin. Di saat krisis, bayangan Gao Leihua yang perkasa memenuhi pikirannya. Andai saja pria kuat itu ada di sini.
“Kakak Jingxin, apa yang harus kami lakukan?” Bixi hampir menangis. Tak disangkanya mentor mereka Wu Tian ternyata orang picik seperti ini.
“Tangkap mereka, tapi jangan sampai terluka.” Suara Wu Tian bergema dari balik barisan Ksatria Kuil Suci yang berlapis-lapis.
“Lingkaran Pertahanan!” Kilatan lingkaran perang menyala di tubuh para ksatria. Satu regu ksatria mulai menyempitkan lingkaran ke arah Jingxin dan Bixi...
Jingxin tersenyum getir. Pasukan Wu Tian terlalu banyak, ditambah harus melindungi Bixi. Tak lama, mereka pun tak mampu bertahan dan ditangkap ribuan ksatria.
Dang! Pedang panjang Jingxin terlempar. Dua ksatria segera memborgolnya bersama Bixi.
Setelah melihat kedua perempuan Jingxin telah ditangkap, Wu Tian dengan penuh kesombongan mendekati sisi Jingxin, lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil pedang panjang berwarna biru es yang tergeletak di tanah.
Jingxin mengatupkan rahangnya, mata biru esnya dipenuhi kemarahan.
"Jingxin, semua ini kau yang cari sendiri." Wu Tian mengambil pedang biru itu sambil berkata pada Jingxin: "Kau tahu dulu bagaimana aku mengejarmu, tapi akhirnya kau malah memilih Gao Leihua yang baru kau kenal beberapa bulan! Katakan, apa kelebihannya dibanding aku?!" Di akhir kalimatnya, suara Wu Tian meledak menjadi teriakan mengamuk.
"Syukurlah Kak Jingxin tidak memilih bajingan munafik sepertimu! Andai dulu Kak Jingxin memilihmu, itu namanya benar-benar buta!" Bixi menatap marah ke arah Wu Tian di hadapannya: "Ayah Gao Leihua jauh lebih baik darimu, bukan cuma sedikit, tapi sepuluh ribu kali lebih baik!"
"Diam!" Wu Tian meneriakkan perintah sambil melemparkan tamparan ke arah Bixi.
Bixi membelalakkan matanya penuh amarah: "Pastor Wu Tian, kau akan menyesali perbuatanmu ini! Ayah Gao Leihua tidak akan membiarkanmu lolos."
"Menyesal? Haha! Kalianlah yang akan menyesal!!" Pastor Wu Tian matanya merah menyala, mengulurkan tangan hendak menyentuh Jingxin! Tapi entah mengapa, ketika tangannya hampir menyentuh Jingxin, tubuhnya tiba-tiba menggigil hebat dan segera menarik kembali tangannya. Entah kenapa, saat hendak menyentuh Jingxin, tiba-tiba terbayang di pikirannya sepasang pupil hitam pekat dan helai rambut putih panjang yang berkibar ditiup angin...
"Pengawal, bawa kedua tawanan ini kembali ke Kuil Cahaya." Pastor Wu Tian mengatupkan gigi, menghela napas pelan. Akhirnya, ia tak berani menyentuh Jingxin sedikitpun. Sungguh, ia tak kuasa.
"Siap!" Ksatria Kuil Cahaya mengangguk patuh, lalu menggiring Jingxin dan Bixi menuju Kuil Cahaya.
……
Keesokan harinya pagi-pagi buta
"Jie, aku lapar." Suara Shajia terdengar dari lantai bawah di pagi buta, membangunkan Yue Rui yang sedang terlelap dalam mimpi indah.
“Hmm~~ Kau lapar ngomong sama aku kenapa, mungkinkah Ibu dan Bixi belum pulang?” Yue Rui mengusap mata sambil merangkak turun dari ranjang.
“Sis, si emak belum pulang, istri mudaku juga belum pulang!” Shajia meneriakkan jawaban dengan suara meninggi.
“Lalu Ayah? Dia juga belum pulang?” Yue Rui dengan susah payah bangkit dari tempat tidur sambil bertanya.
“Semuanya belum!” raung Shajia: “Kalau Ayah sudah pulang, buat apa aku manggil kau?”
“Euh~” Yue Rui merangkak bangun dengan perih, mulai melepas pakaian tidur dan mengenakan seragam Sekolah Sihir dan Ilmu Beladiri Saint Peter.
“Kakak Yue Rui, aku juga lapar.” Tak lama kemudian suara Bayi pun terdengar.
Untungnya Jin Sha'er, Mengsi dan Xiao Lu Dongfa masih tidur. Kalau tiga bocah ini terbangun dan menangis kelaparan, pasti tak akan ada habisnya.
“Aneh sekali, kok Ayah dan Ibu sama-sama belum pulang ya.” Yue Rui mengucek mata sambil membuka pintu kamar.
Braak! Braak! Saat Yue Rui masih limbung memikirkan Gao Leihua dan Jing Xin, suara ketukan pintu terdengar dari depan pintu besar.
"Siapa yang datang pagi-pagi begini!" gerutu Shajia dengan kesal.
"Mungkin Ayah atau si emak yang pulang. Shajia, bukakan pintunya," seru Yue Rui pada saudara lelakinya.
"Nggak. Aku menolak. Aku takkan membukakan pintu." Shajia bersikukuh sambil menunjuk sayap hitam di punggungnya yang masih belum ditemukan solusinya. "Sebelum masalah sayap ini teratasi, aku takkan keluar!"
"Kalau begitu biar aku saja." Bayi yang patuh segera berlari kecil menuju pintu utama.
Creeeek~ Suara pintu yang dibuka. Setelah membuka pintu, Bayi menatap dua pria bertudung jubah di depan pintu.
"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Bayi dengan suara merdunya.
“Hoh, Bayi. Ini aku.” Dari dua siluet, sosok yang lebih pendek menarik Braak sambil tersenyum tipis. Rambut perak dan pupil hitamnya tak lain adalah Gao Leihua.
“Haha, Ayah sudah pulang!” Bayi langsung menerjang ke arah Gao Leihua: “Kami semua merindukanmu, karena perut kami sudah keroncongan!”
“Hm? Kelaparan? Ibu tidak di rumah?” Gao Leihua bertanya heran. Bukankah Yue Rui seharusnya menjaga anak-anak?
“Aku juga tak tahu. Kata Kakak Yue Rui, Ibu pergi sejak pagi dan belum kembali.” Bayi memeluk leher Gao Leihua: “Yang penting Ayah, kami lapar!”
“Baik, baik, Ayah mengerti.” Gao Leihua mengacak-acak rambut emas Bayi hingga berantakan seperti sarang ayam: “Ayah akan segera masak untuk kalian.”
“Hm, Kakak Yue Rui bilang, sarapan harus makan sedikit. Ayah, siapkan dua ekor burung dara muda, tiga porsi roti panggang gandum, dan satu porsi susu ya.”
“……” Sudut bibir Gao Leihua berkedut tak terkendali, ini disebut makan sedikit?
