Meskipun Yue Naiya menghindari satu tribulasi , dan Gao Leihua telah terima membebaskan nyawanya. Namun entah mengapa, tatapannya pada Gao Leihua tetap membuatnya gelisah. Apalagi saat melihat tatapan Gao Leihua padanya - tatapan seperti melihat arwah.
Gao Leihua mendengus dingin pada Yue Naiya, lalu berbalik dan menepuk pundak Yue Rui di sisinya.
"Ayah, aku tidak apa-apa." Tangan kanan Yue Rui mengembalikan tongkat sihir ke dalam cincin ruang. Kemudian Yue Rui mengangkat kepala dengan ekspresi meremehkan ke arah Yue Naiya. Bahkan tanpa Gao Leihua yang menghadang serangan Yue Naiya tadi, Yue Rui tetap tidak akan membiarkan Yue Naiya mendapatkan keuntungan darinya. Yue Rui yang kini telah mencapai level Guru Emas bukanlah lawan yang mudah! Siapa pun yang ingin menyakitinya harus melewati tongkat sihirnya terlebih dahulu.
Melihat tongkat sihir di tangan Yue Rui, Gao Leihua tersenyum bangga. Memang pantas menjadi putrinya, tetap tenang dalam bahaya dan bersikap dingin.
Jingxin yang mendengar tawa Gao Leihua memalingkan wajah ke arah mereka. Sorot mata biru lautnya berkilau lembut sesaat.
Sementara itu, kakek Jingxin masih menggandeng tubuh Yue Naiya dengan canggung di samping.
Pria tua itu terjebak dalam dilema - tidak bisa pergi maupun tinggal. Dengan pasrah, dia hanya bisa berdiri menyaksikan keluarga Gao Leihua sambil tersenyum getir.
Meskipun dia turun tangan menyelamatkan menantu perempuan, tapi seolah cucu perempuan kesayangannya punya pendapat buruk padanya. Lihatlah, meski Jingxin memang pribadi yang "dingin", tapi biasanya tidak akan membiarkan si tua-tua ini terabaikan begitu saja.
Di sisi lain, pemuda tampan yang datang bersama Yue Naya mengibaskan kipas lipat batu giok dengan anggun. Siluet samarnya sengaja menghindari sesepuh yang datang ini. Saat sang sesepuh tak memperhatikannya, diam-diam ia mundur ke sudut dinding rumah Gao Leihua.
"Gao Leihua, kurasa kita akan bertemu lagi." Pemuda tampan itu tersenyum tipis pada sosok Gao Leihua, berbisik pelan. Lalu diam-diam memanjat tembok dan kabur dari rumah Gao Leihua.
……
Di sisi lain, di kamar Goethe.
Ini adalah ruangan yang secara khusus dialokasikan Gao Leihua untuk Goethe. Bagaimanapun juga, Goethe sekarang adalah Dewa Api yang baru. Dan saat ini Goethe sudah menjadi entitas yang memiliki kesadaran. Oleh karena itu, Gao Leihua tidak memanggilnya kembali ke ruang pemanggilan, melainkan membiarkannya hidup seperti manusia biasa di dunia manusia.
Saat ini, Goethe sedang sibuk mondar-mandir di dalam ruangan. Sesekali pancaran kekuatan jiwa bermunculan dari tubuhnya. Sepertinya ia sedang melakukan semacam eksperimen.
Di samping Goethe, jiwa Dewi Cahaya sedang duduk memeluk lutut sambil memperhatikan kesibukannya. Dia bahkan tidak berpikir untuk kabur, atau mungkin sudah tahu bahwa mustahil melarikan diri dari sini. Meskipun terlihat seperti ruangan biasa, Goethe telah mengukir beberapa formasi magis jiwa di dinding untuk mencegah jiwa Dewi Cahaya melarikan diri.
Formasi-formasi magis ini tentu sama sekali tidak berguna di mata Dewi Cahaya dalam kondisi puncaknya. Namun saat ini Dewi Cahaya hanyalah jiwa biasa belaka, kekuatan dan kedewaannya telah disegel di dalam tubuh Bixi, menantu perempuan Gao Leihua. Jadi sekarang Dewi Cahaya hanya bisa duduk termenung di kepala tempat tidur dengan wajah kosong.
