01.
Keesokan harinya pemuda itu datang ke sekolah dengan masker menutupi wajah, bahkan saat membaca evaluasi di bawah bendera pun tak dilepasnya.
Tiba-tiba perempuan itu merasakan firasat buruk.
Ternyata, begitu ia bertanya——
Ternyata semalam dia terlalu senang hingga akhirnya malapetaka, pagi hari bangun tidur langsung menemukan obat di wajahnya tidak bisa dihapus.
Dia：“......”
Maka, rekan penguasa sekolah itu harus bertahan tiga hari dengan wajah bertulisan "Aku cinta Sui Sui".
Dia tak kenal gentar, bahkan sesekali berpura-pura melepas masker, mengancam kalau malam tidak menjemput teleponnya, akan pergi keluar menggendong kendi anggur sampai memalukan wajahnya.
Dia terpaksa menyerah, setiap malam harus meneleponnya.
Sebenarnya di telepon, mereka tidak banyak bicara, hanya tidur sambil mendengar desahan napas satu sama lain.
Di hari pulsa teleponnya yang memang sedikit itu akhirnya habis, dia lega, memberitahu harus mengakhiri kebiasaan ini.
Tapi malam berikutnya, dia mengisi pulsanya cukup untuk tiga tahun teleponan.
——Jadi, mengapa dia bisa sebegitu lengket?
Bukannya dia terkenal kejam dan sedikit bicara?
Sebelum liburan tahun baru dimulai, wali kelas meminta semua siswa menuliskan mimpi mereka.
Dia tertarik dengan biologi, lalu menulis: Ingin masuk Universitas Hua, menjadi paleontolog.
Ia menoleh melihatnya, mendapati sang pemuda berpikir lama lalu menulis tiga karakter dengan serius:
——Jadi orang kaya baru.
Sui: "......"
Ditanya alasannya, si penguasa sekolah menjawab dengan penuh keyakinan:
"Cukup satu yang berkutat dengan porselen putih musim semi dalam satu rumah. Kalau tidak, mau hidup miskin?"
Saat itu ia berpikir: Masuk akal, paleontologi memang kurang prospek finansial.
Baru saat istirahat ia tersadar:
Dirinya belum menyetujui apa-apa, Bazi belum ada satu goresan, kok sudah dianggap keluarga?
Ia menoleh lagi, melihat pemuda itu tengah asyik memandang sebuah iklan sambil larut dalam lamunan.
Dari kejauhan terlihat ia sedang menyimak brosur perumahan kampus dengan seksama.
Tiba-tiba firasat buruk menghampiri, terbukti ketika sang pemuda bertanya sambil mengernyit:
"Menurutmu, kamar pengantin 200 meter persegi sudah cukup luas?"
Ia: "……"
Usai pulang sekolah, sahabat karib mendekati si penguasa sekolah penuh ingin tahu, "Bos, perkembangan hubungan kalian belakangan ini gimana?"
Pemuda berjalan di depan dengan tenang: "Cepat."
Sahabat dalam hati: Memang si bos, setahun saja sudah kejar juara kelas!
Pemuda tersenyum tipis: "Segera menikah."
Sahabat: "……"
02.
Masih beberapa tahun lagi sebelum pernikahan, tapi liburan musim dingin sudah tiba.
Tahun ini dia masih merayakan Tahun Baru sendirian.
Penghasilan dari les privat membuat kondisi ekonominya membaik. Dia memutuskan memasak hotpot sendiri di rumah. Belum sempat menyalakan kompor, terdengar teriakan pemuda di luar jendela.
Saat membuka jendela, terlihat pemuda itu sedang tersenyum ke arahnya dari bawah rumah.
Dia bertanya: "Bagaimana bisa kau datang?"
Si Bos Sekolah: "Keluarga seharusnya merayakan Tahun Baru bersama."
Dia: "……"
Dengan langkah mewah, pemuda itu memasuki rumah kontrakannya. Seolah sudah jadi bagian keluarga, dengan natural ia langsung menuju dapur membantu mencuci sayuran. Saat menunduk, gadis itu melihatnya membawa banyak camilan dan bahan makanan.
Dia bilang orang tuanya tidak pulang saat tahun baru, pembantu di rumahnya juga pulang merayakan tahun baru. Sendirian terasa dingin dan sepi, tidak ada tempat untuk pergi, jadi datang mengandalkannya.
