Kembali ke dalam kamar, Ifi diam mendengar penjelasan Tili tentang awal mula Bloodtooth Society hingga tujuan sebenarnya Hetty Morgan. Saat mendengar Annie diserahkan ke bangsawan oleh Tianyan, sesuatu di hatinya seperti diremas.
"Hetty... di mana dia sekarang?"
"Sudah menerima hukuman setimpal," Abu di belakang Tili menjawab, "Selain itu dalam proses penangkapan, Tianyan mencoba melawan dan mengikuti jejak Hetty."
"Begitu... Terima kasih." Ifi berbisik lembut.
“Kepalan tangan yang baru saja dia kepalkan tiba-tiba mengendur, perasaan kehilangan yang tak terduga menyergapnya.”
“Meski biang keladi segala malapetaka ini telah membayar harganya, tak ada kelegaan yang dirasakannya. Justru hilangnya target untuk melampiaskan kebencian membuatnya bingung. Sebagai satu-satunya yang lolos dari hukuman, dosa yang melekat di dirinya semakin berat.”
“Aku harap kau bisa membantu Pulau Tertidur kembali ke jalan yang benar,” ujar Tili setelah terdiam sekejit, “Anggota Bloodtooth Society yang tersisa sama sepertimu - korban tipu daya dan fitnahan Hetty. Mereka tak pantas dikucilkan. Penindasan penyihir tempur terhadap penyihir pendukung memang kesalahan, tapi membalaskan dendam tak akan memperbaiki keadaan.”
Tanpa ragu-ragu, Ifi mengangguk, “Aku bersedia membantu Yang Mulia.”
Tampaknya Tili tak menyangka jawaban cepat itu, “Kau menerima tawaranku? Itu... kabar baik.”
“Apa yang harus kulakukan?”
“Cukup ceritakan kisahmu dan Annie pada anggota Bloodtooth Society lainnya. Aku akan mengungkap kejahatan Hetty ke semua orang,” jelas Tili, “Setelah gereja benar-benar dihapus sampai ke akar, Roland akan mengirim pasukan menyisir Hati Serigala untuk menyelamatkan penyihir perempuan yang dikurung bangsawan - jika mereka masih hidup.”
“Aku mengerti.”
Untuk segala cara yang bisa meringankan dosa ini, dia akan melakukannya tanpa ragu.
“Apa……kamu baik-baik saja?” Tili tiba-tiba membungkuk dan mengusap pipi Ifi dengan tangan, yang seketika merasakan kehangatan membasahi wajahnya.
“Tidak apa-apa,” dia mengedipkan mata, “Aku hanya... agak mengantuk.”
Putri Kelima memandangnya lama dalam diam, “Jangan terlalu bersedih, beristirahatlah yang cukup.”
Hanya setelah langkah kaki keduanya menjauh, Ifi baru limbung merebahkan diri di ranjang.
Dia sama sekali tidak menangis.
Ini hanya reaksi alami tubuh, bisiknya dalam hati.
Bukan karena kesedihan, apalagi sifat pengecut.
Melainkan bukti kerinduannya pada Annie.
Air mata mengalir semakin deras.
……
Roland duduk di meja kerja meneliti laporan statistik evakuasi, cahaya lilin yang berkedip-kedip di mejanya membuatnya pusing - sudah lama tidak begadang membaca, kini terasa asing lagi. Padahal dikiranya peradaban telah dimajukan ke zaman modern lebih awal, tapi di Lembah Sunyi, segala pencapaian kembali ke bentuk aslinya.
Tidak ada shower, sabun wangi, apalagi lampu listrik... Keadaan di sini tak jauh beda dengan saat pertama tiba di Perbatasan Kota. Awal industrialisasi baru menunjukkan ujungnya di Wilayah Barat, masih banyak yang harus dikerjakan untuk memenuhi negeri ini dengan cerobong asap dan boiler.
Roland meletakkan laporan, baru hendak menggosok mata ketika sepasang tangan tak kasat mata sudah menyentuh dahinya, mulai memijat dengan lembut.
「Terima kasih」, dia memiringkan kepala membentuk ucapan diam, lalu kembali menyelami laporan.
"Di hari-hari ketika Barov tidak ada, Sir Silter menjalankan tugas sebagai asisten kantor dengan baik. Setidaknya dalam hal menghitung jumlah orang dan menyusun laporan, dia bekerja sangat baik, hampir tidak kalah dengan para pemuda terlatih di Balai Kota."
