……
Saat mereka berdua tiba di alun-alun, tempat ini sudah menjadi lautan manusia - ini sama sekali bukan hiperbola, Taring Ular baru pertama kali melihat begitu banyak orang berkumpul di satu tempat yang sama, bahkan saat Benteng Longsong membagikan bahan makanan bantuan, tidak ada suasana semenakjubkan ini.
Dia memperkirakan secara kasar, jumlah penonton yang datang mungkin melebihi lima ribu.
Alun-alun juga berubah berbeda dari pertama kali datang, menurut penjelasan penduduk setempat, ini sudah proyek renovasi ketiga. Dataran luas berubah menjadi mangkuk raksasa yang menurun berlapis-lapis, katanya disebut alun-alun bertingkat. Secara logika proyek berskala sebesar ini sulit diselesaikan dalam satu dua tahun, tapi sepertinya selesai hanya dalam setengah bulan, tidak ada yang pernah melihat ke mana perginya tanah galian yang seharusnya ada.
"Begitulah, kami semua bisa duduk di anak tangga batu saat menonton pertunjukan, tak perlu berdiri sampai kaki kesemutan. Pandangan juga jauh lebih baik, asalkan bisa merebut sepetak tanah lapang kosong. Sedangkan yang datang terlambat, tetap harus mengelilingi alun-alun sambil berjinjit hanya untuk melihat secara garis besar."
"Untung, untung," Cakar Harimau menyelusup ke baris terakhir anak tangga, memaksa membuka ruang untuk dua orang, "Akhirnya sampai juga."
Taring Ular menutup erat dada sambil duduk dengan waspada di sebelah temannya - bungkusan kain di dadanya menyimpan seluruh tabungan dua bulan. Dalam situasi sesak seperti ini kewaspadaan harus ditingkatkan. Jika di Long Song, pemandangan seperti ini jelas akan menjadi pesta tikus. Meski di Perbatasan belum pernah ada tikus, tetap harus berjaga-jaga terhadap "sesama yang beralih profesi sementara".
Saat semburat terakhir langit merah senja tertutup kelam malam, alun-alun hanya menyisakan beberapa obor yang membara. Seluruh panggung teater gelap gulita, namun tak kunjung ada yang menyalakan api unggun - Taring Ular memperhatikan, bahkan tumpukan kayu bakar di pusat alun-alun pun tak disiapkan. Ini membuatnya yakin ada sesuatu yang aneh.
Bagaimana bisa pentas tanpa kobaran api?
Tiba-tiba, seberkas cahaya terang mekar di atas panggung, agak menyilaukan. Tapi Taring Ular segera beradaptasi dengan kelembutannya yang tanpa noda. Lalu muncul cahaya kedua, ketiga... Panggung perlahan diterangi, suara decak kagum semakin keras bagai gelombang, seolah menerbangkan lapisan-lapisan udara.
Ini... cahaya pabrik!
"Astaga, lampu tanpa malam! Mereka memindahkan lampu tanpa malam ke sini!"
Legenda menyebutkan benda penerangan ajaib yang menyimpan petir langit, kristal kaca penjara kilatan listriknya saja sudah sangat berharga, Taring Ular hanya pernah melihat sekilas saat lewat kawasan industri.
"Lampu tanpa malam apaan, itu namanya lampu listrik," suara meremehkan terdengar di sekeliling, "Yang dikonsumsi itu listrik, dihasilkan mesin buatan penyihir perempuan! Awalnya Yang Mulia Kaisar ingin memasang ini di setiap kompleks perumahan, tapi kemampuan wanita bangsawan penyihir itu rupanya belum bisa menopang konsumsi sebesar ini, jadi saat ini hanya pabrik yang menggunakannya."
"Dari mana kau dengar ini?" Cakar harimau bertanya penasaran.
"Kalian belum jadi penduduk resmi Kota Tanpa Musim Dingin kan," orang itu mengangkat bahu, "Balai Kota pernah beberapa kali melakukan promosi penggunaan listrik, mengajari kami metode penggunaan yang benar. Tahu sendiri, seperti kobaran api, kontak yang salah bisa menyebabkan Bencana besar."
"Bukan Thunder?"
"Hmm... kurang lebih sama lah, buat apa dipikirkan. Nanti setelah jadi rakyat wilayah Yang Mulia Kaisar dan lulus pendidikan dasar, kalian akan mengerti dengan sendirinya."
Adakah metode cepat menjadi rakyat wilayah resmi? Pendidikan dasar apalagi itu?
Saat Taring Ular hendak bertanya lebih lanjut, kerumunan tiba-tiba meledakkan sorak-sorai memekakkan telinga, Cakar harimau langsung menangkapnya.