Dia tahu itu bohong, tapi tidak membongkar kebohongannya.
——Karena makan hotpot sendirian, memang agak kesepian.
Dapur yang sempit ini dihuni oleh tubuh tingginya yang duduk di bangku kecil sambil melepas sayuran, terlihat kikuk dan sedih.
Dia memotong sayuran di dapur kecil yang sempit, sambil mengobrol santai dengannya.
Tiba-tiba si pemuda merasa mereka sangat mirip pasangan pengantin baru.
Dia tidak bisa menahan diri memandanginya sambil tersenyum.
Dia menoleh bertanya: "Tertawa apa?"
Mengangkat mata phoenix merahnya memandanginya, tersenyum manis: "Kau cantik."
……
Ini tahun baru pertama yang mereka habiskan bersama.
Sebelum hitung mundur tahun baru, mereka naik ke puncak menara menunggu kembang api.
Saat kembang api meledak di belakang, tiba-tiba si pemuda menunduk, persis saat bertabrakan dengan pandangannya.
Pemuda itu berkata: "Ini Tahun Baru terbaik yang pernah kulewati."
Kecuali dia menambahkan terlalu banyak cabai, membuatnya sampai sekarang masih tujuh lubang wajahnya mengeluarkan asap.
Dia tersenyum: "Aku juga."
03.
Di Tahun Baru sebelumnya, dia selalu merasa kesepian, tapi tahun ini berbeda -
Karena pemuda itu langsung 'lai' di rumahnya dan tak mau pergi.
Beralasan: memberi ucapan tahun baru. Lalu dari hari pertama sampai kelima belas, setiap hari datang ke rumahnya seperti berangkat kerja untuk menandai kehadiran. Semakin hari dia tak tahan, akhirnya mengeluarkan tumpukan lembar ujian untuk mengisi waktunya.
Tapi harus diakui, rumah yang biasanya sunyi sepi ini dengan adanya "Anjing galak" sebesar itu, sudah lama dia tidak merasakan kesepian.
Saat mereka mengerjakan PR bersama, tiba-tiba pemuda itu mengajukan pertanyaan:
Mengapa dia sangat memperhatikan nilainya?
Latar belakang ekonominya mapan, ada warisan keluarga yang bisa diwarisi.
Orang tuanya adalah pasangan pernikahan kemitraan yang tak punya perasaan, sudah sejak lama mengatur jalan hidupnya lalu menyerahkan pengasuhannya kepada pembantu.
Pemberontakan ataupun sikap manis penurut, sama sekali tidak ada yang peduli bagaimana hidupnya.
Gadis berkepribadian kesejukan yang tak tersentuh menundukkan bola matanya, pulpennya berdesir di atas kertas:
"Karena aku ingin mendaftar ke Universitas Hua."
"Kalau kau tidak pergi ke ibukota, aku tidak akan bisa melihatmu lagi."
Ia berhenti sejenak, "Aku agak menyesali perpisahan ini."
Udara sunyi selama beberapa saat.
Jantung pemuda itu seolah ditabrak sesuatu dengan keras.
……
Siang yang biasa-biasa saja ini, ia mengingatnya puluhan tahun lamanya.
04.
Tahun ketiga SMA berlalu begitu cepat, seolah hidup semua orang hanya memiliki satu target: ujian universitas.
Pertumbuhan seakan terjadi dalam semalam.
Pemuda itu membuang sikap sembrononya yang dulu, tidak lagi bergaul dengan teman-teman licik, dan berhenti membolos. Ia mengenakan kembali seragam sekolah yang bersih dan segar, sekilas terlihat seperti mahasiswa berprestasi. Hanya sorot mata keras kepalanya yang masih mengingatkan pada sosok "penguasa sekolah" setahun silam.
Di bawah bimbingan les selama setahun di kelas 2 SMA, nilai pemuda itu mulai melesat bagai roket. Waktu kecil ia pernah tinggal di luar negeri beberapa tahun, dengan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran andalannya yang menaikkan banyak poin. Kini masuk peringkat 60 besar seangkatan bukan hal sulit. Tapi masih ada jarak dibandingkan para siswa berprestasi.
