Sore itu juga Roland telah menyiapkan segala keperluan untuk menuju Gunung Salju.
Perlengkapan termasuk tenda perkemahan, bekal kering yang melimpah, dan sebuah kapal roda dayung semen. Karena posisi perkemahan Iblis terletak di sisi pesisir, ia harus berangkat dari beting - sesuai kebiasaan sebelumnya, pekerjaan pengangkutan diserahkan pada Kolibri.
Harus diakui, saat Kolibri yang seukuran Na Nava mencengkeram lambung kapal dan mengangkat seluruh kapal semen melewati kepalanya, pemandangan itu terlihat sangat aneh - seperti semut mengangkat butiran beras yang beberapa kali lebih besar dari tubuhnya. Jika kapal itu diletakkan di samping tubuhnya, dari sudut lain akan terlihat "kapal hantu" yang meluncur sunyi di daratan.
Selama telapak tangannya tetap menyentuh kapal, status ini akan terus bertahan. Dibandingkan metode enchantment awal yang memakan waktu lama untuk menghilangkan berat benda, cara ini lebih cepat dengan konsumsi energi sihir yang lebih rendah. Satu-satunya kekurangan adalah Kolibri harus bergerak bersama objek yang di-enchant, sehingga maksimal hanya bisa mengangkut dua barang sekaligus.
Kapal roda dayung itu menyusuri pegunungan ke arah barat, dan dua hari kemudian tiba di hamparan batu karang.
Terakhir kali Roland masih melihat tanah ini dari kejauhan di atas kapal Vista, namun saat pertama kali menginjakkan kaki di batu karang ini, ia langsung merasakan kesan kesepian yang menyergap.
Pemandangan di sini sangat berbeda dengan beting, dalam jarak puluhan li yang pendek, seolah menjadi dua dunia yang terpisah.
Hamparan batu karang dipenuhi jenazah berbagai binatang yang tertancap dalam lapisan-lapisan pecahan batu. Sebagian telah lapuk dimakan angin, sementara yang lain perlahan berubah menjadi batuan baru. Beberapa kerangka terlihat sangat kokoh, hampir menyamai ukuran torso orang dewasa, tak diketahui dari spesies apa makhluk-makhluk ini berasal.
Tebing batu yang curam pun tampak ganjil dan misterius.
Di permukaan batuan tumbuh ribuan stalagmit tajam yang berbeda bentuk dengan stalaktit alami di gua batu kapur. Semuanya menjorok horizontal dengan ujung melengkung ke atas, seperti kait-kait raksasa yang melawan hukum gravitasi. Saat dilihat dari balon udara dulu, pemandangan ini belum terlihat jelas, namun ketika benar-benar berdiri di atas batu karang ini, Roland merasakan bulu kuduknya berdiri.
Sepanjang garis pantai tak terlihat jejak kehidupan sama sekali - tak ada burung laut, tak ada alga atau kerang. Bahkan di balik dinding batu, hanya ruang kosong yang terbentang, seolah kabut merah iblis telah menyedot semua daya hidup dari tempat ini.
Berdasarkan tanda yang ditinggalkan Lian, Roland dan timnya menemukan celah sempit menuju perkemahan. Lebih tepat disebut patahan tanah daripada celah, bukaan memanjang ini hampir membelah seluruh tebing, dan dalamnya tak terlihat. Di antara patahan curam inilah Lian membangun jalan sempit selebar setengah meter.
Saat menuruni anak tangga batu memasuki "Satu Cahaya Langit", Nightingale tak bisa menahan kekaguman.
"Ada apa?" tanya Roland tak sabar.
"Lihat sana," dia menunjuk ke kedalaman celah, "Ada lubang di tebing batu!"
Tim menghentikan langkah, serempak menjulurkan kepala. Di posisi gelap gulita tanpa kilau dekat bagian bawah, Roland melihat beberapa lubang lingkaran, seolah dibor oleh sesuatu. "Apa ini?"
"Aku tak tahu. Lubang serupa pernah kulihat di Pegunungan Terjepit, hanya lebih besar," dia ragu-ragu, "Semakin dalam ke perut bumi, semakin kuat perasaan ada sesuatu yang mengawasiku."
"Se...sesuatu?" Roland tertegun.
"Bukan cuma satu," Nightingale mengangguk, "Di lembah menuju perkemahan Persaudaraan, ada jalan kecil ke bumi yang lebih dalam. Tapi aku tak pernah menyusurinya."