Di saat yang sama, dalam benak Dewi Cahaya terus-menerus memutar ulang pertempuran terakhirnya melawan Gao Leihua.
Dewi Cahaya yakin setelah mengenakan "Armor Raja Dewa" wilayah lapisan kedua, tingkat pertempurannya tidak kalah dari Gao Leihua yang telah berubah wujud menjadi monster. Tapi jurus satu jari terakhir Gao Leihua terlalu ajaib. Bayangan Gao Leihua saat mengeluarkan tusukan jari terakhir itu terus muncul di pikiran sang dewi, termasuk ekspresi cool di wajahnya saat melakukan gerakan menusuk tersebut...
Baru setelah itu, Dewi Cahaya mengetahui bahwa ekspresi Gao Leihua sebenarnya bukanlah ekspresi keren. Melainkan saat jari Gao Leihua memaksa membuka Armor Raja Dewa miliknya, jarinya terasa sakit. Ekspresi di wajah itu--adalah ekspresi kesakitan.
"Hmph, apa yang sedang kupikirkan!" Dewi Cahaya menggelengkan kepala pelan. Entah mengapa, setiap mengingat pertempuran terakhir itu, yang terbayang dalam benaknya justru wujud pria itu saat dalam kondisi gila-gilaan: Tubuh hitam bersisik, mata merah yang sangat aneh, serta rambut putih penuh kesan berkesan.
"Apa yang kau pikirkan?" Goethe menatap ke atas setelah mendengar ucapan Dewi Cahaya "Hmph, apa yang sedang kupikirkan!".
"Aku sedang memikirkan Tuanmu. Dia benar-benar keberadaan yang ajaib," Dewi Cahaya menjawab tanpa rasa takut kepada Goethe.
“Hm, benar! Betapa agungnya sang Penguasa baru! Dia bagaikan misteri yang memancarkan daya tarik mematikan!” Begitu menyebut nama Gao Leihua, Goethe langsung menunjukkan ekspresi bersemangat. Jangan heran, hal ini terkait dengan statusnya sebagai Jenderal Kavaleri Darah. Bagi Ksatria Darah, sosok terhebat tentu sang pemberi kehidupan kedua mereka.
“Ngomong-ngomong Goethe, tahukah kau skill apa yang digunakan majikanmu saat membekukan gerakanku dalam pertarungan terakhir?” Dewi Cahaya masih terpaku pada gerakan jari legendaris Gao Leihua. Hanya dengan sentuhan ringan, seluruh kemampuan bergeraknya terkunci.
“Aku juga tidak tahu.” Goethe mencoba membolak-balik produk setengah jadi di tangannya. “Dulu pernah kudengar majikan bilang, dia menguasai banyak ilmu bela diri asli kampung halamannya.”
“Seperti ini.” Dewi Cahaya tampak sedikit kecewa, lalu dalam kebosanannya tiba-tiba melihat segumpal benda berbentuk tali di tangan Goethe. Dengan heran ia bertanya: “Hei, Goethe, apa yang kau rencanakan ini?”
“Oh, aku sedang membuat suatu barang.” Goethe menjawab sambil tetap fokus mengikuti perintah sang penguasa untuk membuat “Cambuk Jiwa”: “Entah mengapa, selalu gagal. Ini adalah senjata jiwa, tapi tidak bisa mempertahankan wujud saat dalam kondisi jiwa.”
“Mempertahankan wujud saat dalam kondisi jiwa?” Dewi Cahaya mengangguk, “Aku ingat dulu Dewa Pencipta juga pernah membuat beberapa senjata, semuanya adalah senjata jiwa. Meski begitu, senjata-senjata itu tetap memiliki wujud material. Apakah senjata jiwa sama seperti tubuh manusia yang membutuhkan cangkang sebagai pembawa?” Dewi Cahaya mengutarakan pemikirannya.
"Benar! Kenapa aku tidak terpikir!" Goethe tertawa terbahak sambil menepuk kepalanya sendiri. Cambuk panjang jiwa ini sebenarnya hanya teori yang pernah didengarnya secara kebetulan saat berada di bawah Dewa Jiwa. Namun teori saja tidak cukup, Goethe baru menyadari betapa rumitnya implementasi praktik meski teorinya sempurna. Cambuk jiwa ini telah menyibukkannya semalaman ditambahkan satu pagi.