Kelompok Teater Bintang Bunga muncul.
"Nyonya Mei Yi! Nyonya Mei Yi!"
"Putri Eileen!"
"Tn. Gatet!"
Orang-orang berteriak menyebut nama anggota kelompok teater, suasana lokasi langsung mencapai puncaknya.
Melihat pemandangan seperti ini, Taring Ular tiba-tiba merasakan iri yang tak terbatas.
Ia juga ingin seperti mereka, menjadi sorotan di mata orang-orang, diteriaki nama dengan penuh semangat oleh yang lain... Mereka bukan bangsawan maupun orang bijak, jaraknya darinya tidak terlalu jauh.
Saat sorakan mereda, drama pun dimulai.
Ini pertama kalinya Taring Ular menyaksikan pertunjukan Bintang dan Bunga. Awalnya ia mengira tak akan tertarik pada aktivitas aristokrat yang dianggap mulia ini, namun seiring alunan musik, tanpa sadar ia larut dalam cerita di panggung teater.
Protagonis dalam cerita ini bukanlah bangsawan.
Melainkan orang biasa seperti dirinya... Ada rakyat merdeka, pengungsi, bahkan seekor tikus.
Sebagian dari mereka membawa harapan dan mimpi, sebagian lagi terpaksa oleh kerasnya hidup. Serentak mereka datang ke Kota Bintang - di kota megah ini, mereka yang sama sekali kosong menemukan titik temu, saling membantu, mencurahkan isi hati mulai dari pahitnya merantau hingga kebingungan sesaat, lalu bangkit kembali, perlahan menemukan arah untuk maju.
Di alun-alun luas ini, selain narasi para pemain, tak ada suara lain yang terdengar. Semua orang menahan napas, seolah menyatu dengan peran di panggung.
Akhirnya, mereka menetap di Kota Bintang dan memiliki kehidupan yang damai. Rekan-rekan seperjuangan dari negeri asing dulu kini menjadi teman dan kekasih. Saat melodi indah bergema di atas alun-alun, Taring Ular merasakan sesuatu tersentuh di hatinya. Ia berpura-pura menggosok mata untuk menutupi air mata yang menggenang di rongga matanya, namun mendapati Cakar Harimau sudah menangis tersedu-sedu. Meski berlinang air mata, tak terlihat kesedihan di wajahnya.
Bukan hanya dia, orang-orang di sekitar pun ternyata sama. Hingga drama berakhir, tak ada yang berdiri untuk bersorak, seolah masih tenggelam dalam kisah yang menyentuh hati ini.
Meski tak diucapkan, semua paham bahwa "Kota Bintang" ini merujuk pada Kota Tanpa Musim Dingin.
Bahkan tikus pun pantas mendapatkan cinta seperti ini?
Tiba-tiba, dari balik layar panggung muncul seorang perempuan dari ras asing.
Bertubuh jenjang dengan rambut biru keabu-abuan panjang sepinggang, gaun malam putihnya memancarkan kilau perak di bawah sorotan lampu, bagai sosok yang melangkah keluar dari lukisan.
Lalu ia mulai menyanyi—
Berbeda sama sekali dengan musik sebelumnya, liriknya penuh kekuatan memuji keagungan dan kehormatan para pekerja, sama sekali tak seperti nyanyian perempuan biasa—suaranya penuh energi yang membangkitkan semangat. Taring Ular seolah melihat tetesan keringatnya sendiri di setiap rumah di ujung alun-alun, dan semua pendatang yang berdedikasi ini pantas dikenang oleh orang banyak.
“Drama yang mengguncang, baru pada keit ini sepenuhnya terlepas! Rakyat tak mampu menahan gejolak semangat, bertepuk tangan dan meraung sekuat tenaga—di bawah iringan nyanyian, emosi yang bergelora ini tiba-tiba melesat naik ke level baru!”
“Mereka semua adalah rakyat Yang Mulia Kaisar!”
“Para pekerja yang penuh kehormatan!”
“Sekaligus pencipta Kota Tanpa Musim Dingin!”
……
Saat dimundurkan dari panggung, Yang Mulia Kaisar dan para penyihir perempuan meninggalkan podium tinggi sementara di sisi alun-alun. Taring Ular membelalakkan mata, namun gagal menemukan siluet polos di kerumunan yang bergoyang. Tapi perasaan sendu yang dia bayangkan tak datang—nyanyian masih bergema di telinganya, hati terisi penuh oleh semangat.
Dia yakin, akhirnya mereka akan bertemu lagi.
Seperti para pengelana asing itu, di Kota Bintang ini.
