"Jieluo?" Roland bertanya mencoba.
Gadis itu melirik sinis, membungkuk meletakkan nampan di meja teh lalu duduk bersila.
"Diam saja di situ? Tidak mau sarapan?"
Suaranya lembut kekanakan, tubuh ramping. Di balik dress hijau kebiruan terlihat kaos kaki putih, ukuran kakinya hampir sebesar telapak tangannya sendiri - sangat berbeda dengan Penyuci gila yang mengancam takkan melepaskannya.
Tapi karena tidak menyangkal nama itu, berarti dia mengakui dirinya sebagai Jieluo.
Apa yang harus dilakukan, membunuhnya?
Dengan tubuh anak kecil seperti ini, tak mungkin ia bisa mencincangku dengan tangan kosong seperti Orang Luar Biasa, kan?
Roland pertama-tama menyelinap ke dapur, mengambil pisau buah dari rak pisau dan menyembunyikannya di pinggang, lalu perlahan mendekati meja teh.
Di piringnya terlihat sepotong telur goreng dan dua batang youtiao — hmm, satu lebih banyak daripada miliknya.
Bagian luar telur berwarna keemasan dengan pinggiran sedikit gosong, putih telur di tengah sedikit menggelembung, memperlihatkan semburat jingga — jelas ini adalah telur setengah matang yang sempurna.
Jieluo dengan cekatan mengambil sumpit, melahap telur gorengnya dalam beberapa kali kunyahan, lalu menyambar youtiao dan menggigitnya. "Kemarin kamu ngapain sih? Ada kecoa di langit-langit?"
"Tidak... Aku rasa itu agak kotor, mau membersihkannya," Roland mengarang alasan sembarangan.
"Oh ya?" Dia mengangkat pandangan ke langit-langit, "Masa tidak pakai gantungan baju dan kain lap?"
"Hasilnya kurang bagus, tapi sekarang sudah bersih," dia batuk dua kali, "Ini masakanmu?"
"Paman, kepalamu tidak apa-apa kan?" Akhirnya Jieluo menunjukkan ekspresi khawatir, "Sejak aku datang ke sini, bukankah selalu aku yang masak?"
Sejak datang ke sini? Lalu sebelumnya di mana? Roland membuka mulutnya, tapi akhirnya tidak bertanya. Jelas jika diteruskan, identitasnya akan mulai diragukan.
Jieluo cepat menghabiskan sarapannya, menyodorkan tangan ke depannya, "Uang belanja."
"Apa?"
“Bahan makanan di kulkas hampir habis, aku harus pergi ke pasar hari ini. Bagaimana aku bisa beli jika kamu tidak memberikan uang?”
Seorang siswa SMP malah mengerti hal-hal ini? Roland secara refleks meraba tubuhnya, tapi tidak menemukan dompet, "Hmm..."
"Di laci kedua meja ranjangmu." Jieluo menghela napas.
Ia kembali ke kamar tidur, dan benar menemukan dompet kulit yang mengkerut di dalam laci. Saat dibuka, hanya ada tiga ratusan rupiah yang menyedihkan dan beberapa kupon lotre.
"Berapa perlu?" Roland kembali ke ruang tamu.
"Dua puluh ribu saja. Lebih dari itu tidak sanggup kubawa."
Dengan prinsip "pakai uang orang lain tidak sakit hati", Roland menyodorkan uang lima puluh ribu, "Lebihannya untuk belanja kali."
Jieluo memandangnya dengan aneh sebelum memasukkan uang itu ke dompet kecilnya.
"Tanganmu..." Roland memperhatikan dua plester luka yang melilit jari gadis itu.
"Tertusuk saat mengambil pecahan kaca. Tidak apa... Tapi akan lebih baik jika kamu tidak sembarangan membuang." Dia mengangkat bahu lalu menggendong tas sekolah menuju pintu, "Aku ke sekolah. Siang tidak pulang, piringmu urung cuci."
"Tunggu, bukannya ini liburan sekolah?"
"Kursus tambahan," jawab Jieluo sambil mengenakan sepatu, menyembulkan setengah badan dari balik pintu, "Paman, kalau kepala masih pusing, lebih baik periksa ke rumah sakit. Jangan ulangi hal bodoh seperti ini lagi."
Setengah menit kemudian, Roland meninggalkan kamar nomor 0825 dan bersandar di pagar koridor sambil memandang ke bawah.
