Saat ini, "Bixi" yang ditumpangi Dewa Cahaya dan Gao Leihua bertarung dahsyat hingga langit berputar dan matahari-bulan kehilangan cahaya! Keduanya bertarung dari darat ke langit, lalu turun lagi ke bawah tanah.
Akhirnya, pertarungan mereka kembali ke lokasi Aula Paus yang telah hancur lebur oleh kekuatan tak terbantahkan dari kedua belah pihak.
Saat ini, mata merah Gao Leihua perlahan pulih. Mengikuti aliran Qi yang mengalir di dalam tubuhnya, kekuatan mengerikan dalam tubuhnya secara bertahap mengembalikan kesadarannya.
Kemudian Gao Leihua melihat siluet samar Dewa Cahaya "Spreathud" sedang menerjang ke arahnya.
"Kesempatan emas!" teriak Gao Leihua. Meskipun Dewa Cahaya dalam kondisi gila-gilaan datang dengan sangat agresif, pintu vitalnya justru terbuka lebar!
Peluang seperti ini wajib dikuasai! Gao Leihua meneriakkan: "Seni bela diri kuno, menekan titik akupresur!" Lalu ia mengulurkan jari tangan kanannya yang berbentuk cakar, ujung tajamnya mengarah ke tubuh Dewa Cahaya.
Meskipun tubuh Dewa Cahaya saat ini masih menyampirkan kekuatan wilayah "Baju Zirah Raja Dewa", jari Gao Leihua tanpa ragu menekan dengan keras ke depan.
Dang! Suara logam berdering ketika jari Gao Leihua menghujam baju zirah di bahu Dewa Cahaya, memicu benturan keras.
"Buka untukku!" Gao Leihua meneriakkan dengan keras, cakar kanannya memancarkan energi jahat namun penuh keadilan. Di bawah pengaruh energi aneh ini, cakarnya berhasil melubangi "Baju Raja Dewa" milik Dewa Cahaya! Kemudian, sisik di cakar kanannya dengan cepat menghilang, memperlihatkan jari-jari manusiawinya. Dengan tenaga penuh, jarinya menghunjam keras ke bahu Dewa Cahaya. Sebuah energi khusus merambat melalui jarinya masuk ke dalam tubuh sang dewa.
"Semoga struktur fisik manusia di dunia ini sama dengan di Bumi." gumam Gao Leihua dalam hatinya.
Krak! Begitu energi ini memasuki tubuh Dewa Cahaya, gerakannya langsung terhenti. Dewa Cahaya membelalakkan mata memandang Gao Leihua. Setelah tubuhnya terkunci, Baju Raja Dewa di tubuhnya yang merupakan wilayah kekuasaan perlahan berhamburan karena kehilangan dukungan kekuatan sang dewa. Saat wilayah itu bubar, kewarasan Dewa Cahaya pun kembali pulih.
Matanya tak berkedip mengamati tubuhnya sendiri. Kemudian ia memandang Gao Leihua dengan pandangan terkejut. Tadi ia sama sekali tidak merasakan sehelai elemen yang digunakan untuk menguncinya, namun tiba-tiba tubuhnya tak bisa bergerak. Saat ini, Dewa Cahaya bahkan tak bisa menggerakkan satu jari pun. Yang lebih fenomenal, ia juga kehilangan kemampuan bicara. Kecuali masih bisa merenungkan, Dewa Cahaya sama sekali tak bisa berbuat apa-apa.
“Seni bela diri kuno, taktik menekan titik akupresur.” Gao Leihua berdiri, mengeluarkan jubah dari cincin ruang dan menyampirkannya di tubuhnya. Tak ada cara, di dalam cincin ruang sudah tidak ada baju lagi. Kemudian, sisik hitam di tubuh Gao Leihua mulai menanggalkan diri perlahan.
Gao Leihua menatap tangan kanannya sendiri, kekuatan dirasuki iblis ini bahkan dengan kemampuan saat ini masih belum sepenuhnya dikuasai. Tapi kekuatan ini benar-benar bukan main, memungkinkannya melawan Dewa Cahaya yang memiliki wilayah lapisan kedua hanya dengan wilayah lapisan pertama, dan terlihat masih santai...
Di sisi ini Dewa Cahaya telah ditundukkan, di sisi lain pertempuran Goethe dengan Dewa Matahari Apollo juga memasuki fase akhir.
Baik Dewa Matahari Apollo maupun Goethe secara diam-diam sepakat tidak menggunakan wilayah kekuasaan.
