“Melakukan hal ini… benarkah tidak apa-apa?” Echo menatap para orang pasir yang berguling-guling di dermaga akibat cambukan, ekspresi kasihan terpancar dari balik jendela pos komando.
"Mereka tak pernah mengerti arti disiplin. Hidup mereka selalu kuat memangsa yang lemah. Untuk memanfaatkan gerombolan ini secepatnya, selain perang hanya cara ini." Kapak Besi menjawab dengan hormat, "Yang Mulia tak lama di perbatasan selatan ekstrem. Yang Mulia Kepala Klan sangat menyayangi Anda, jadi mungkin Anda belum tahu watak klan-klan kecil ini. Pelajaran selevel ini biasa saja, bahkan sangat diperlukan. Kalau tidak, mereka akan mengira Aosha tak punya wibawa dan mudah ditindas."
Ia jarang terlihat ragu-ragu, "Kurasa ketidaknyamanan Anda mungkin karena… terkadang Yang Mulia Kaisar terlalu baik."
"Sepenuhnya setuju," Andrea yang bersandar di jendela mengangkat bahu, "Ada pepatah bangsawan: Lobak dan tongkat besar adalah sistem terbaik memerintah rakyat. Semakin gemuk lobaknya, semakin murah hati sang pangeran."
"Apa itu lobak?" Kolibri penasaran.
"Semacam makanan, mirip jagung milik Yang Mulia. Spesialisasi Kerajaan Fajar," jelas Andrea, "Tapi lobak sebesar apapun tetap lebih kecil dari tongkat. Makna tersiratnya: hukuman harus lebih berat dari hadiah agar rakyat tahu menghargai. Pangeran seperti Yang Mulia Roland, di Lautan Cahaya pasti dijuluki si Pemboros."
“Ini termasuk perkataanmu yang jarang membuatku merasa sepakat.” Abu menyeringai.
“Mungkin Yang Mulia sangat pandai bicara?” Kolibri menopang dagu sambil berpikir, “Ucapan yang diajarkannya pada Tula terdengar cukup masuk akal... Kekuatan kolektif memang lebih besar daripada individu.”
“Tapi bahkan Tula hanya menghafal paksa ucapan itu,” Kapak Besi menggelengkan kepala sambil tersenyum, “Jika belum pernah mengunjungi Kota Tanpa Musim Dingin secara langsung, mustahil membayangkan tatanan baru yang begitu tak terduga telah dibangun Yang Mulia. Aku yakin suatu hari seluruh Greycastle akan menjadi seperti Kota Tanpa Musim Dingin, tapi jelas belum sekarang – cambuk lebih efektif daripada kata-kata untuk membuat mereka mengingat aturan Perbatasan Selatan.”
Echo menghela napas pelan, tak melanjutkan pembicaraan.
“Yang Mulia Komandan Utama,” seorang prajurit tiba-tiba masuk ke pos komando, “Klan Batu Jatuh dan Mata Air Jernih sedang ricuh. Beberapa orang sedang berhadapan dengan Pasukan Penjaga.”
“Masalah naik kapal?” Ekspresi Kapak Besi langsung berubah serius.
“Benar. Mereka yang terdesak jatuh ke air mengajak keluarga, ingin mendapat jatah makanan dan uang yang sama. Alasannya, mereka bukan menolak ke Lembah Air Hitam, tapi ditolak Aosha.”
“Bagus. Siapa yang bertugas di perkemahan sekarang?”
“Batalyon Senjata Api Kedua.”
“Kerahkan dua regu, dan para pemuda Aosha yang ingin mendaftar Angkatan Darat Pertama. Suruh mereka segera berkumpul di lokasi kerusuhan. Aku segera menyusul.”
“Siap, Yang Mulia!”
Melihat Kapak Besi hendak pergi, Echo tak kuasa menahannya, "Tolong jangan terlalu keras pada mereka……"
Yang kedua berdiam di pintu masuk sejenak, lalu menepuk dada dan memberi hormat padanya, "Saya mengerti…Yang Mulia Bulan Perak, saya akan menjaga batas."
Setelah Kapak Besi pergi, Echo kembali ke meja dengan murung. Migrasi orang pasir ke utara tak semulus yang dia bayangkan. Padahal cukup mengikuti arahan Yang Mulia Kaisar, semua bisa hidup sejahtera. Tapi selalu ada yang menganggap pesannya sebagai kebohongan, meski telah mendapat tanah subur, tetap tak sepenuhnya percaya padanya maupun Yang Mulia Roland.
Dia mulai merindukan kehidupan di Kota Tanpa Musim Dingin.