Siluet Jieluo segera muncul dalam pandangannya——rambut putihnya selalu terlihat mencolok, namun kerumunan orang yang lalu lalang seolah terbiasa, tak satu pun menoleh untuk meliriknya. Dia menunggu di bawah rumah beberapa saat, hingga dua Nak rambut kuning lain dengan tas sekolah berlari-lompat mengelilinginya, trio itu pun menghilang di gang.
Masak dia bisa berteman di sini?
Roland menggosok dahinya, mimpi ini terlalu absurd.
Selanjutnya apa? Ikuti diam-diam untuk melihat?
Dia tak percaya Jieluo benar-benar bisa menciptakan kota utuh.
Saat Roland berbalik hendak mengambil kunci di dalam rumah, tiba-tiba seluruh tubuhnya kaku, terpaku di tempat.
Seorang perempuan cantik mendekatinya.
Rambut abu-abu panjangnya terurai, alisnya terangkat tinggi, hidung dan bibirnya mirip Tili, namun memancarkan aura dingin dan angkuh yang mengisolasi diri.
Tak pernah ia melihatnya sebelumnya, namun memori Pangeran Keempat jelas mengatakan: inilah kakak perempuannya, Tiga Putri Raja Greycastle.
Garcia Wimbledon!
Refleks, Roland meraba pisau buah di pinggangnya.
"Minggir, jangan halangi jalan," perempuan itu menunjukkan ekspresi jijik, "Aku lewat."
"Kamu... tidak mengenalku?" Dia terkejut.
"Cih," lawannya menyeringai dingin, "Mengapa harus kukenal? Cuma rambut dicat senada, sudah berani mencoba akrab?"
Roland menatap tajam padanya, perlahan membuka jalan di lorong, "Kau Garcia, bukan?"
"……" Ekspresi wajah perempuan itu menjadi muram, "Meski tak tahu darimana kau dapatkan namaku, tapi kuperingatkan, terus-menerus mengganggu hanya akan membuatmu terluka." Dia mengulurkan tangan kanan, satu persatu mengepalkan jari, segmen tulang berbunyi dak-dak, menunjukkan postur terlatih dalam bertarung.
Saat perempuan itu kembali ke rumahnya dan membanting pintu ruangan, Roland berpura-pura santai berjalan mendekat untuk mengamati.
Nomor kamar adalah 0827, dua pintu sebelahnya.
Memandang deretan pintu anti maling sepanjang koridor, tiba-tiba muncul pikiran mengerikan di hatinya.
Berapa banyak penghuni yang tinggal di apartemen ini?
Bagaimanapun juga, panjang koridor umum ini benar-benar mengejutkan. Berdiri di depan kamar nomor 27, ujung sebelahnya sama sekali tak terlihat!
Dorongan ini sekali muncul, sulit untuk diredam.
Dengan kecepatan maksimal ia kembali ke kamar, meraih kunci, memastikan bisa membuka pintu utama lalu mengunci pintu dari dalam, kemudian berlari ke arah nomor kamar yang lebih tinggi.
Koridor di bawah kakinya tak kalah dengan lintasan lurus 400 meter!
Terengah-engah sampai di ujung dekat tangga, papan nama terakhir tertulis jelas 0899.
Ini benar-benar tak terbayangkan! Siapa yang membangun hampir 100 unit rumah di lantai satu gedung bergaya tube? Menurut gaya arsitektur 70-80an, deretan 10 unit saja sudah dianggap berskala besar.
Roland kemudian melanjutkan naik melalui tangga.
Sandaran tangan tangga terbuat dari besi, cat hijau di permukaannya sudah terkelupas tujuh puluh persen, memperlihatkan karat dan debu yang jelas; di sepanjang lorong tertempel tak terkira poster kecil, mengungkapkan ciri khas zaman — "psoriasis" semacam ini seharusnya sudah lenyap dari kota-kota besar.
Lantai paling atas adalah dua puluh dua.
Di pintu pengaman ujung lorong tidak ada papan nama, bahkan lubang jendela pun belum dibuka.
Ia memeriksa satu per satu hingga nomor pertama muncul di hadapannya: 2245.
Maka secara kasar, seluruh apartemen ini memiliki total dua ribu seratus dua puluh empat kepala keluarga.
「Dalam rentang waktu yang panjang, aku telah menyerap ribuan prajurit, termasuk seorang Orang Luar Biasa. Kau tak mungkin mengalahkanku!」
Percakapan Jieluo di medan hidup-mati atap gedung kembali muncul di kepalanya.
Apakah para penghuni di sini semuanya adalah pihak yang kalah dalam pertarungan jiwa?
Tebakan ini membuat Roland tertegun tak berkutik.
Kini, Jieluo pun tampaknya telah menjadi bagian dari mereka.
