Jieluo berdiri di lantai paling atas Menara Babel tulang-belulang, memandang Kota Suci Hermes yang sibuk di bawah kakinya.
Jumlah penganut yang pergi ke dataran tinggi meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya, begitu pula tentara Pengadilan baru – hanya di Musim Dingin Abadi saja, gereja telah mendapatkan hampir 20.000 penduduk. Kerugian pasukan dalam pertempuran melawan makhluk jahat dan Kerajaan Hati Serigala cepat terisi kembali, bahkan skala pasukan melebihi awal perang.
Dapat dikatakan, menyatukan Empat Kerajaan adalah satu-satunya keputusan benar Yang Mulia Oberlain. Ketika Greycastle dan fajar jatuh ke tangan Kota Suci satu per satu, gereja pasti akan mencapai puncak intensitas baru.
"Tapi masih jauh dari cukup," pikirnya, puncak intensitas seperti ini lebih dari cukup untuk menguasai kerajaan sekuler, tapi tetap tak bisa menyaingi Persatuan yang memiliki dataran subur.
Jika ingin menang dalam Perang Makna Ilahi, gereja harus melakukan lebih banyak.
"Bukannya Isabella kali ini?" tiba-tiba suara Tiflen terdengar dari belakang. Jieluo berbalik, melihat tiga uskup agung masuk ke tengah aula secara berurutan.
"Dia dikirim Yang Mulia ke fajar untuk tugas pengawasan," Jieluo sedikit membungkuk memberi hormat, "Hari ini saya yang menggantikannya memimpin rapat ini."
"Benarkah Yang Mulia Paus begitu sibuk?" El mengangkat bahu, "Sampai tak punya waktu sekadar menemui kita?"
"Perhatikan sikapmu, El," Soli Dar mengerutkan alis, "Yang Mulia punya pertimbangan sendiri, tak pantas kau pertanyakan."
"Saya hanya sekadar berkomentar."
"Memang duduk di posisi itu akan sangat menyita waktu," Tiflen tersenyum, "Saat Yang Mulia Oberlain masih ada, saya juga sering mendengar Mein dan Hisher bergumam seperti itu."
"Benar adanya," Jieluo memberi isyarat undangan kepada trio itu, lalu berjalan ke meja kecil di dekat jendela, "Mari kita bicara di sini."
"Tidak ke ruang rahasia?"
"Situasi gereja sekarang sangat baik, siapa lagi yang mau menguping pembicaraan kita dan membocorkannya?" Jieluo bersikap santai, "Bahkan bangsawan paling keras kepala pun tahu harus memilih sisi mana."
"Tapi selalu ada yang suka melawan arus." Meski tak sependapat, Tiflen tak bersikeras ke ruang rahasia. Dua lainnya pun semakin acuh tak acuh.
“Yang Anda maksud adalah Yang Mulia Pangeran Keempat dari Greycastle?”
“Siapa lagi kalau bukan dia,” kata pria tua itu sambil duduk dan meneguk teh, dengan nada kesal, “Rencana kami untuk mengepung Wilayah Barat gagal, tidak hanya Penyuci, bahkan imam kepala ikut melarikan diri kembali ke Hermes. Ini sungguh konyol!”
“Yang Mulia yang menyetujui penarikan mereka kembali,” ujar Jieluo dengan tenang.
“Maksudmu... Mein?” Tiflen tertegun.
“Terlambat selangkah, terus tertinggal,” dia mengangguk, “Sejak Cambuk Perak terbunuh di Fallen Dragon Ridge, kita telah kalah dari Roland Wimbledon. Saat informasi ini sampai, sudah tiga bulan kemudian. Mengirim pasukan baru pasti sudah terlambat. Jadi tak perlu menyalahkan Penyuci bawahan kalian. Bertahan di Greycastle hanya akan membuat mereka menjadi sasaran tembak Roland.”
“Tidak perlu hukuman? Aku justru ingin menggunakan kesempatan ini untuk mendidik karakter Emma,” Soli mengangkat alis, “Dia selalu meragukan perintahku.”
“Pasti karena perintahmu penuh celah,” El menyindir, “Bagaimanapun, bagi Samurai Pengadilan, menggunakan otak adalah hal yang sulit.”
Sebelum Soli sempat membentak, Jieluo sudah berbicara duluan, “Dengarkan keraguannya, mungkin akan membantumu. Tapi jika kau ingin mendidik Penyucimu, aku tidak akan ikut campur. Hanya jangan terlalu keras. Setiap Penyuci adalah aset berharga gereja.”
“Baik, Yang Mulia Jieluo.”
“Tapi… Mengapa Roland merebut Batu Hukuman Dewa?” Tiflen merenung, “Apakah karena hubungan Cambuk Perak dan Badai, membuatnya menyadari keberadaan Penyuci?”
“Mungkin sudah lama mengetahuinya,” Jieluo tidak membenarkan maupun menyangkal, “Kita sekarang semua tahu dia sudah sejak lama mulai merekrut penyihir perempuan, bahkan bergaul dengan orang-orang dari Pulau Tertidur – sedangkan kemampuan penyihir perempuan sangat aneh-aneh, mengetahui informasi gereja sedikit pun tidaklah aneh.”