Pemuda itu kerap bangun sebelum fajar menyingsing untuk menghafal pelajaran, mengerjakan lembar ujian, dan memperbaiki kesalahan.
Bawahan yang ikut les bersamanya sudah jauh tertinggal, bahkan sahabat karibnya pun tak paham: "Mengapa si bos harus bertarung mati-matian begini?"
Tapi pemuda itu tahu, di pundaknya telah memikul masa depan dua insan.
——Dia tak mau menjadi pihak yang hanya menanti di tempat.
Kerajinannya itu diamati dengan saksama oleh sang gadis. Sesekali ia tak bisa menahan senyum simpul.
Tapi setiap akhir pekan malam hari, saat terbangun dari tidur sebentar, selalu terdengar desiran pena pemuda itu dari balik telepon.
Gadis itu menyimak desiran itu sambil menatap cahaya fajar samar di luar jendela, perasaan berkecamuk di hatinya.
Ia memanggil: "Yan Yan?"
Pena di seberang berhenti, pemuda itu malas-malasan berkata: "Ya? Sudah bangun?"
Dia berkata: "Yan Yan, sebenarnya ke Kota Ibukota, nilai ini sudah cukup."
Pemuda itu tertawa terbahak.
Ia tak menjawab, setelah beberapa lama hanya berkata:
"Sudah-sudah, aku akan mencarimu, sebentar lagi kita sarapan bersama."
Ia tak memberitahunya, diam-diam telah mengubah target pendaftaran ke Universitas Hua.
——Terpisah dua blok jalan, tetap disebut pacaran jarak jauh.
Ia tak ingin berpisah dengannya.
Ia tahu sulit, jika dibocorkan mungkin sebagian besar orang akan mengejek khayalan hinanya, tapi, seandainya?
Pemuda bangga dan berani itu, menunggu sampai hari penerimaan surat pemberitahuan, baru akan memberinya kejutan.
05.
Setelah mendapatkan slot jaminan masuk Universitas Hua, dibanding siswa SMA kelas 3 lain, dia terlihat sangat santai.
Periode sebelum ujian universitas, terasa seperti kekacauan perang.
Ia tak tahu mengapa pemuda itu selalu berjuang mati-matian. Sesekali ketika melihatnya menuangkan kopi gelas demi gelas, ia menyambar cangkirnya sambil berkata, "Yan Yan, tidurlah sebentar."
Biasanya di saat seperti itu, pemuda itu akan terdiam sejenak. Begitu ia memalingkan muka, ia pun bersandar pada tubuhnya sambil memejamkan mata untuk istirahat singkat.
Kepala berbulu halusnya kerap mengingatkannya pada seekor anjing besar.
Meski telah mendapatkan slot beasiswa langsung, tak ada yang bisa diajak berbagi sukacita kecuali dirinya.
Setiap hari ia tetap datang ke kelas, duduk di sebelahnya sambil membaca buku. Waktu pun berlalu tanpa terasa.
Sehari sebelum ujian, pemuda yang sudah lama tak mendengar kabar anak buahnya itu awalnya tak ingin mencampuri. Tiba-tiba, namanya disebut.
——Orang tuanya telah mencarinya. Setiap siang mereka menunggu di bawah rumahnya, niat buruk terasa menguar.
Langkahnya terhenti.
Sampai ujian universitas usai, segalanya seolah akhirnya menghentikan langkah kacau.
Dia menunggunya di luar ruang ujian.
Begitu keluar, langsung melihat raut wajah pemuda yang suram.
Sebenarnya dia sedang berpikir bagaimana cara menyembunyikannya dari orang tuanya, tapi ekspresinya malah disalahartikan.
Dalam perjalanan pulang, dia pura-pura santai berkata:
"Sebenarnya meski tidak bisa satu kota, kita masih punya liburan musim panas dan dingin, masih bisa teleponan."
"Meskipun berjauhan, sekarang internet sudah canggih, bukan tidak ada kesempatan."
Maksud tersirat: Jangan melakukan hal nekat.
Pemuda: "……"
Di tengah jalan, tiba-tiba dia bicara:
"Sui Sui, bisakah kau menemaniku?"
"Rumahku sepi, rumah itu atas namaku, kunci penjara hanya aku yang punya."
Seharusnya dia menolak, tapi ingat banyak kasus gagal ujian universitas, akhirnya setuju.
