"Jangan terlalu sedih, Yang Mulia Mein," ujar Jieluo dengan telapak tangan di punggung, berjalan perlahan mengelilingi alun-alun. "Gereja memang didirikan oleh Persatuan. Yang Mulia Paus hanya mengembalikannya pada pemilik aslinya - para penyihir perempuan. Jika Yang Mulia menang, Anda juga akan mendapatkan ingatan dan pengalaman saya. Itu adalah kekayaan yang terakumulasi selama 200 tahun."
Jadi begitu. Meminta Jieluo mengaktifkan bayangan gereja memang aneh. Sekalipun disayang Paus, dia tetap hanya seorang Penyuci yang prinsipnya tak seharusnya menyentuh rahasia terdalam gereja. Sayangnya saat itu aku mengabaikan hal ini. Setelah diam sejenak, Mein bertanya, "Jika kamu menang, ke mana gereja akan dibawa?"
"Menuju kemenangan," jawabnya menatap langit, "atau kehancuran... Yang pasti bukan ke kepulauan Fjord."
"Apa...?!"
“Apakah Yang Mulia mengira perintah rahasia yang dikeluarkan benar-benar tidak diketahui siapa pun?” Nada suara Jieluo menyiratkan sedikit sindiran aneh, “Sebelum pertempuran besar turun, malah mengalihkan sebagian logistik untuk mengangkut ke Pelabuhan Laut Musim Dingin Abadi, digunakan untuk memperbaiki kapal dan menghidupi awak kapal. Selain itu memilih sejumlah besar kambing hitam untuk dihukum gantung, ini benar-benar skala besar, hampir mustahil menyembunyikan dari mata-mata gereja.”
Harus mati, Oberlain ternyata menyerahkan mekanisme intelijen area rahasia kepadanya, “Apa yang bisa dibuktikan dari itu! Sebagai Paus, tentu saya harus mempertimbangkan lebih jauh, dalam kondisi darurat, agar gereja bisa terus bertahan.”
“Ucapan ini, mungkin Yang Mulia sendiri pun tidak percaya?” Jieluo mengejek, “Baru saja menerima tongkat kekuasaan di depan banyak penganut, sudah mulai memikirkan jalan keluar sendiri, pertempuran makna ilahi belum turun, sudah kehilangan keyakinan untuk menang – dengan manusia biasa sepertimu, berharap mendapat senyum dewa?”
“Senyum dewa apa yang kau bicarakan!” Mein mengaum rendah tak tertahan, “Jika benar memberkati kita, bagaimana mungkin manusia terus menerus kalah?” Ia menarik napas dalam-dalam, menurunkan volume suaranya, “Lagipula, melawan iblis akhirnya tetap harus bergantung pada Pasukan Hukuman Dewa, waktu-lah yang paling mendesak sekarang, apa yang bisa kau ubah.”
“Tidak, bukan hanya Pasukan Hukuman Dewa,” Jieluo berbisik pelan, “Takdir manusia seharusnya tidak hanya diserahkan kepada segelintir orang.”
“Masa harus mengandalkan penyihir perempuan seperti kalian,” Mein tersenyum dingin, “jangan lupa bagaimana saudara-saudaramu mengalami Kekalahan Total lebih dari 400 tahun yang lalu!”
“Penyihir hanyalah sekelompok kecil dari spesies manusia,” dia menghentikan langkah, menatap langsung ke arah Paus. Cahaya di matanya membuatnya merasakan dingin yang menusuk tulang, “Ini adalah Pertempangan penentu takdir kelangsungan hidup manusia, tentu harus melibatkan setiap individu – baik laki-laki, perempuan, tua maupun muda. Semua akan menjadi prajurit penuh kehormatan yang berduyun-duyun menuju medan perang, sampai berhasil mengalahkan Iblis atau…semua mati.”
“Menggelikan! Memaksa rakyat biasa yang bahkan gemetar ketakutan melihat makhluk jahat untuk bertarung melawan Iblis – ini rencanamu? Sungguh tak masuk akal—” Mein tiba-tiba tertegun. Ekspresi wajah lawannya sama sekali tidak terlihat bercanda, tapi benar-benar serius menyampaikan gagasan. Satu-satunya cara memberi kemampuan bertempur pada rakyat biasa adalah…
“Kau ingin memaksa semua orang memakan pil amukan?” Ia membuka mulut tak percaya.
“Satu pengamuk tak bisa menyaingi Prajurit Hukuman Dewa, bagaimana dengan sepuluh?” Jieluo memiringkan kepala, “Saat ini makhluk jahat sedang merajalela. Pasokan bahan baku tidak hanya stabil, area rahasia mungkin bisa meneliti beberapa formula baru. Dalam lima tahun, gereja bisa mengumpulkan 3 hingga 4 juta pil eliksir. Ini berarti...” Ia berhenti sejenak, “berarti selain Pasukan Hukuman Dewa, Kota Suci bisa mengerahkan beberapa pasukan amukan berjumlah jutaan orang untuk berperang melawan Iblis.”
“Kau...gila!”
“Gila? Kalian meremehkan Perang Kiamat!” Penyuci tiba-tiba berseru, “Persatuan maupun Gereja, hanya berpikir memanfaatkan kekuatan kecil untuk menahan serangan maksimal musuh. Kegagalan sudah wajar. Dalam perang ini, tak ada yang bisa netral. Orang biasa tak bisa selamanya bersembunyi di belakang Pasukan Hukuman Dewa atau penyihir perempuan - seperti kataku sebelumnya, ini perang takdir! Semua harus berusaha maksimal agar layak bertarung melawan Iblis di wilayah liar!”