"Ngomong-ngomong. Hei, aku bertanya. Senjata apa yang kau buat ini? Untuk apa fungsinya?" Dewi Cahaya menatap objek berbentuk tali di tangan Goethe, tiba-tiba teringat sesuatu yang membuatnya membeku.
"Oh, aku sedang membuat cambuk jiwa. Hmm, fungsinya? Sepertinya Tuan bilang, dia ingin menggunakan barang ini untuk menghajar kau sendiri." Goethe menarik cambuk di tangannya.
"Apa? Mencambukku?" Dewi Cahaya membuka mulutnya lebar-lebar, saat ini dia ingin sekali menampar mulutnya sendiri sekuat tenaga.
Ini namanya menggali lubang sendiri! Mengajari Goethe cara membuat Cambuk Jiwa yang bagus, lalu menggunakan benda ini untuk mencambuk dirinya sendiri. Dewi Cahaya merasakan sudut bibirnya berkedut tak terkendali.
"Tahu tidak bagaimana menulis kata 'penyesalan'?" Dewi Cahaya saat ini hatinya dipenuhi oleh dua kata itu sepenuhnya...
……
Di tempat yang jauh dari Kekaisaran Cahaya, terdapat sebuah hutan tak berujung.
Hutan yang indah ini justru merupakan salah satu dari Tujuh Area Terlarang yang ditakuti manusia - Hutan Peri!
Peri, mereka adalah makhluk cantik ciptaan Dewa Pencipta yang paling sempurna. Mereka merupakan perwakilan kecantikan dan alam. Mereka mencintai perdamaian, menghargai makhluk hidup. Hampir tidak pernah membunuh, hampir hanya makan sayuran, mereka adalah versi dunia lain dari - Biksuni!!
Meskipun Suku Spiritual adalah ras yang dekat dengan alam dan mereka pecinta perdamaian, tidak ada satu pun orang atau negara yang berani meremehkan ras yang terlihat lemah ini.
Ketahuilah bahwa nama lain Hutan Peri - Hutan Darah Malam bukanlah sebutan tanpa alasan!
Dahulu kala, seorang raja dari negara adidaya manusia "Kekaisaran Babulun" tertarik pada tanah indah Hutan Peri. Dengan gegas ia mengirim pasukan sebanyak 100.000 personel untuk menyerang wilayah Suku Spiritual yang tidak bersenjata - Hutan Peri. Raja Babulun berencana menyatukan seluruh wilayah suku peri ke dalam peta kekuasaan negaranya dalam satu gerakan.
Namun meskipun hasrat itu indah, realitas adalah sesuatu yang khusus diciptakan untuk menghancurkan harapan!
Ketika pasukan Kekaisaran Babulun yang hampir 100.000 personel tiba di wilayah kekuasaan Suku Spiritual, mereka justru menemukan para peri yang terlihat lembut dan ramah itu telah berubah wujud menjadi praktisi sihir terkuat yang tak kenal ampun!
Suku Spiritual mencintai perdamaian dan nyawa, tapi itu hanya relatif! Dibandingkan nyawa orang lain, mereka lebih mencintai nyawa mereka sendiri. Mereka tidak bodoh sampai harus menghargai nyawa musuh demi perdamaian. Jadi ketika musuh datang, suku ini hanya punya satu kata: "Bunuh!"
Hanya semalam, ya, hanya dalam waktu semalam! Pasukan sekutu manusia Kekaisaran Ba Bulun yang berjumlah 100.000 personil tewas semua di bawah enam mantra larangan berturut-turut dari 600 guru spiritual suku ini yang terbagi dalam enam kelompok!
Konon, malam itu. Sinar darah menerjang perbatasan Hutan Spiritual. Sejak saat itu, hutan ini mendapat nama khusus - Hutan Malam Berdarah. Nama yang terus mengingatkan umat manusia tentang malam penuh lumuran darah ini kapan saja.
Sementara negara super Ba Bulun yang kehilangan 100.000 pasukan sekaligus ini, akhirnya perlahan-lahan keluar dari panggung sejarah manusia tidak lama kemudian.
