Perempuan itu memiliki rambut panjang coklat kekuningan dengan poni yang disisir ke satu sisi, memperlihatkan setengah dahinya. Seluruh wajahnya terlihat sangat lembut, memberikan kesan perempuan lembut dari daerah perairan. Namun dalam situasi seperti ini, semakin cantik justru terasa semakin aneh - bukankah hantu perempuan biasanya bergaya lembut dan melayang?
Selain itu, jubah longgar yang dikenakannya terlalu usang. Jahitannya kasar, lengan baju dan ujung jubahnya sudah compang-camping, seolah diambil dari tempat barang rongsokan.
"Aku... aku mendengar suaramu pergi, ingin memeriksa apakah pintu sudah terkunci. Saat menoleh, tiba-tiba ada seseorang di belakang!" Wajah Jieluo pucat pasi, jelas sangat ketakutan.
Perempuan itu sepertinya menyadari keributan di sini. Ia mengangkat kepala menatap ke pintu, ekspresi wajahnya langsung berubah.
Roland refleks mengepalkan tangan, bersiap menghadapi serangan lawan.
Tak disangka perkataan berikutnya membuatnya terkejut bukan main, "Roland... Yang Mulia Kaisar?"
Apa?
Yang Mulia Kaisar?
"Emm, kamu..." ujarnya mencoba menguji.
"Saya Filipina, Yang Mulia. Sekarang situasi mencurigakan apa yang terjadi?" Kebingungan di mata perempuan itu tidak kalah dibandingkan dirinya.
“Filipina?” Roland merasakan kilatan pemahaman dalam sekejap, serangkaian pertanyaan bermunculan, penyihir Hukuman Dewa yang menjaga aula kastil itu? Mengapa dia bisa masuk ke dunia mimpi? Apakah dunia ini sedang berubah dari tertutup menjadi terbuka? Bagaimana dengan Anna, mengapa dia tidak muncul?
“Tunggu, kalian saling mengenal?” Jieluo mendeteksi sesuatu yang tidak beres, “Yang Mulia Kaisar itu apa... kalian sedang bermain peran?”
“Hmm, dia... saudara jauhku,” Roland tiba-tiba menyadari ini bukan saatnya tertegun, “Soal sebutan Yang Mulia Kaisar, itu hanya candaan. Kami tumbuh besar bersama, jadi panggilan apapun biasa.”
“Saudara?” Melihat bukan arwah gentayangan, keberanian si bocah kecil langsung pulih normal sementara rasa curiganya meledak, “Tadi kau jelas-jelas bertanya siapa dia.”
“Apa benar?” ujarnya tanpa perubahan ekspresi, “Aku cuma melihat seorang pengecut menjerit histeris, hampir mengompol.”
Pipi Jieluo langsung memerah, “Kau... kau mengada-ada!”
“Bukankah teriakan itu darimu? Sebenarnya dia sudah ada di kamar, tapi saat itu kau sedang mengerjakan PR di kamar tidurmu sendiri.”
“Maaf, sebenarnya... aku tidak bermaksud menakutimu,” sementara kemampuan adaptasi perempuan asing ini membuat Roland kagum diam-diam, “Saat Yang Mulia Kaisar pergi tadi, aku kebetulan ke kamar lain. Saat keluar ingin menyapa, kau langsung lari sambil berteriak.”
“Kurasa fakta memang seperti itu, dia bertanya situasi mencurigakan apa ini, sebenarnya karena terkejut olehmu——” Roland menambahkan tusukan terakhir, “Kalau baru keluar rumah langsung melihat bocah kecil berteriak jeritan, jika itu aku juga pasti bingung.”
“Aku… aku…” Jieluo terdiam sejenak. Jeritan adalah fakta yang tak bisa dibantah, dia juga tidak terbiasa berbohong, seketika terjebak dalam dilema, rongga matanya perlahan mulai berkaca-kaca.
Hmm… sepertinya agak keterlaluan, dia membungkuk mengelus kepala gadis kecil itu, “Pokoknya, ini kesalahpahaman, pulanglah baik-baik dan terus belajar.”
Dalam pertarungan psikologis antar orang dewasa ini, kau tidak mungkin menang, Roland berpikir tanpa merasa bersalah, anggap saja sebagai pencucian dalam proses pertumbuhan, hidup tanpa pernah ditipu kekuatan gabungan orang dewasa itu tidak lengkap.
Dia mengira Jieluo akan lari masuk kamar tidur sambil terisak, tapi tak disangka gadis itu menghirup ingus keras-keras sambil menahan air mata yang berkilat, lalu mengangkat kaki menendang keras pahanya, “Paman bajingan!” Baru kemudian marah-marah kembali ke kamar.
Dia tak bisa menahan menyentak sudut mulutnya, walau prosesnya sedikit berbeda dengan tebakannya, tapi… yang penting hasilnya sama.
“Puuut,” perempuan yang menyebut diri Filipina itu tak tahan tertawa, “Tampaknya di sini, Yang Mulia bukanlah Raja Orang Biasa Yang Maha Tinggi.”
