"Yang Mulia, apa yang sedang Anda lakukan?" Carter sebelumnya mengira Pangeran Keempat hanya sedikit otoriter, tapi sekarang ini sudah berubah menjadi khayalan yang tak masuk akal.
Jika bicara tentang cara melatih seorang prajurit, Kepala Ksatria yakin tak ada yang lebih profesional darinya. Keluarganya memiliki metode latihan komprehensif - mulai usia 10 tahun sampai 15 tahun, hanya dalam 5 tahun bisa mencetak prajurit yang mahir berbagai senjata. Jika ditambah 5 tahun lagi, akan menjadi ksatria yang menguasai tata krama kalangan atas - tentu dengan syarat yang dilatih bukan berasal dari rakyat biasa.
Lihatlah kumpulan brengsek di depan mata ini, yang mereka pikirkan cuma makanan! Lagipula... telur itu mahal, tahu!
Roland mengorek telinganya, "Kamu cukup perhatikan saja. Ingat, latihan beberapa hari ke depan harus dijalankan seperti ini. Tentu akan ada beberapa perubahan strategi detail yang akan kutuliskan di kertas."
Di era senjata dingin, melatih pasukan prajurit berkualitas dalam 2-3 bulan? Roland sama sekali tidak punya pemikiran seperti itu. Dia juga tidak butuh Prajurit Sparta yang bisa merobek binatang buas hanya dengan celana dalam. Kekuatan tempur individual tentara tidak perlu hebat, tapi harus disiplin ketat dan patuh pada perintah.
Kekuatan tim dalam kebanyakan kasus melebihi individu, hal ini ditentukan oleh atribut sosial manusia. Untuk mencapai hal ini dengan cepat, menerapkan sistem pelatihan militer dan menyempurnakannya sesuai lingkungan saat ini mungkin merupakan pilihan yang baik. Menurut pengalaman pribadinya, hanya dalam setengah bulan ia berhasil melebur siswa dari seluruh negeri menjadi satu kesatuan, terlepas dari prosesnya, efeknya masih cukup jelas.
Setelah kelompok ini benar-benar memahami arti disiplin, Roland baru bisa menerapkan rencana selanjutnya.
Fanar akhirnya tidak berhasil memakan telur butir kedua.
Durasi berdiri kali ini melebihi dua kali lipat dari sebelumnya, baru berakhir ketika ada yang gemetaran dan tak mampu menahan diri untuk bergoyang-goyang.
Sang Pangeran Keempat tepat pada waktunya mengumumkan istirahat untuk semua, dan memerintahkan pelayan membagikan makan siang. Tindakan ini berhasil mengalihkan amarah yang lain terhadap pelanggar aturan ke makanan, tetapi membuat Fanar curiga mungkin Yang Mulia Pangeran sama sekali tidak berencana memberi mereka hadiah kedua.
Makan siang dikemas dalam empat guci besar, diangkut ke luar kota dengan beberapa kereta kuda. Selain makanan, kereta juga membawa banyak baskom kayu dan sendok.
Saat Fanar menjilat bibirnya bersiap berebut, Kepala Ksatria menghadang di depan semua orang.
Yang Mulia Pangeran memerintahkan semua orang berbaris dalam empat kolom, maju satu per satu untuk mengambil peralatan makan. Siapa pun yang mengacaukan tatanan akan dialokasikan makanan terakhir secara paksa.
Kerumunan orang berdesakan membentuk empat barisan. Nasibnya cukup beruntung, berada di posisi terdepan kolom paling luar. Tentu saja beberapa orang menunjukkan ketidakpuasan keras, terdengar keributan dari dalam barisan. Dengan cepat para ksatria dan beberapa penjaga menerobos kerumunan, mengusir pembuat keributan keluar.
Dasar bodoh, Fanna melirik si pembuat onar, "Tinju Gila" yang paling suka berkelahi di kota. Biasanya mengandalkan kekuatan fisik untuk membuat masalah, kini harus jongkok patuh dengan pedang mengarah ke arahnya. Lihatlah betapa malangnya dia!
Ia yakin telah memahami selera Pangeran Yang Mulia secara garis besar.
Itu adalah keseragaman sempurna.
Berbaris harus lurus kencang, formasi harus membentuk garis lurus, bahkan makan pun harus antri, tatanan tak boleh terputus... Fanna pernah mendengar dari pedagang kota besar yang berpengalaman, beberapa bangsawan memiliki kegemaran aneh: segala sesuatu harus tertata rapi menurut peraturan. Sedikit ketidaksesuaian pun akan memaksa mereka untuk merapikan.
Dalam kesadaran Fanna, tipe orang seperti ini murni kelebihan waktu luang, tidak ada pekerjaan, sampai sengaja mencari masalah untuk menyiksa diri sendiri.
Tak disangka Pangeran Yang Mulia juga termasuk tipe seperti itu.
Saat penutup tempayan dibuka, Fanna mencium aroma harum yang pekat.
Bau menggoda yang menyebar membuatnya hampir mabuk. Kerumunan mulai gelisah, dari depan terdengar auman Ksatria Yang Mulia. Mungkin harus antri lagi, pikirnya.