13 Oktober, hari yang sangat biasa. Tapi bagi seluruh bangsa peri, hari ini adalah hari yang penuh kepedihan.
Tetua Agung peri yang termasyhur, satu dari tiga Bintang Bijak tersisa di benua - Bijak Peri "Feituo Balina·Ziluolan" telah kembali ke pelukan Dewa Peri saat senja pada tanggal 13, meninggalkan seluruh bangsanya dengan senyuman terakhir.
Bintang Bijak, dikenal di seluruh benua sebagai sosok yang mampu memandang nasib dan paling dekat dengan Dewa. Atau mungkin julukan lain mereka akan lebih familiar - mereka juga disebut sebagai Nabi.
Feituo Balina·Ziluolan bukan hanya nabi bangsa peri, tapi juga Tetua Agung sekaligus Paus Kuil Dewa Peri. Sebagai pusat agama peri, kepergiannya secara tiba-tiba telah meruntuhkan salah satu pilar penting dalam struktur klan.
Di jantung terdalam Hutan Peri, berdiri pusat peradaban mereka - "Kota Bulan".
Kota Bulan lebih merupakan sebuah kota yang mewarisi gaya khas Suku Spiritual. Alih-alih memiliki tembok pertahanan paling dasar, di sekeliling Kota Bulan justru ditanami pohon-pohon raksasa tak terhitung jumlahnya. Inilah senjata pertahanan andalan Suku Spiritual – Pohon Perang. Dengan keberadaan pohon-pohon perang ini, para peri sama sekali tidak perlu repot membangun tembok kota.
Di pusat tepat Kota Bulan, tepatnya di dalam istana kerajaan Suku Spiritual. Ratu Peri Kait Blaine duduk termangu-mangu di takhta kekaisaran, hanya terngiang-ngiang dalam benaknya ramalan terakhir Sang Bijak sebelum wafat.
Saat Sang Bijak menyadari sisa waktunya tidak banyak, beliau memanggil ratu ke sisi ranjangnya. Sang Bijak kemudian meramalkan nubuat pamungkas dalam hidupnya.
"Ketika bulan menghalangi tiga berkas cahaya matahari. Di dasar Gunung Suci... Keabadian dan ketakterkalahan, mereka adalah pasukan pengkhianat sumpah, bala tentara terkutuk, kesatuan yang telah membuang rekan seperjuangannya sendiri."
Di atas dataran kepiluan, prajurit yang tidak rela, prajurit yang dikhianati. Serta pasukan terkutuk pengkhianat dari 10.000 tahun silam, ditambah Suku Spiritual... Hancurkan negara......"
Hancurkan negara Suku Spiritual? Ratu Peri Katerina Bran segera menggenggam erat tangan kanan Bijak: "Bijak, lalu apa yang harus kulakukan? Apa yang bisa kulakukan?"
"Perjanjian, sebuah janji lima belas tahun lalu. Janji yang kau ikrarkan. Kulihat, punggung seorang pria. Pria yang bukan berasal dari dunia ini, serta perempuan di sisinya, rambut biru panjang, ekor kuning... Perjanjian... antara kau dan dia......" Sang Bijak perlahan menutup matanya. Menjelang kematiannya, ia melihat dua masa depan: kehancuran dan kebangkitan kembali Suku Spiritual. Namun ia tak bisa membedakan: apakah ini dua masa depan berbeda? Ataukah hancur dulu baru bangkit? Atau bangkit lalu hancur?
Ramalan yang diucapkan Sang Nabi di detik terakhir adalah ramalan yang paling akurat.
Ratu Peri Kait Blann resah akan hal ini. Ia memeriksa peta seluruh benua tapi tetap tak bisa menemukan "Dataran Kepiluan" yang disebut sang Bijak. Sepuluh ribu tahun bukan waktu yang terlalu panjang maupun pendek. Meski usia rata-rata peri cukup panjang, tak ada satupun peri tertua dalam klan yang memiliki kesan tentang peristiwa 10.000 tahun silam.
Perjanjian lima belas tahun lalu? Seorang perempuan berambut biru panjang, tapi ekor apa yang dimaksud sang Nabi sebelum wafat tak sempat dijelaskan. Juga bayangan pria, lelaki yang bukan berasal dari dunia ini?
Apa perjanjian yang bisa terkait dengan masa depan suku peri? Dewi Peri mengernyitkan alisnya sambil berpikir keras, namun bagaimanapun ia tak bisa mengingat sedikitpun tentang perjanjian lima belas tahun lalu...