Barang bawaannya sedikit, satu koper sudah rapi.
Tak disangka begitu masuk, pemuda itu diam sejenak, lalu mengaku jujur.
Baru sekarang dia tahu, ternyata kabar dirinya dijaga kandungan sampai ke telinga pasangan orang tua itu. Kini mereka sadar dia sudah berprestasi, bahkan mungkin mendapat beasiswa besar, lalu berniat mencarinya. Mereka sudah berhari-hari berkeliaran di bawah rumahnya, ketahuan oleh mantan bawahan si pemuda.
Dengan hati-hati dia mengamati gadis itu, khawatir hatinya terluka.
Bagaimanapun, harus berurusan dengan orang tua berpandangan sinis seperti ini, siapa yang tidak sedih?
Diam-diam dia merenung beberapa saat, tepat ketika si pemuda mengira dia akan tetap sunyi——
Tiba-tiba dia tersenyum: "Jadi, kau bisa tetap di ibukota?"
Si pemuda mengangguk ragu-ragu.
Gadis itu memeluk pinggangnya sambil tertawa:
"Sudah lama kanggap mereka bukan keluarga, tentu takkan sedih."
06.
Dia menetap di kamar seberangnya, bahkan setelah pasangan suami-istri itu pergi, tak juga pindah tempat tinggal.
Awalnya sekadar menghindar, lama-lama malas berpindah.
Siang hari mereka berkumpul membaca buku atau nonton film, kadang bergandengan tangan ke bioskop.
Seolah-olah segala tidak ada perubahan.
Hanya saja saat dia menyikat gigi di hari kedua setelah pindah, tiba-tiba mendengar gemericik air dari sebelah.
Dengan sikat gigi terjepit di mulut, saat menoleh dia melihat pintu kamar mandi terbuka dan pemuda berekspresi datar sedang mengeringkan rambut pendeknya yang basah.
Dia tertegun. Pemuda yang awalnya sedang mengeringkan rambut justru terhibur melihat ekspresinya, mendekat seolah ingin mencium sebelum akhirnya menyadari sikat gigi masih terjepit di mulutnya.
Langsung diputarnya badan gadis itu, mendesaknya: "Cepat selesaikan gosok gigimu."
Dia: "……"
Baru saat menyikat gigi dia sadar: Pemuda ini telah membeli sikat gigi pasangan, gelas pasangan, bahkan piyama dan sepatu - semuanya sepasang.
Dia mengira itu hanya gurauan, siapa sangka begitu selesai menggosok gigi, langsung direngkuh pinggangnya dan ditaruh di atas wastafel. Baru saja dia duduk, pemuda itu dengan cepat dan ganas menyambar bibirnya. Punggungnya menempel di cermin, tangannya merangkul leher pemuda itu, dibombardir ciuman kasar nan bergairah.
Saat mereka berhenti tergopoh-gopoh, pemuda itu menempelkan dahinya sambil tersenyum, "Aku sudah lama ingin menciummu."
Bibirnya perih diterjang ciuman, sampai dia memarahi si pemuda sebagai anjing.
Layaknya anak anjing, pemuda itu mendekat lagi dan menempelkan bibirnya dengan lembut.
Ciuman terasa manis dan indah. Di hari-hari dimana dia terus dikejar-kejar untuk dicium, perlahan-lahan kenangan buruk tentang orang tuanya memudar.
Dugaannya akan tetap tersinggung dengan sikap sinis dan pengkhianatan mereka ternyata meleset. Ketika suatu saat nama mereka terlintas lagi, hatinya sama sekali tidak bergolak.
Saat digendong pemuda itu sambil menontonnya main permainan, dia menyantap keripik kentang, tiba-tiba tersadar——
Entah sejak kapan, dekapan pemuda yang segar dan hangat itu telah berubah menjadi pelabuhan yang tenang baginya.
Seolah memperhatikan arah pandangannya, pelabuhan yang tenang itu menunduk memandanginya, menjepit sepotong keripiknya dengan bibir;
Beberapa saat kemudian, menjepit lagi sepotong.
Dia：“……”
“Yan Xueyi, kau ini anjingkah?”
Sang pemuda segera mendekat untuk menciumnya, penuh kemenangan berkata: “Jika kau bilang begitu, ya begitu saja.”