"Berapa banyak dari mereka yang bersedia pergi ke Wilayah Barat?"
"Setidaknya tujuh puluh persen, Yang Mulia," jawab sang ksatria. "Pegunungan Angin Dingin bukan tempat yang layak huni. Saya telah bertanya pada Duke, jika bukan untuk memantau gerakan gereja, tidak akan ada permukiman di sana. Sisanya tiga puluh persen, sebagian besar memiliki lahan atau industri di wilayah utara."
"Bagus. Segera susun rencana. Usahakan kapal tidak kembali kosong. Setiap kali bawa sekelompok orang untuk segera dikembalikan ke Wilayah Barat."
"Tapi bagaimana dengan Duke Calvin..."
"Saya akan berdiskusi dengannya," Roland meneguk tehnya. "Lagipula setelah perang berakhir, menang atau kalah, kita tidak perlu lagi mendirikan kemah di Pegunungan Angin Dingin—"
"Ada apa, Yang Mulia?" Silter bertanya dengan bingung.
"Tidak... bukan apa-apa," jawab Roland sementara Nightingale tiba-tiba menutup mulutnya dengan lembut saat dia menyebut "menang atau kalah", membuatnya menelan kembali ucapannya. "Pokoknya, lakukan seperti yang saya perintahkan."
"Segera, Yang Mulia."
Saat ksatria tua itu hendak pergi, pengawal Xiao En membuka pintu dan masuk.
"Yang Mulia Roland, ada seorang perempuan di luar kastil yang ingin bertemu. Penjaga menghalanginya, tapi dia bersujud dan bersikeras tidak akan pergi sebelum bertemu dengan Yang Mulia."
“Sekarang？” Ia refleks melirik ke luar jendela, seluruh kota kecil telah terbenam dalam kelam malam yang sunyi.
"Ya, sepertinya dia sengaja menunggu sampai waktu ini. Siang tadi saya pernah melihatnya dua kali di area kastil, dan..." Sean ragu sejenak, "Dia menyebut diri sebagai Nyonya Wimbledom."
Mendengar jawaban itu, Roland nyaris tersedak air liur. Ini tidak mungkin! Sepengetahuannya, Pangeran Keempat sama sekali belum pernah mengunjungi wilayah utara, mana mungkin tiba-tiba muncul selingkuhan! Tapi omong kosong tanpa bukti, setelah berpikir sebakhir dia memutuskan untuk memanggil wanita itu masuk. Pertama untuk menghilangkan keraguan Nightingale, kedua hatinya benar-benar penasaran—jika dia bangsawan, mungkin bisa disebut sedang mengejar romansa, tapi sebagai rakyat biasa, kebohongan seperti ini adalah kejahatan berat.
Saat perempuan itu masuk ke ruangan buku, Roland langsung merasa matanya berbinar.
Penampilannya tidak terlalu mencolok, tetapi seluruh wajahnya memiliki pesan unik. Tubuh kecil kurusnya memancarkan kestabilan dan kelembutan yang tak terduga, dengan kata lain—meski terlihat muda, dia seperti istri yang sudah ahli dalam semua keterampilan mengurus rumah. Tanah berlumpur kotor di gaun panjangnya justru menyoroti kontras sempurna antara kelemahan dan kekuatan.
"Yang Mulia Kaisar," perempuan itu memberi hormat dengan menekuk lutut, "Lifuya dari Pergunungan Angin Dingin menghadap Paduka."
“Aku ingin tahu, apa maksudmu dengan sebutan Nyonya Winston itu?” Roland langsung menembak inti persoalan, “Menurut pengawal, kau sengaja menunggu hingga larut malam baru datang ke kastil? Jika berniat menipu dengan dalih ini, harusnya kau tahu konsekuensinya?”
“Mohon maafkan hamba, Yang Mulia Kaisar. Jika tidak berkata demikian, Baginda pasti tak mau menemui hamba,” dia menggigit bibir, “Hamba sebenarnya bukan istri sejati Kakak Baginda, tapi kami pernah saling mencintai dengan tulus.”
Benar cuma penipu biasa? Tunggu... Roland tertegun, apa katanya tadi? Kakakku?
“Tifico?”
Perempuan itu menggelengkan kepala.
“Garon?”
Wajah Lifuya memerah, langsung bersujud di tanah, “Hamba tahu dulu Garon pernah berniat merebut takhta, tapi sekarang dia sudah mati... Yang Mulia, sudilah Baginda menolong hamba demi jasanya? Hamba mohon!”