“Tapi di sini, akulah yang menguasai dunia,” Roland membuat isyarat mengundang, “Mari bicara di kamarku, aku juga punya banyak pertanyaan untukmu.”
……
Setengah jam kemudian, akhirnya dia yakin bahwa klaim bahwa lawan bicaranya adalah Filipina memang benar.
Bukan hanya peristiwa di Takira, bahkan apa yang dia lihat di kastil, serta pengalaman menyamar sebagai pelayan "Uang Hitam" Nomor Tujuh Puluh Enam, semua diceritakannya dengan runtut. Bahkan hal-hal yang dia sendiri tidak terlalu paham, dijelaskannya secara detail dan konsisten dari awal hingga akhir.
Setidaknya hal ini bisa menghilangkan kemungkinan bahwa dia adalah entitas kesadaran yang terlahir secara alami dari dunia ini—hanya dengan membaca ingatannya, mustahil mencapai tingkat ini.
Sedangkan tubuh yang dimiliki Filipina saat ini, persis seperti penampilan tubuh aslinya saat menjalani ekstraksi jiwa.
Maka pertanyaan selanjutnya menjadi jelas.
Mengapa dia bisa masuk ke dalam dunia mimpi?
“Aku juga tidak terlalu tahu…” Filipina menggelengkan kepala, “Saat itu sudah sangat larut, Angkatan Darat Pertama baru saja melakukan pergantian jaga, aku berencana memutus kendali tubuh dan menggunakan tidur dengan nyenyak untuk memulihkan energi dengan cepat, tapi begitu membuka mata sudah berada di sini.” Dia berhenti sejenak, “Yang Mulia menyebut tempat ini…dunia mimpi?”
“Benar, sebuah dunia yang hanya beroperasi saat aku bermimpi, tapi aku tak tahu apakah aturan itu masih berlaku sekarang.” Hingga tahap ini tak ada gunanya menyembunyikan, prioritas utama adalah mencari tahu alasan pihak lawan terhubung ke mimpi - meskipun dia sudah lama paham dunia kompleks ini tidak berada dalam pikirannya, tapi perasaan melihat orang luar tiba-tiba masuk juga cukup... menyeramkan. Bagaimanapun, satu hal bisa dipastikan, dunia mimpi dibangun berdasarkan ingatannya, ini setara dengan seseorang yang masuk ke memorinya tanpa izin.
Roland membuka tangga alat di belakang pintu dan meletakkannya di samping ranjang, "Mungkin kita bisa menguji untuk mencari tahu alasanmu datang ke dunia mimpi."
"Apa ini?" Filipina bertanya terkejut.
"Saat aku jatuh dari ujungnya, mimpi akan berakhir. Kau bisa mencoba dulu, lihat apakah bisa kembali ke dunia nyata. Lalu aku akan memutus mimpi, jika keduanya bisa lepas dengan lancar, tunggu aku di aula, aku segera turun." Roland menjelaskan.
"Tunggu... Yang Mulia." Filipina tiba-tiba meraih lengannya.
Gerakan ini membuatnya terkejut, jika di Kota Tanpa Musim Dingin, ini tak diragukan lagi tindakan tak sopan. Apa mungkin karena tiba-tiba berada di lingkungan asing, dia melupakan adat istiadat ratusan tahun?
"Bisakah... Yang Mulia mencubitku sekuat tenaga?" bisiknya.
"Apa?" Roland tertegun.
"Tolong dengan kekuatan maksimal, ya?" Filipina menggulung lengan bajunya, menyodorkan lengan putih salju ke hadapannya.
“Sakit tajam tidak akan membangunkan dari mimpi, hal ini telah kukonfirmasi.”
“Aku hanya ingin merasakan... kumohon.”
Merasakan? Teringat deskripsi Agatha tentang Penyihir Hukuman Dewa, Roland langsung memahami maksudnya. Setelah diam sejenak, ia mengulurkan tangan kanan dan memelintir pergelangan tangan Filipina dengan kuat.
Filipina menggigit gigi hingga berderik, dari tenggorokan keluar erangan kepuasan yang tak terkira, bagai musafir kehausan yang tiba-tiba meneguk embun manis. Seluruh tubuhnya gemetar.
Setelah lama, barulah ia membuka mata sambil menghela napas panjang.
“Demi para dewa, aku bisa merasakan sakit lagi!” Filipina kini seperti manusia baru, tatapannya pada Roland nyaris memancarkan cahaya.
“Kau juga bisa melakukannya sendiri,” ujarnya sambil mengangkat tangan.
“Itu berbeda, Yang Mulia.” Filipina menggeleng, tiba-tiba berlutut. “Mungkin dunia ini hanyalah mimpi bagi Paduka, tapi aku rela berkorban segalanya untuknya - siapa tahu setelah pergi, aku takkan bisa kembali. Setidaknya untuk saat ini, bisakah mimpi ini diperpanjang?”
