Sinar matahari perlahan jatuh ke pegunungan, kelam malam menyelimuti Wilayah Barat.
Delegasi utusan menemukan tanah lapang tak jauh dari jalan, mendirikan tenda.
Api unggun segera menyala di bagian tengah tenda, ahli seni bela diri melepas baju zirah, meregangkan tubuh lelah, duduk melingkar mengelilingi kobaran api, merebus air untuk bubur.
Eleacia membawa baskom berisi air hangat masuk ke tenda, “Yang Mulia Pendeta, silakan cuci muka.”
“Terima kasih.” Mira tersenyum mengangguk, mencelupkan handuk ke dalam air. “Besok kita akan tiba di Perbatasan Kota, perjalanan ini melelahkan.”
“Dibanding melawan makhluk jahat, ini bukan apa-apa,” jawabnya, “Justru kemampuan berkuda Anda membuatku memandang dengan mata baru, kupikir pendeta tak biasa melakukan perjalanan jauh.”
“Haha, aku bukan pendeta sejak lahir, dulu berdagang, berkuda menempuh perjalanan adalah hal biasa.” Mira mengusap debu dan keringat di wajah dengan handuk, menyodorkan baskom ke ksatria wanita, “Kamu juga cuci. Bagaimana, sekarang hati sudah lebih tenang?”
“Apa?” Eleacia tertegun.
“Soal Pasukan Hukuman Dewa,” pendeta menggelengkan kepala sambil tersenyum, “Perasaanmu terbaca jelas di harga diri, karena perkataan Abrams kan.”
“……” Dia menerima baskom itu tanpa menjawab.
“Kita akan menghadapi banyak situasi terjebak dan tantangan. Jika tak bisa melewati rintangan ini, bukan hanya gereja, seluruh dunia akan binasa. Untuk menghentikan musuh-musuh mengerikan itu, terkadang pengorbanan diperlukan,” kata Mira. “Ini pilihan sulit, tapi jangan lupa motto gereja.”
“Memilih yang lebih ringan dari dua kejahatan,” bisik Eleacia.
“Benar. Menilai apakah harga itu sepadan tergantung tujuannya. Yang terpenting, ritual Transformasi Pasukan Hukuman Dewa sepenuhnya sukarela. Ketika kakak Abram memutuskan menjadi Pasukan Hukuman Dewa, dia sudah siap berkorban untuk gereja. Ini ideal mulia. Namanya akan terukir di Prasasti Kejayaan, menyebar bersama cahaya kemuliaan gereja.”
“Terima kasih atas bimbingannya,” Eleacia meletakkan tangan kanan di dada, “Saya merasa lebih lega.”
Yang Mulia Pendeta benar. Mereka semua berkorban demi mengikuti cahaya kejayaan dewa. Apapun hasilnya, setidaknya Pasukan Hukuman Dewa tetap memegang keyakinan teguh. Memikirkan ini, rasa sesak di dadanya mulai menghilang.
“Senang bisa membantumu,” Mira tersenyum ringan, “Mari kita pergi makan malam. Mereka pasti sudah siap. Jujur saja, akhir-akhir ini terus makan bubur, lidahku hampir tak bisa membedakan rasa.”
“Syukur hari ini hari terakhir,” Eleacia juga tersenyum, “Besok kita mungkin akan mendapat sambutan langsung dari Pangeran dan pesta makan malam mewah.”
Setelah menyelesaikan makan malam yang hambar, Ketua Pengadilan memilih penjaga malam hari ini. Para Samurai Pengadilan yang tidak mendapat tugas segera masuk ke dalam tenda dan tidur lebih awal. Eleacia，dia dan pendeta kembali ke tenda, mematikan lampu minyak, lalu menyelimuti diri dengan selimut.
Entah berapa lama kemudian, tepat saat dia terlelap setengah sadar, tiba-tiba terdengar dentuman meredam di telinganya - seperti sesuatu yang terjatuh ke tanah. Tak lama, suara kedua menyusul.
Kali ini, dia juga mendengar gemerincing baju zirah menyentuh tanah, tidak terlalu jelas, tapi sama sekali bukan ilusi.
Matanya terbuka lebar seketika.
Berguling bangun, Eleacia cepat-cepat meraih pedang dua tangan di sampingnya, perlahan menyandar ke tepi tenda. Saat hendak mengangkat sudut tenda untuk mengamati situasi mencurigakan, teriakan keras Ketua Pengadilan sudah bergema dari sisi lain, "Musuh—serangan! Samurai, bertahan!" Auman itu memecah kesunyian malam, perkemahan langsung mendidih bagai darah.
Disusul oleh dentuman keras!
Suara Ketua Pengadilan tiba-tiba terputus.
Tanpa ragu lagi, dia berguling keluar tenda. Terlihat pedang besar Ketua Pengadilan terbelah dua... Tidak, bukan hanya pedangnya. Sang Ketua sendiri terbelah, darah segar menembus langit. Dalam sorotan api unggun, dia bersujud lemah, tubuhnya terbelah ke dua sisi, perlahan roboh di kaki seorang perempuan.