Goethe yang baru menjadi dewa sejati ini meski sudah memiliki wilayah, mustahil langsung mahir. Jadi dalam kondisi seperti ini, lebih baik tidak menggunakan wilayah daripada memaksakannya.
Sedangkan Dewa Matahari tidak menggunakan domain karena dia tahu, sebagai dewa elemen api yang setara, jika dia tidak memiliki domain tingkat lebih tinggi, itu tidak akan memberikan kerusakan signifikan pada Goethe yang juga telah menjadi dewa api. Dengan demikian, lebih baik tidak menggunakan domain.
Oleh karena itu, gaya bertarung Dewa Matahari dan Goethe juga berfokus pada pertempuran jarak dekat.
Dalam pertempuran jarak dekat, Dewa Matahari Apollo memanggil kendaraan tempur matahari. Dengan kerja sama antara kendaraan tempur dan sang dewa, Apollo terus-menerus unggul, menekan Goethe di setiap sisi. Dari luar tampak Goethe mundur berturut-turut, seolah-olah kekalahan adalah satu-satunya akhir bagi Goethe jika kondisi ini berlanjut.
"Haha, pemuda berjubah putih! Bukannya kau sangat arogan bilang akan mengalahkanku? Sekarang, tunjukkan caramu mengalahkanku!" Tombak panjang di tangan Dewa Matahari Apollo menghujam seperti angin kencang dan hujan deras ke arah Goethe. Serangan kilat ini dilancarkannya dengan lancar bagai menggerakkan jemari, membuat Goethe sama sekali tak punya kemampuan melawan.
Tapi, Dewa Matahari yang sedang bersemangat tidak menyadari senyum tipis yang tersembunyi di sudut bibir Goethe yang terlihat sedang mundur.
Goethe tidak mempedulikan ejekan dan cemoohan Dewa Matahari Apollo. Dia masih menangkis satu dua tebasan pedang sambil melangkah dengan gerakan aneh mengelilingi sang dewa. Setiap langkah kakinya terlihat acak, namun sebenarnya mengikuti pola tertentu.
Gerakan Goethe sangat terselubung. Dewa Matahari sama sekali tidak menyadari "gerakan kecil" di bawah kaki lawannya. Menurutnya, Goethe hanya berjuang mati-matian menahan serangan tombaknya.
“Haha! Haha! Ayo, kalahkan aku!” Dewa Matahari Apollo tertawa histeris, sementara pedang panjang di tangannya semakin cepat menghujam. Dalam waktu singkat, beberapa luka telah menganga di tubuh Goethe akibat serangan pedang dewa tersebut.
“Hanya segini levelmu? Dengan level seperti ini berani melawanku? Menggelikan! Serangan terakhir, Teknik Dewa Matahari – Serangan Batas!” Dewa Matahari Apollo meneriakkan mantra, dua unicorn di depan kendaraan tempurnya menengadah ke atas sambil melengking keras. Kedua unicorn itu mengangkat kaki depan secara serempak. Dengan dukungan makhluk suci ini, tusukan maut nan indah penuh kekuatan itu menghujam keras ke arah Goethe.
“Kebetulan, aku juga akan melancarkan serangan pamungkas.” Goethe menatap ke atas sambil berkata datar kepada sang dewa: “Formasi Pedang Jiwa – Formasi Pengunci Jiwa!”
Pada detik Goethe menyebut nama formasi pedang, lingkaran jejak kaki merah menyala di sekeliling Dewa Matahari. Tak perlu dikatakan, setiap jejak kaki ini adalah hasil injakan Goethe yang meninggalkan bekas dengan kekuatan mengerikan langkah demi langkah. Tepat lima ratus jejak kaki!
Sebenarnya, Formasi Pengunci Jiwa adalah teknik yang diciptakan Dewa Jiwa sejak awal namun sangat tidak berguna. Efek formasi ini adalah tiba-tiba mengunci jiwa musuh selama pertempuran, membuat tubuh rival langsung tak bisa bergerak. Efek yang begitu memukau - bahkan dewa pun akan berhenti bergerak bila jiwanya terkunci!
Sayangnya, untuk mengaktifkan formasi ini harus menginjak lebih dari lima ratus jejak kaki berenergi ilahi di sekitar musuh sesuai aturan tertentu.
Coba tanyakan: Dalam pertempuran, selain idiot, musuh macam apa yang akan diam di tempat membiarkanmu menginjakkan lima ratus jejak di sekitarnya? Jadi meski efek jurus ini kuat, praktis hampir tak ada gunanya.