“Setelah merebut begitu banyak batu suci, tidak ada kabar tentang penjualan besar-besaran di sana, ini pertanda tidak baik.”
“Belum tentu,” dia mengetuk meja, memusatkan perhatian semua orang, “Ini juga alasan Yang Mulia mengumpulkan kalian hari ini. Mekanisme intelijen area rahasia baru-baru ini mendeteksi fenomena akuisisi bahan makanan tidak normal di Pergunungan Angin Dingin, selain itu kapal yang menuju utara melalui Kota Chishui jumlahnya tak terbayangkan, hampir setiap hari terlihat satu dua kapal, tapi Kota Cahaya Perak tidak melihat kapal-kapal ini menuju ibu kota kerajaan, situasi di Sungai Teluk Tiga juga sama.”
“……” Trio saling memandang, “Lalu kemana perginya kapal-kapal itu?”
“Kalian akhir-akhir ini sibuk mereklamasi logistik persiapan perang yang ditempatkan di Fajar, jadi wajar tidak memperhatikan situasi Greycastle,” Jieluo blak-blakan, “Setelah mengeliminasi timur dan barat, tujuan mereka hanya tersisa satu – Lembah Sunyi di wilayah utara. Di sana terdapat satu-satunya aliran cabang yang terhubung dengan Sungai Redwater, juga kota terdekat di utara Greycastle dengan Pergunungan Angin Dingin.”
"Berdasarkan ingatan Ratu Redwater, dia sangat memahami distribusi kota-kota di Greycastle," dengan kata lain, Roland Wimbledon sedang mengerahkan sumber daya wilayahnya dan memusatkannya di wilayah utara. Apa yang ingin dia lakukan, jawabannya sudah jelas tanpa perlu diucapkan."
Tak satu pun dari tiga uskup yang bodoh. Mereka segera memahami maksud ucapan Jieluo, tetapi memahami dan mempercayai adalah hal yang berbeda. "Tunggu, apakah maksudmu Roland berencana menyerang Kota Suci Hermes?"
"Bukan pendapatku, tapi kesimpulan analisis badan intelijen - dan Yang Mulia Paus juga menyetujui spekulasi ini. Kemenangan di ibu kota membuat keyakinannya melambung tinggi, menganggap Kota Suci Hermes juga rapuh. Tidak sulit memahami keputusan ini. Memang senjata bubuk saljunya jauh lebih kuat dari Tifico, tapi kami juga tidak tanpa persiapan. Makanya Yang Mulia mengizinkan personel gereja Greycastle mundur sementara," Jieluo mengangkat tangan, "Orang yang sudah siap terang-terangan melawan kita, para bangsawan tak bisa menghalangi sapuan bersihnya di gereja-gereja lokal."
"Dia... gila!" seru Soli dengan suara rendah.
"Keluarga Wimbledon semuanya gila," El menelan ludah, "Garcia begitu, Roland juga begitu."
"Informasi ini sangat krusial. Kita harus melakukan konfirmasi lebih lanjut," Tiflen merenung sejenak, "Bagaimana kalau kusuruh Penyuci bawahanku menyelidiki Pergunungan Angin Dingin?"
“Tidak perlu,” Jieluo menolak, “Kita pasti akan menyerang Greycastle cepat atau lambat, jadi dia mengkonsentrasikan pasukannya justru mempermudah kita. Dengan begitu kita tidak perlu menyerbu kota demi kota seperti di Hati Serigala—cukup hancurkan Pangeran Keempat, perang akan berakhir.” Dia menatap Tiflen, “Berapa lama lagi persiapan logistik kita selesai?”
Uskup tua itu bertanya dengan suara berat, “Sekitar dua minggu.”
“Bagaimana jika mengirim pasukan pendahulu sekitar seribu orang? Ditambah 300 Pasukan Hukuman Dewa.”
“Pasukan dengan skala seperti itu bisa berangkat besok.”
“Bagus,” Jieluo bangun sambil berkata, “Daripada menunggu Roland yang membuat masalah, lebih baik kita serang Pergunungan Angin Dingin dulu. Bukankah dia sedang mengumpulkan bahan makanan di sana? Mungkin kita bisa mendapat kompensasi untuk kerugian batu suci. Soli Dar, kamu yang memimpin pasukan pendahulu ini. Taklukkan Pergunungan Angin Dingin dalam tiga hari.”
Namun dia tidak segera mendapat jawaban.
Trio itu terdiam sejenak, lalu Tiflen bertanya, “Ini keinginanmu, atau keputusan Yang Mulia Mein?”
“……” Jieluo tiba-tiba merasa amarah membara di hatinya. Brengsek, dialah penerus yang diakui Oberlain, penerus ortodoksi Persatuan. Berani-beraninya manusia biasa meragukannya? Menahan Api Hati, dia berpura-pura santai sambil tersenyum, “Tentu ini keputusan Yang Mulia Paus. Jika ada keraguan, kalian bisa tanyakan langsung padanya. Tapi urusan area rahasia sangat padat, jadi kecuali hal mendesak, jangan ganggu pekerjaan Yang Mulia.”
“Ya, patuh pada kehendak suci.” Tiga uskup membelai dada.