"Setelah Sylvie kembali, bawa dia ke Pegunungan Jurang." Dia melirik bagian bawah patahan lagi, menahan dorongan untuk mengirim tim penjelajah, lalu memerintahkan tim untuk melanjutkan perjalanan.
"Meskipun benua ini merupakan bagian dari wilayah Cahaya Harapan, dan memiliki catatan permukiman manusia sejak ribuan tahun yang lalu, pemahaman tentang dunia masih sangat primitif, seolah-olah orang sengaja mengabaikan eksplorasi ke luar." Roland pernah menyebutkan tentang peta benua kepada Agatha, namun diberitahu bahwa Persatuan hanya membuat gambaran detail untuk Dataran Subur, sementara wilayah Cahaya Harapan hanya memiliki garis besar, dan area di luarnya sama sekali tidak diketahui.
Inilah alasan mengapa dia memutuskan untuk mendukung eksplorasi laut Thunder sepenuhnya - Roland awalnya mengira dirinya akan segera memahami seluruh wajah dunia ini, namun kini menyadari bahkan perbatasan barat Greycastle pun belum sepenuhnya dipahaminya.
Sayangnya dengan Perang melawan gereja yang sudah di depan mata, dia terpaksa mengesampingkan pikiran-pikiran sampingan ini untuk sementara.
Melewati celah sempit, pandangan tiba-tiba terbuka. Prajurit Angkatan Darat Pertama yang berkemah di sini segera menyambut mereka masuk ke perkemahan, kemudian Roland melihat Agatha dan Soraya.
"Bagaimana dengan Petir dan yang lain?"
"Sedang menerbangkan A Xia ke mana-mana," Agatha menghela napas, "Akhir-akhir ini dia benar-benar tak bisa diam, perkemahan iblis hampir menjadi taman bermain pribadinya."
"Jika di masa depan, ini pasti akan menjadi taman alam tingkat nasional yang harus membeli tiket untuk masuk," gumamnya.
"Apa katamu?"
"Tidak... bukan apa-apa," Roland batuk dua kali, "Aku akan menggunakan Segel Pendengaran untuk memanggilnya kembali. Sekarang mari kita periksa bagian menara batu yang runtuh yang kalian temukan."
Ketika rombongan tiba di pusat reruntuhan perkemahan, Petir, Maisie, dan A Xia juga tepat sampai.
"Petir, segera mendarat!"
Gadis kecil berambut emas itu merentangkan kedua tangannya, perlahan melayang turun ke tanah, lalu berbalik memberikan pelukan penuh pada Roland.
Di hati Roland muncul senyum getir, menurut usia, Petir memang sudah memasuki fase usia khusus itu.
"Auuu——!" Disusul Maisie yang juga merentangkan sayapnya, menghantam tanah dengan keras hingga hampir membuat A Xia di punggungnya terjatuh.
Petir masih bisa dipahami, tapi Maisie yang jelas sudah jadi penyihir dewasa... Roland menghela napas, tampaknya penyakit ini menular.
"Karena sudah semua datang, mari kita mulai." Dia memberi isyarat pada A Xia yang kakinya gemetaran.
"Ba... baik, Yang Mulia." A Xia berjalan tertatih ke tepi lubang, menutup matanya.
Pada ketikan itu, lubang besar di tanah tiba-tiba menghilang. Sebuah menara batu hitam raksasa muncul di depan mata semua orang, sementara kabut merah menyebar di udara, kental seperti darah.
Roland refleks mundur selangkah sambil menahan napas.
"Ini pemandangan sebelum perubahan terjadi, 26 hari yang lalu," jelas Agatha. "Dengan sekali penggunaan kemampuan retrospeksi, A Xia bisa mempertahankan ilusi selama hampir setengah jam. Jadi kita bisa mengamati seluruh prosesnya."
“Apa kabar dengan Mata Iblis yang kalian sebutkan itu? Yang tubuhnya dipenuhi biji mata dan bisa menarik perhatian iblis hanya dengan dilihat?” Tili bertanya penasaran.
“Di ujung menara batu ini,” Agatha menunjuk ke atas kepala, “Tapi ketinggian menara melebihi radius kemampuan A Xia, jadi sementara belum bisa melihatnya.”
Roland mengangkat kepala, melihat bagian atas menara yang kosong dari energi seperti terkikis habis – Tampaknya hanya dalam radius 5 meter di sekitar A Xia, pemandangan bisa direkonstruksi oleh energi sihir.
Pada ketikan itu, tanah di bawah kaki mereka seolah bergetar.
“Dia datang!” seru Agatha dengan suara berat.