Tapi, tadi saat Goethe bertarung dengan Dewa Matahari yang sedang mengendarai kendaraan tempur, Goethe dengan cerdik berputar-putar mengelilinginya. Tanpa disadari, Goethe membuat Dewa Matahari tetap diam di tempat saking bersemangatnya menusuk-nusukkan tombak panjangnya. Bahkan luka di tubuh Goethe saat akhir pertempuran hanyalah bagian dari Strategi Tubuh Menderita-nya.
Dengan demikian, sambil terlihat keren menusukkan tombak, Dewa Matahari tak sadar telah membiarkan Goethe menyelesaikan formasi yang selemah ayam namun sangat kuat ini!
"Kunci!" Goethe menghadapi tusukan penuh kekuatan dan keindahan dari Apollo Dewa Matahari tanpa menghindar. Kedua tangannya membentuk segel sambil meneriakkan mantra kepada Apollo.
Braak! Tombak panjang Dewa Matahari berhenti tepat satu inci dari tubuh Goethe.
Mata kosong, jiwa Apollo terkunci seketika dalam formasi ilahi!
“Lumayan bagus, Goethe.” Gao Leihua duduk di samping sambil tersenyum ke arah Goethe. Di tubuhnya tersampir jubah merah, tak perlu ditanya lagi, di dalam jubah itu kemungkinan besar Gao Leihua sedang telanjang bulat...
“Aku, mengalahkanmu.” Goethe mengepal erat pedang panjang di tangannya, ia menatap Apollo dengan senyum kemenangan.
Braak! Siluet Gao Leihua tiba-tiba muncul di sisi Apollo. Tebasan tangan sang jendral langsung menumbangkan Dewa Matahari itu, lalu ia menyeret tubuh Apollo ke arah "reruntukan" Aula Paus.
“Ayo, masuklah Goethe. Tadi aku sudah mengunci tubuh Dewa Cahaya.” Gao Leihua menunjuk ke arah "Bixi" yang masih membeku dalam posisi mencakar.
“Langit, penguasa baru, kau bisa melakukannya bagaimana?!” Gode terkejut mengamati sosok Dewa Cahaya, ia menemukan di samping tubuh Dewa Cahaya tidak ada elemen penguncian sedikit pun, tapi ekspresi Dewa Cahaya jelas-jelas terkunci!
“Jangan bahas ini dulu. Bisakah kau menarik jiwa Dewa Cahaya dari tubuh menantu perempuanku?” Gao Leihua menarik-narik jubahnya untuk mencegah "cahaya musim semi" terpapar, lalu bertanya.
“Tidak ada masalah sedikit pun, penguasa baru!” Gode mengangguk.
“Baik! Kalau begitu sekarang tarik segera jiwa Dewa Cahaya untukku!” Gao Leihua menggigit gigi berkata dengan geram: “Setelah jiwa-nya berhasil ditarik, siksai dia habis-habisan! Berani mengganggu Jingxin dan menantu perempuanku, benar-benar nekat!”
“Mematuhi perintah, penguasa baru. Aku akan menggunakan metode paling kejam untuk menyiksanya.” Gode terlihat agak bingung, karena jiwa Dewa Cahaya agak spesial. Perlu diketahui selama hidupnya Gode tidak pernah menyentuh perempuan, namun kebingungan adalah kebingungan, perintah penguasa baru adalah segalanya bagi Gode.
"Sebaiknya kau menguras semua pakaian Dewa Cahaya, tentu saja jika jiwa Dewa Cahaya memiliki pakaian," kata Gao Leihua. "Setelah menelanjanginya, cambukilah dia dengan keras! Ngomong-ngomong Goethe, bisakah cambuk digunakan pada wujud jiwa?"
"Kalau Tuan menghendaki, saya bisa melakukannya," jawab Goethe tersipu malu.
"Baik, misi ini kuserahkan padamu." Gao Leihua mengatupkan gigi dengan geram. "Telanjangi dia, lalu hajari habis-habisan! Oh ya, jika memungkinkan rekamlah adegan pencambukan itu dengan kristal memori. Aku ingin semua orang menyaksikan Dewa Cahaya telanjang dicambuki!"
"Baik, Tuan." Goethe menggigit bibirnya lalu mengangguk. "Saya akan menjalankan perintah Tuan hingga titik darah penghabisan!"
Saat itu Gao Leihua tidak menyadari, wajah mungil Bixi yang sedang dirasuki Dewa Cahaya di sampingnya telah pucat tak karuan...