Penyuci yang dibesarkan gereja tak mungkin bicara seperti ini. Ini... keinginan Sang Penakluk! Kulit Mein pucat seperti kertas, “Kau... anak haram sejati!”
Yang Mulia Oberlain, apakah Anda benar-benar meramalkan semua ini?
“Menerima pengetahuan adalah proses mengubah diri. Pertukaran pemikiran mendatangkan kemajuan,” Jieluo menarik napas dalam, “Mungkin kita harus mengakhiri percakapan dan menentukan siapa pemimpin gereja sebenarnya.”
“Jangan kira kau sudah menang,” Paus menggertakkan gigi, “Ini adalah dunia yang kubangun!”
Saat kata terakhirnya mendarat, kabut merah mulai mengepul dari bawah kakinya menyebar ke segala arah. Jieluo tertegun sejenak sebelum tangannya mencengkeram tenggorokan sendiri. Jeritan menyayat keluar sementara kulit wajahnya mengerut seperti kulit jeruk, mengelupas berdarah-darah hingga tak lagi berbentuk manusia.
"Ini adalah kabut iblis yang disimpan di mekanisme tersembunyi Pusat, hanya efektif terhadap penyihir perempuan yang memiliki energi sihir," kata Mein dengan penuh kebencian di tengah kabut merah, "Jika kubiarkan memenuhi seluruh alun-alun, meski Yang Mulia punya segala taktik, hanya bisa bergerak-gerak kesakitan dalam kabut ini, mati berulang kali!"
"Benarkah?" Angin kencang tiba-tiba berhembus di lokasi, menyapu kabut merah di sekitar Penyuci. Jieluo yang baru bangkit kembali berkata sambil menahan kepedihan mendalam, "Pantas disebut Yang Mulia Paus yang baru, rupanya masih menyimpan trik baru. Andai Yang Mulia langsung menuju perpustakaan rahasia Istana Rahasia Pusat sejak awal, pertempungan ini pasti akan lebih sulit—tentu saja, inilah kenikmatan pertarungan jiwa."
Ini... Batu Ajaib angin? Mein memperhatikan jari telunjuknya yang kini memakai cincin berhiaskan kristal hijau. Jangkauan Batu Ajaib terbatas, asalkan menjaga jarak dan menggunakan anak panah busur silang Batu Hukuman Dewa, tameng ini bisa dihancurkan. Tapi untuk berjaga-jaga, lebih baik membuat persiapan. Pikirannya berputar cepat, menciptakan dua pil mengamuk yang langsung ditelannya.
"Wah, pilihan bijak," Jieluo menyeringai, "Kelemahan terbesar Yang Mulia adalah kurang mahir bertarung. Pil dwiwarna bisa meningkatkan stamina, kelincahan, dan ketahanan terhadap rasa sakit. Sekalipun sekarang kugunakan senjata jarak jauh seperti busur silang untuk menyerang Yang Mulia, takkan semudah itu lagi."
“Mein tidak menjawab, dia berpindah ke posisi yang sama sekali tak terpengaruh oleh Batu Ajaib Mako, fokus menciptakan Batu Hukuman Dewa. Saat ini obat amuk sudah berefek, dia merasakan kekuatan fisiknya sedang meningkat drastis, pandangan menjadi sangat jelas. Dengan batu suci di tangan, itu setara dengan memiliki senjata paling efektif untuk menekan penyihir perempuan. Jika dia berani menerjang, akan langsung mati akibat korosi kabut merah.”
“Lawan juga sedang membangun senjatanya - Apa itu? Sebuah pedang panjang dua tangan?”
“Kalau busur silang masih bisa dipahami, untuk apa dia membutuhkan pedang? Lagipula siluet pedang panjang itu sangat unik. Bilah pedangnya selebar tubuh, di atasnya tertancap beberapa kristal yang sepertinya pernah dilihat di mana saja.”
“Kemudian Jieluo mengangkat senjatanya. 'Tahukah Yang Mulia? Di ruang ilusi Gereja Bayangan, rekaman citra yang tersimpan bukan hanya satu salinan.'”
“'Apa maksudmu?'”
“'Yang Mulia lupa perkataan Yang Mulia Oberlain? Pertempungan Akaris dan Nataya juga direkam lengkap oleh Asosiasi,' katanya perlahan. 'Selain Penyerapan, mengamati dan mempelajari juga keahlianku.'”
“Usai bicara, kristal di bilah pedang menyala satu per satu seolah meramalkan sesuatu. Cahaya keemasan menyilaukan tiba-tiba menyembur dari bilah pedang, seketika mencabik kabut merah menembus langit. Seakan merespons kekuatan ini, cahaya sepuluh ribu zhang pun menghujani udara.”
“'Ini... kemampuan apa?' Mein membelalakkan matanya.”
Menjawabnya adalah cahaya keemasan yang menelan segalanya. Pada ketikan itu, seluruh dunia runtuh berantakan dalam cahaya ini.
……
Sangkar gantung mendarat perlahan di tanah lubang gua batu suci.
Jieluo melemparkan pakaian yang tergantung di bahunya ke tanah, lalu keluar dari sangkar. Bekas cambukan di belakang punggungnya telah menghilang sepenuhnya, seolah tak pernah ada.
Samurai Pengadilan yang berjaga dengan hormat menundukkan kepala, menyodorkan jubah panjang keemasan yang telah disiapkan di tangan - pakaian simbol kekuasaan tertinggi gereja.
Dengan dibantu yang lain, Jieluo mengenakan jubah longgar yang jelas kebesaran, lalu berjalan menuju Istana Rahasia Pusat tanpa menoleh.
