Setelah Book Scroll mengundurkan diri, hanya tersisa dia dan Anna di kantor.
Roland membentangkan bahan ajar yang setengah jadi, berencana melengkapinya. Pena bulu telah diangkat, namun lama tidak kunjung ditorehkan.
Ia menyadari pandangannya selalu tak sengaja tertuju pada Anna, seolah pandangan seperti tertarik pada siluetnya.
"Kenapa?" Anna yang kedua juga memperhatikan tatapannya, meletakkan komponen di tangan sambil tersenyum bertanya.
“Tidak, tidak ada apa-apa.” Roland menggelengkan kepala perlahan, “Kalau kau merasa bosan di sini, mari kita ke halaman belakang Gunung Beipo.”
Ia mengerutkan bibir, “Sama sekali tidak bosan. Di sini pun aku bisa menyelesaikan pekerjaan. Yang terpenting, selama kau menemani, di mana saja sama saja.”
Hanya Anna yang bisa mengucapkan kata-kata agak memalukan seperti ini dengan penuh keyakinan.
“Hmm.” Roland tersenyum membalas, tidak lagi bersikeras.
Ia tahu Anna takkan pernah mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan hatinya.
Sebagai penyihir perempuan pertama yang dikenalnya di dunia ini, Roland telah memahami sifat asli Anna dengan baik - kecuali saat berdiskusi masalah akademis atau berbisik mesra di ranjang, sebagian besar waktu Anna selalu tampak tenang dan terkendali, terutama saat fokus pada urusan penting. Tapi Roland sama sekali tak merasa jenuh. Keheningan antara mereka berdua pun merupakan bentuk komunikasi.
Terutama tatapan mata sesekali yang saling bersentuhan, telah mengungkapkan semua maksud tanpa perlu kata-kata.
Roland meletakkan pena bulunya, dengan tenang mulai mengagumi penampilan serius Anna.
Profilnya selalu menjadi pemandangan indah - ujung rambut warna linen telah memanjang hampir menutupi leher putihnya, mata birunya masih sejernih danau. Sweter kuning muda yang mengembang dipadukan dengan celana panjang hitam berbahan flanel yang nyaman, membuatnya terlihat muda dan ceria. Setelan bergaya modern ini tentu saja merupakan karyanya.
Agar bisa bekerja di kantor, Anna telah memotong logam batangan dengan komposisi yang disesuaikan secara presisi menjadi kubus seukuran telapak tangan. Setelah itu, tinggal meminta orang mengangkutnya ke kastil dan memprosesnya dengan kobaran api hitam. Melihat logam-logam batangan berubah cepat menjadi lembaran komponen di bawah tarian kobaran api hitam, Roland tak bisa menahan decak kagum — dalam arti tertentu, teknik dan tingkat pemrosesan yang ditunjukkan Anna sudah setara dengan seni murni.
Komponen-komponen kecil yang tampak sederhana ini akhirnya akan dikirim ke pabrik, menjadi bagian penting dari berbagai mesin atau senjata.
Mencapai hal ini tidaklah mudah. Dia tahu panjang dan lebar kobaran api hitam dikendalikan oleh energi sihir. Memanggil beberapa kobaran api hitam dari sudut yang berbeda untuk memotong, jauh lebih sulit daripada menulis konten berbeda dengan kedua tangan sekaligus, membutuhkan tingkat konsentrasi spiritual yang ekstrem. Hanya kepribadian serius seperti Anna yang bisa mendedikasikan segenap jiwa dan raga pada pekerjaan ini hari demi hari.
Dibandingkan gadis yang dulu berlatih keras mengendalikan api di taman kastil, segalanya telah berubah begitu banyak, namun seolah tak ada yang berubah.
Demikianlah, satu hari pun berlalu dengan cepat.
Saat malam tiba dan Roland memeluk Anna yang tertidur lelap, dunia lain baru saja bangun.
……
Dia menguap dan menoleh ke kalender meja di samping ranjang.
Jarum jam tepat menunjuk 14 Oktober, Sabtu.
Meskipun aliran waktu di dunia mimpi lebih cepat dibanding dunia nyata, dia tidak memasuki dunia ini setiap malam. Selama tidak bermimpi, waktu di sini akan tetap diam.
Masuk ke ruang tamu, sarapan sudah tersaji di atas meja makan.
"Kenapa bangunnya telat hari ini?" tanya Jieluo sambil mengunyah youtiao.
"Ini liburan, orang dewasa punya kehidupan malam yang sibuk, wajar kalau tidur larut," jawabnya sambil masuk ke kamar mandi dan mengambil sikat gigi, "Kamu mau pergi nanti?"