Mereka bersama-sama kembali untuk mengambil foto kelulusan, bersama menyantap makan perpisahan.
Saat mengisi formulir jurusan, awalnya dia ingin membawa buku panduan untuk mencarinya, tapi siapa sangka pemuda itu dengan tegas menolak memberitahu perkiraan nilainya. Ditanya pun, wajahnya tetap tenang bak dewa, hanya berkata akan memilih sekolah di ibukota.
Hatinya penuh kecurigaan, tapi berpikir: Lagipula selama di ibukota, pasti banyak waktu untuk pertemuan rahasia. Akhirnya tidak mengejar lebih lanjut.
Pada hari keluar nilai, mereka bangun sangat pagi.
Sang pemuda bersikap aneh, jika harus dijelaskan dengan satu kata adalah menjaga sikap. Seperti ekor yang ingin bergoyang liar namun harus menahan diri.
Perempuan itu bingung, tak mengerti apa maksud tersembunyi dalam labunya.
Saat melihat spanduk sekolah, dia tertegun.
Ketika menoleh, dilihatnya pemuda itu berdiri tak jauh sambil memandanginya dengan sikap arogan ala nomor satu di dunia, tersenyum penuh kemenangan.
——Tapi kali ini berbeda, dia benar-benar menjadi yang terbaik.
Berapa malam begadang mengerjakan soal ujian, pemuda itu menguap sambil menatap cahaya keemasan di ufuk timur, otaknya hanya terisi senyumannya.
Lelah dan lelah, seolah hilang tanpa bekas di detik ini.
Sang pemuda tersenyum bangga, membentangkan lengannya ke arahnya.
Perempuan itu berlari mendekat, memeluk erat, berjinjit mencium pipinya sambil tersenyum:
"Hadiah."
Di perjalanan pulang, dia bertanya padanya, "Yan Yan, sebenarnya sejak kapan kau ingin masuk Universitas Hua?"
Langkah sang pemuda terhenti sejenak, menjawab dengan samar.
Dia sama sekali tidak akan memberitahunya—
Pikiran itu muncul karena suatu hari dia melakukan pencarian di internet:
Hubungan jarak jauh, apakah mudah putus?
Malam itu sang pemuda bolak-balik di tempat tidur tak bisa tidur—
Bagaimana ini, cuma terpisah dua blok, kok rasanya sudah seperti hubungan jarak jauh!
Jangan-jangan dia nanti meninggalkan aku?
07.
Pada liburan musim panas tahun itu, sang pemuda mulai merencanakan pernikahan dengannya.
Terutama setelah mendengar bahwa menikah saat kuliah bisa menambah SKS, dia langsung berkata: "Ayo kita nikah begitu mencapai usia legal!"
Saat dia menoleh, mendapati pria itu sudah sedang memilih-milih gaun pengantin.
Perempuan itu tidak berkomentar: Bagaimanapun, ini adalah pria yang sudah mulai mencari rumah di kawasan sekolah sejak kelas 2 SMA.
Setelah lama didesaknya, dia pun merasa mereka mungkin akan segera mendaftarkan pernikahan. Tapi tak ada yang menyangka, pernikahan mereka tak semulus yang direncanakan.
Karena saat itu dia sibuk dengan studinya, menghubungi pembimbing akademik; dan setelah urusan jaminan masuk pascasarjana selesai, giliran dia yang mulai sibuk dengan startup-nya.
Tak lama setelah mereka masuk tahun ketiga kuliah, keluarga Yan pun bangkrut.
Di sudut ruang kelas, dia berbisik menasihatinya untuk melepas mimpi menjadi orang kaya baru, lalu belajar tekun bersamanya setiap hari.
Pemuda dulu kini telah dewasa, alis dan mata remaja itu masih cantik berani memancarkan ketajaman tak terbendung yang tak bisa disembunyikan.
Dengan yakin dia berkata: "Kalau aku ingin jadi orang kaya baru, ya pasti jadi! Daripada ikut riset tak menjanjikanmu!" Bila orang lain mungkin cuma membual, tapi aura keteguhan yang tak tergoyahkan pada dirinya membuat orang tak bisa menahan diri untuk mempercayai dan mengikutinya.
Perempuan itu tersenyum: "Kalau begitu aku akan menunggumu menjadi orang kaya baru."
Hanya saja, awal-awal membangun startup selalu penuh kesulitan.