Dibanding menjadi klan terkemuka, dia lebih menyukai hari-harinya berdiri di puncak kastil, memandang pegunungan dan kota sambil menyanyikan melodi gubahan Yang Mulia. Hanya saat melodi asing itu mengudara, dia bisa merasakan kebebasan sejati dan sukacita.
Sejak tiba di sini, sudah lama dia tak bernyanyi… Entah apakah Yang Mulia Roland sudah menciptakan melodi baru…
Kapan bisa bersuara lantang lagi?
……
"Muntah——" Perut Sinbadie terasa seperti diaduk badai. Mengikuti naik-turunnya kapal batu, cairan asam menyembur lagi. Tak peduli lambung kapal yang penuh muntahan orang, dia langsung membungkuk di pagar dan memuntahkan isi perutnya.
"Hei, kamu baik-baik saja?" Mu Li menepuk punggungnya, ekspresi wajahnya juga pucat——Kapal batu yang semula stabil seperti daratan di teluk, begitu masuk ke lautan langsung berubah menjadi daun yang terombang-ambing. Terhantam ombak, kapal beberapa kali hampir menabrak tepi pantai, goyangan lateral tak pernah berhenti. Bagi orang pasir yang pertama kali kontak dekat dengan laut, ini benar-benar sebuah siksaan.
"Hmm... masih bisa bertahan," dia menjawab lemah sambil terkapar di dek setelah muntah, "Kamu ingat sudah berapa hari kita di laut?"
"Hari ini hari kelima."
"Ini tidak beres..." Xinbadi menarik napas berat, berbisik, "Masih ingat apa yang dikatakan orang Klan Qingquan? Mereka... tinggal di oasis tepi pantai, seharusnya tidak salah mengenali——Kita sudah melewati wilayah Kota Pasir Besi pada senja hari pertama, ini membuktikan kapal batu tidak lamban, tapi kenapa sekarang belum sampai ke Lembah Air Hitam?"
"Maksudmu..."
"Tujuan Aosha bukan Lembah Air Hitam, Tula berbohong! Tempat yang akan dia bawa kita jauh lebih selatan dari Rawa Cekik Leher!"
"Lebih selatan?" Mu Li juga menunjukkan ekspresi khawatir, "Tapi di sana tidak ada apa-apa, apakah mereka tidak salah jalan?"
"Kapal terus bergerak menyusuri pantai, kecil kemungkinan salah arah," Xinbadi menahan dahinya yang berdenyut-denyut, "Jika lebih dekat ke ujung selatan daripada Rawa Cekik Leher, maka hanya ada——"
"Semuanya bersiap!" Sebelum dia selesai bicara, Tula tiba-tiba muncul di pusat dek, sekaligus memotong ucapannya, "Kabar baik: kita akan segera tiba di tujuan. Kumpulkan barang-barang dan antri untuk turun. Ingat, kali ini takkan ada yang menyelamatkan kalian jika jatuh ke laut!"
Sinbadi mengangkat tubuhnya, memandang ke luar lambung kapal. Tepi pantai masih gersang tanpa bayangan oasis, sementara uap air yang menggelegak dan pilar asap di kejauhan permukaan laut membuktikan tebakannya.
Hanya satu wilayah yang memiliki pemandangan aneh tak terbayangkan ini.
Tanjung Infinity - tanah pengasingan orang Mokin.
Semakin banyak orang pasir yang mendeteksi keanehan. Kerumunan di dek mulai gelisah.
"Ini sama sekali bukan Lembah Air Hitam! Kau menipu kami!"
"Mengapa membawa kami ke Tanjung Infinity? Apa kau ingin membuang kami semua di sini?"
"Aku ingin pulang! Kumohon, kembalikan kami!"
"Diam!" Pada momen ini, Tula tak lagi menyembunyikan maksudnya, "Pernahkah kukatakan tujuan kita adalah Bagian Tengah Lembah Air Hitam? Aliran cabang lembah tersebar di selatan, termasuk wilayah tanjung - Setiap sungai kematian di dunia bawah pasti berasal dari lembah, bukankah begitu?"
Ini jelas pembenaran! Sinbadi geram. Jika sejak awal disebutkan akan bekerja di tanah pengasingan, mungkin takkan ada yang mendaftar.
“Tidak ada yang akan ditinggalkan di sini, baik Klan Aosha maupun orang Greycastle, akan bersama kalian mentransformasi tempat ini!” Tula mengangkat lengannya dan berseru keras, “Dengarkan, mulai hari ini Tanjung Infinity bukan lagi tempat pengasingan narapidana, tapi sebuah kota baru yang sedang berkembang! Ini adalah perintah Kepala Suku Besar!”