Seperti yang diduga, Pangeran Keempat meminta semua orang mengantri sesuai urutan kedatangan saat mengambil baskom kayu dan sendok sebelumnya untuk menerima makanan.
Meski semua orang menelan air liur dan perutnya keroncongan, mengingat contoh dari Tinju Gila, mereka tetap mengantri panjang dengan patuh.
Guci tanah berisi bubur gandum panas. Fan Na terkejut menemukan ada dendeng daging dalam bubur itu! Meski yang terkumpul di baskom kayu hanya selembar tipis, tapi itu tetap daging! Setelah bubur diambil, dia juga mendapat bonus sebuah telur ekstra.
Fan Na hampir melahap dengan rakus semua makan siangnya, bahkan menjilat dasar baskom. Telur itu bahkan tak sempat dikunyah, langsung ditelan bulat-bulat. Karena makan terlalu cepat, dia tak sengaja melepuh lidahnya.
Meletakkan baskom kayu, Fan Na menepuk perut dan bersendawa. Sudah lama dia tidak menikmati makanan selezat ini. Yang lebih tak terbayangkan, dia bahkan merasa kenyang. Manisnya bubur daging dibandingkan roti hitam benar-benar bagai Langit dan Bumi, bahkan terpikir olehnya - jika bisa makan seperti ini setiap hari, apa artinya melawan binatang jahat di garis depan?
Setelah makan adalah waktu istirahat yang cukup panjang. Semua orang dibawa kembali ke dalam tembok kota, berjalan kaki ke perkemahan tempat tinggal patroli kota. Seorang pria ras asing berkekaran keluar dari tim dan mulai mengajari yang lain cara mendirikan tenda.
“Fanna mengenalnya—tak banyak orang yang tinggal di Jalan Lama tidak kenal Kapak Besi. Keahlian memanahnya yang luar biasa membuat pemburu tua paling berpengalaman di kota ini terkesima. Tunggu, Kapak Besi sekarang bekerja untuk Pangeran Keempat? Sepertinya sebelumnya juga melihatnya selalu berada di sisi ksatria. Alis Fanna berkerut, apa yang dipikirkan Yang Mulia? Dia kan Orang Pasir.”
“Benarkah Yang Mulia berniat mengangkat seorang Orang Pasir sebagai kapten?” Carter memiliki pertanyaan yang sama, “Dia bukan bagian dari Menara Kelabu, bahkan bukan dari kerajaan benua.”
“Penyihir juga bukan bagian dari Menara Kelabu,” Roland berkata sinis, “Tapi mereka semua milik Kota Perbatasan. Lagipula, bukankah ada kau yang mengawasi di sini?”
“Tapi, Yang Mulia...”
“Jangan khawatir,” Roland menepuk bahu ksatria, “Kota Perbatasan tidak mempedulikan asal usul. Selama tidak melanggar hukum kerajaan, mereka tetap rakyat wilayahku. Jika benar-benar tidak yakin, kau bisa pilih dua orang berbakat lagi sebagai kapten, lagipula pasukan ini akan diperluas nanti, sekarang baik juga mencetak beberapa yang berpotensi. Ngomong-ngomong, peraturan latihan sudah kutulis, dibandingkan Orang Pasir, kurasa lebih baik kau fokus ke ini.”
「Carter menerima gulungan perkamen kulit kambing dari tangan Roland, mengamatinya dari awal hingga akhir, lalu langsung tertegun. Isi latihan ini benar-benar belum pernah didengar sebelumnya - misalnya lari mengelilingi Perbatasan Kota bersama semua orang di sore hari, dari shi rusa (jam 2 siang) hingga matahari terbenam. Peraturan menekankan setiap orang harus menyelesaikan ini, diperbolehkan saling membantu selama proses. Jika tidak ada yang menyerah, makan malam ditambah satu telur. Atau contoh lain: tiup peluit berkumpul segera setelah shi serigala lewat, memaksa semua orang berkumpul dengan cepat sambil mengenakan pakaian. Kegiatan seperti ini mungkin akan membuat tim bubar dalam beberapa hari.」
「Jika beberapa poin sebelumnya masih bisa sedikit dipahami, poin terakhir benar-benar membuat Carter terlelap.」
「Setiap hari setelah makan malam, seluruh anggota menuju Akademi Tuan Karl untuk menerima pelatihan budaya.」
“Yang Mulia... Apa maksud pelatihan budaya? Jangan-jangan Anda juga ingin mengajari mereka baca tulis?”
“Aku memang berharap begitu, tapi waktunya terlalu singkat. Paling hanya cukup untuk mengajari beberapa kata dan angka sederhana, cukup untuk membaca dan menulis perintah. Bagian ini akan kujelaskan langsung pada Karl, tugasmu hanya mengantar mereka ke sana.”
“Tapi... Mengapa Yang Mulia melakukan ini? Ini sama sekali tidak membantu dalam pertempuran melawan makhluk jahat!”
“Siapa bilang?” Roland menguap lebar, “Tim yang ahli bertempur pasti tim yang berbudaya. Ini pelajaran dari sejarah.”