Mereka terpaksa pindah dari apartemen tiga kamar nyaman ke kompleks perumahan kecil dengan kedap suara buruk.
Dia sejak kecil sudah terbiasa dengan hari-hari seperti ini, jadi tidak merasa masalah. Hanya saja ranjang di rumah kontrakan itu memang kurang kokoh, mudah berderit-derit.
Gerakan mereka sedikit lebih keras, ranjang langsung rapuh yang mengkhawatirkan.
Suatu kali ranjang berderit terlalu kencang, Tante sebelah sampai mengetuk pintu.
Setelah orangnya pergi, melihat dia yang kembali dengan wajahnya hitam legam, akhirnya dia tidak bisa menahan diri dan tertawa.
Dia melototinya, baru saja ingin menariknya mendekat, siapa sangka satu tarikan kerasnya membuat ranjang ambruk.
Sui: "……"
Yan: "……"
Rencananya sudah matang: begitu dana batch pertama kembali, akan mengajaknya pindah tempat tinggal, membeli rumah tiga kamar dulu untuk memperbaiki hidup. Tunggu perusahaan menemukan jalan teratur, baru mendaftarkan pernikahan dengannya.
Siapa sangka perusahaan menghadapi pihak lawan yang tertunggak pembayaran kargo, dana tiba-tiba tidak bisa berputar.
Pemuda yang tak takut akan apapun itu, pertama kalinya terbenam dalam lembah kegelapan hidup.
Namun reaksi pertama bukanlah perusahaan sendiri yang akan tamat riwayat, melainkan——
Dia masih harus terus tinggal di rumah reot kecil itu.
Hari itu, sepulang dari sekolah, dia menunggu lama tapi tak kunjung melihatnya pulang. Saat mendorong pintu hendak pergi mencari, tiba-tiba terlihat di ujung gang seberang sosok tinggi pemuda itu dengan setelan jas tergantung di bahu, bayangannya yang besar tampak sunyi dalam kegelapan.
Perempuan itu berkata padanya: "Yan Yan, masih ingatkah saat pertama kali kau membajakku?"
Waktu itu, akun beasiswanya bermasalah. Terpaksa hidup dengan uang saku ratusan keping selama dua bulan.
Meski bilang mau membajak, nyatanya dia malah mentraktirinya makan malam mewah. Tanpanya, gadis itu tak tahu bagaimana bisa melewati bulan-bulan tersulit.
Bibirnya merekah: "Jadi kini kutinggal menemanimu, anggap saja ini pelunasanku."
Matanya masih berbinar seperti dulu, penuh keteguhan yang tak pernah pudar.
Pemuda itu pun melangkah mendekat, memeluk erat tubuh gadis itu. Seperti anjing besar yang kehujanan, ia menggesek-gesekkan wajahnya.
Suaranya parau: "Tunggu aku."
Persis seperti bertahun-tahun silam, selama dia ada di sisinya, dia bisa melakukan hal-hal yang bahkan dirinya sendiri tak percaya.
08.
Di tahun kedua setelah perusahaannya mulai stabil dan berkembang pesat, akhirnya mereka menikah.
Dari usia 17 tahun hingga 27 tahun, 10 tahun menemani.
Saat resepsi pernikahan, tiba-tiba dia teringat sore itu di SMA dulu, lalu bercerita tentang mimpi masa muda mereka.
Waktu itu dia ingin jadi paleontolog, kini keinginannya terwujud - bahkan di bagian ucapan terima kasih artikelnya yang memenangkan penghargaan, ditambahkan nama pemuda itu.
Dia pun mewujudkan mimpinya menjadi legenda bisnis yang meroket, dengan kekayaan tak terhitung.
Pemuda itu menatap profil wajahnya sambil tersenyum manis.
Tapi ada satu hal yang tak dia ungkapkan——
Sore itu, setelah gadis itu berpaling, dengan malu-malu tapi serius si pemuda mencoret tulisan "jadi orang kaya" lalu menggantinya dengan kalimat:
Menikahinya, hidup bersamanya sampai rambut memutih.
Itulah impian terbesar Yan Xueyi di masa mudanya.
……
Sejak saat itu, melalui berbagai rintangan seumur hidup, tak satu pun yang melepaskan genggaman tangan yang lain.