"Nggak, aku harus ngerjain PR!" seru si Nak, lalu bergumam pelan, "Hidup malam apaan, pulangnya malah lebih awal dariku. Jelas-jelas tipe paman gagal yang nggak punya teman maupun karier..." Suaranya sengaja dikeraskan hingga terdengar jelas.
Roland hampir tersedak air kumur. Dipanggil Paman saja sudah keterlaluan, sekarang malah jadi paman gagal? Dia menatap cermin. Penampilannya sama persis dengan di dunia nyata, masih terlihat 23-24 tahun. Meski hanya memakai kaos dan celana pendek sederhana, tidak sampai segitulah kekurangannya.
Ini pasti karena visi anak-anak yang terlalu dangkal.
Dia memutuskan tidak perlu berdebat dengan si Nak, "Nanti tolong bukakan pintu ya, aku mau keluar sebentar tanpa bawa kunci."
"Iyaaa~!"
Saat selesai mandi, Jieluo sudah menghabiskan sarapan dan kembali ke kamarnya.
Roland duduk dengan santai di depan meja makan, mengambil remote control dan menyalakan televisi.
Hari ini adalah hari yang telah dijanjikannya untuk bertemu dengan Garcia.
Setelah berbulan-bulan sibuk, bahan ajar profesional dan data yang bisa dibeli pada dasarnya sudah terkumpul semua, bertumpuk di kamar tidurnya. Tinggal menyalinnya nanti, namun rencana eksplorasi pecahan ingatan justru menemui jalan buntu.
Di Menara Jiwa, tidak ada satupun penghuni apartemen yang mau dengan mudah menyewakan kamar mereka. Sampai saat ini hanya berhasil dua kali, itupun fragmen dari pintu ingatan bukanlah konten yang bernilai. Mengingat menara ini memiliki lebih dari 2.000 rumah penduduk, hanya mengandalkan penjualan baju zirah tampaknya sulit menyediakan dana sebesar itu - lagipula dia tidak bisa menjual baju zirah sebagai barang antik sejati, kemungkinan menarik perhatian polisi tidak lebih rendah daripada kemungkinannya langsung menerobos masuk ke rumah orang lain untuk melakukan penggeledahan paksa.
Setelah dipikir-pikir, metode yang bisa diandalkan hanya dua: menambah sumber pendapatan atau memperluas reputasi.
Jika bisa terkenal seperti Garcia di Jalan Tongzi, baik menyewa maupun membujuk orang untuk pindah akan jauh lebih mudah; atau dengan menghasilkan uang yang cukup untuk membeli seluruh gedung Tongzi juga merupakan metode yang bagus.
Dan dari kedua opsi tersebut, cara yang saat ini paling mungkin untuk diwujudkan adalah dengan bergabung ke Asosiasi Ahli Bela Diri.
“Mendengar penjelasan Garcia bahwa dengan berpartisipasi dalam misi memburu Makhluk Jatuh, kita akan mendapatkan imbalan finansial yang besar. Ahli bela diri kuat yang bersedia tampil di panggung akan mendapat dukungan penuh dari Asosiasi. Tapi saat menyebut soal imbalan, ekspresi wajahnya terlihat meremehkan, seolah yang mereka lakukan semata-mata untuk melindungi manusia dari bahaya Makhluk Jatuh, bukan demi uang.”
Roland mengungkapkan kekagumannya pada niat mulia ini dan menanyakan secara detail tentang sistem pembayaran imbalan.
Sebenarnya dia enggan bekerja untuk organisasi aneh yang mengutamakan tanggung jawab dan pengabdian, tapi tindakannya mirip konspirator di balik layar. Apalagi bekerja tanpa bayaran. Andai bukan karena kemajuan eksplorasinya yang minim selama beberapa bulan, dia takkan bergabung dengan Asosiasi Ahli Bela Diri.
Tepat pukul sepuluh, dia mengenakan setelan formal dan keluar - meski lokasi janjinya di Kamar 0827, tapi mengingat ini permohonan resmi ke Asosiasi, tentu tak bisa terlalu santai.
Namun sebelum sempat melangkah dua langkah, terdengar jeritan kekanak-kanakan dari belakang.
Jeritan Jieluo.
Roland tertegun, saat menoleh melihat si Nak berlari keluar dari apartemen dengan panik di wajahnya.
“Ada tikus?”
“Di-dalam kamar tiba-tiba ada orang!” Jieluo menunjuk ke pintu masuk sambil gagap.
“Orang?” Roland mengerutkan alis, kembali ke depan Kamar 0825 dan mengintip - langsung membeku di tempat.
Di tengah ruang tamu yang jelas masih sepi satu menit yang lalu, tiba-tiba muncul seorang perempuan asing tanpa diketahui waktunya.