Wanita yang memegang pedang raksasa aneh inilah penyerangnya, seluruh tubuhnya diselubungi jubah hitam dengan kerudung yang menutupi wajah. Di bawah bayangan tepi topi, Eleacia hanya melihat sepasang biji mata keemasan yang berkilauan.
Dua anggota tentara Pengadilan lagi menerjang, namun perlawanan mereka sia-sia di hadapan senjata mengerikan itu. Musuh membunuh seorang ahli bela diri dengan sekali serangan tebasan, membelah tubuh beserta pedangnya. Dentuman keras berasal dari benturan senjata, percikan api dan remah-remah beterbangan, diikuti suara gesekan bilah pedang dengan raga dan tulang-tulang. Suara mimpi buruk ini membuat darah ksatria wanita itu hampir membeku.
"Dia penyihir!" teriak seseorang.
Musuh hanya dia sendiri... Hanya orang terjerumus yang telah mendapat kekuatan iblis yang berani menyerang tentara Pengadilan sendirian!
"Bawa pendeta pergi!" Suara tenang tiba-tiba terdengar di telinga Eleacia.
Ia menoleh dan terkejut melihat Abrams.
"Kau menyuruhku meninggalkan rekan dan kabur duluan?" Eleacia membelalakkan matanya.
"Kalau tidak, kau hanya akan mati tanpa arti di sini, masih belum mengerti?!" dia mengerutkan kening dan mengeram, "Musuh tidak takut pada Batu Hukuman Dewa, hanya Orang Luar Biasa yang memiliki kemampuan seperti ini. Aku akan berusaha menghalanginya, kau bawa pendeta ke arah Benteng Longsong! Ingat harus lewat jalan besar, jika bertemu rombongan pedagang yang berkemah segera minta tolong!" Setelah berkata demikian, ia menyambar pedang dan menyerbu ke arah musuh.
Orang Luar Biasa, dia menarik napas dingin. Menurut legenda, hanya Pasukan Hukuman Dewa yang bisa melawan mereka. Saat bertemu penyihir perempuan Luar Biasa, harus segera meminta bantuan ke gereja setempat. Eleacia tahu perkataannya benar - bertahan di sini hanya akan membuat mereka menjadi pengorbanan sia-sia.
Di arena sudah lima anggota tim yang runtuh. Samurai Pengadilan yang tersisa mengubah taktik, memanfaatkan tenda dan topografi untuk bergerak menghindari. Ini bisa mengulur waktu sedikit lebih lama. Tapi dia paham, di hadapan Orang Luar Biasa yang jauh melebihi mereka dalam kekuatan fisik dan kecepatan, penghancuran total hanyalah masalah waktu.
Dia menggigit gigi, menerobos masuk ke tenda, menarik Mira yang sudah memakai sepatu dan diam menunggu kabar, lalu berlari ke tempat kuda-kuda ditambatkan.
"Apa yang terjadi?" tanya pendeta dengan suara berat.
"Orang Luar Biasa menyerang perkemahan! Aku harus membawa Bapak pergi!" Dia melompat naik ke punggung kuda, "Cepatlah!"
Tapi bepergian malam hari membuat kondisi jalan tak terlihat jelas. Jika memacu kuda di jalan berlubang, mudah saja kaki kuda patah terantuk. Jika berlari pelan, takkan lama akan dikejar musuh.
"Eleacia memutuskan untuk membiarkan kuda berlari menyusuri jalan, sementara dia dan pendeta menyelam ke dalam hutan di pinggir jalan. Tanpa cahaya api, sulit menemukan mereka."
Denting senjata perlahan menjauh, dia menggenggam tangan Mira, mengandalkan sinar bulan redup untuk mengenali lingkungan sekitar. Terus masuk ke arah yang menjauhi jalan raya, mungkin akan menemui binatang buas atau ular berbisa, tapi tetap lebih baik daripada bertemu penyihir perempuan.
Hingga mereka berdua tersandung-sampai ke posisi dekat Pegunungan Jurang, Eleacia sedikit lega. Musuh tampaknya tidak mengejar, selain suara burung yang mengganggu di atas kepala, sekitaran sunyi senyap.
"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" tanya Mira.
Dalam situasi seperti ini, dia masih tidak panik. Ketenangan ini membuat Eleacia kagum, "Yang Mulia, kita bisa mencari tempat berlindung di sini yang terlindung angin, menginap semalam, dan kembali ke Benteng Longsong saat fajar untuk minta bantuan."
"Tidakkah lebih baik mengungsi ke Perbatasan Kota? Dari sini butuh sehari semalam untuk kembali."
"Tidak perlu," Eleacia menggeleng, "Kedatangan Orang Luar Biasa terlalu kebetulan. Kucurigai pangeran sudah bersekongkol dengan penyihir. Sekarang pergi ke kota kecil terlalu berbahaya."
"Penjelasanmu masuk akal--" Tiba-tiba dia membeku, matanya menatap kosong ke arah belakang ksatria wanita.
"Hati Eleacia langsung berat." Ia menoleh, melihat perempuan berjubah hitam keluar perlahan dari bayangan pohon yang gelap, matanya bagai bintang-bintang yang bersinar. Seekor burung hantu berputar turun dan hinggap di bahunya.
