Para prajurit kini tersadar. Dengan waktu yang tak cukup untuk memutar moncong senapan mesin lain, mereka langsung melepas senapan Roda Raksasa dari punggung dan mulai menembak -
Pedang yang tertancap di tubuh monster menjadi penanda terbaik. Dalam jarak sepuluh langkah, pistol putar hampir mustahil meleset. Brian dan pasukannya memuntahkan seluruh peluru dalam sekali tembak, hujan peluru menyapu udara di atas kepala Edith. Bahkan desisan peluru yang menyobek udara bisa didengar.
Menoleh ke belakang, udara yang terdistorsi tiba-tiba membeku. Seekor monster menampakkan wujud dari langit. Tingginya hampir mencapai enam chi (1,8 meter), setengah tubuh lebih tinggi dari orang dewasa. Selain sepasang kaki depan setajam sabit, perutnya memiliki tujuh delapan pasang kaki tambahan. Seluruh tubuhnya diselubungi cangkang keabu-abuan yang mengerikan. Untungnya zirah itu tak bisa menahan tembakan jarak dekat - kepala ramping seperti belalangnya pecah membentuk lubang sebesar kepalan tangan. Setelah berkedut beberapa kali, tubuhnya yang berlumuran darah terjatuh ke tanah.
“Minggir!” Tiba-tiba terdengar auman keras "Roarrrrr" dari belakang Edith.
Sebuah pedang berat langsung menyambar dengan kekuatan dahsyat yang menimbulkan dengungan murni, bilah pedangnya menghantam tepat di depan basis pertahanan regu senapan mesin pertama, menubruk dua monster lainnya hingga terlempar, gelombang tak kasat mata pun ikut sirna.
Beberapa Penyihir Hukuman Dewa kemudian melompati sisi tubuhnya, mengayunkan pedang secara horizontal membelah monster yang belum sempat bangkit menjadi dua bagian.
「Bantuan datang」, Edith menghela napas lega setelah menyadari hal ini.
Jumlah musuh tidak banyak, kehilangan keunggulan penyamaran, dengan cepat mereka tercabik-cabik oleh ahli seni bela diri supernatural yang menyerbu maju.
Ia juga memperhatikan, saat monster mendekati Penyihir Hukuman Dewa, mereka menunjukkan bentuk aneh—separuh tubuh bersembunyi dalam Kekosongan, separuh lainnya terpaksa menampakkan wujud asli, seolah kemampuan menyamarkan keberadaan mereka lumpuh.
“Kau baik-baik saja?” Maggie membantu Edith berdiri, “Kami melihat musuh-musuh ini dari dalam tebing batu, sayangnya masih terlambat sedikit.”
“Memanfaatkan Batu Ajaib Mako warna-warni?”
“Benar,” seorang pria tinggi besar mendekatinya, “Serahkan tempat ini pada kami, senjata orang biasa tidak ahli menangani situasi mencurigakan seperti ini. Kau beri tahu atasan dan bawa turun lebih banyak Penyihir Hukuman Dewa.”
Edith ingat nama mereka sepertinya Betty, “Kalian bisa menghancurkan penyamaran pihak lawan?”
“Teknik sejenis Batu Hukuman Dewa,” pria itu mengangkat bahu, “Sejauh ini hanya bisa melumpuhkan kemampuan menghilang musuh untuk sementara waktu saja.”
“Tapi mereka juga membawa Batu Hukuman Dewa, mengapa tidak bisa melihat musuh...” Brian menatap tiga mayat prajurit di tanah sambil menggeretakkan gigi.
“Ini wajar,” Betty menjawab dengan tenang, “Cahaya, jarak, dan fokus perhatian semua mempengaruhi hasil observasi. Batu suci kualitas biasa radius pengaruhnya hanya sekitar satu-dua langkah. Waktu kemunculan musuh hanya sekejap mata. Dalam kondisi remang-remang seperti ini, wajar jika tidak terlihat.”
Edith tak bisa menahan helaan nafas. Benar, sebelumnya mereka baru menyadari monster sabit muncul sebagian besar saat pertarungan sengit. Ditambah panjang kaki depan musuh dan keunggulan serangan mendadaknya, orang biasa baru menyadari sesuatu tidak beres ketika sudah terlambat. Kecuali memasang batu suci terlebih dahulu, Angkatan Darat Pertama memang tak punya cara menghadapi musuh jenis ini.
“Sialan!” Brian mengayunkan tinjunya keras, “Seharusnya aku mengirim kawat berduri terlebih dahulu!”
“Cepat kembali, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres di dalam lubang,” Betty mendesak lagi, “Teriakan aneh tadi seolah mengguncang seluruh gunung salju.”
“Kau juga mendengarnya?” Edith terkejut bertanya.
“Kami kehilangan sebagian besar indra peraba, karena itu penglihatan dan pendengaran menjadi sangat tajam...” Lawan bicaranya mengamatinya beberapa saat sebelum melanjutkan, “Tak kusangka orang biasa juga bisa mencapai tingkat ini.”
Benar, sebelumnya bukan halusinasinya... Edith mengangguk, melepas Batu Hukuman Dewa dan melemparkannya di samping senapan mesin. Sambil menarik Brian dan yang lain untuk mengelilingi Maggie, mereka menyelam ke perut bumi bersama Bahtera Energi Sihir, kemudian merayap naik menyusuri dinding batu. Meski Komandan Batalyon Senapan enggan menyerahkan garis depan medan perang kepada penyihir Takkila, akhirnya dia mengikuti kendali situasi. Bagaimanapun, jika Penyihir Hukuman Dewa sudah terkunci dalam pertarungan sengit dengan musuh, mustahil mereka bisa menembaki sekutu seenaknya.
Penghuni Menara Batu Hitam jelas tak menyadari pertempuran di dasar gua. Mereka masih terus menurunkan tenda, batu suci, senjata api, dan logistik perang lainnya menggunakan tali. Setelah menghentikan yang lain, Brian tidak beralih ke platform uap untuk kembali ke mulut gua, melainkan menyuruh Maggie terus maju.
Persis saat rombongan hampir mencapai lorong cacing, dentuman senjata tiba-tiba menggema dari atas kepala mereka, sengitnya bagai badai dan hujan lebat! Ini pertanda Angkatan Darat Pertama di pos pemeriksaan tak lagi menahan diri - mereka langsung masuk ke keadaan tembakan maksimal!
Wajah seluruh rombongan berubah pucat. Pipi penyihir perempuan bahkan memerah karena emosi, membuat kecepatan pendakian mereka semakin menjadi-jadi.
Saat Bahtera Energi Sihir menerobos keluar dari tanah, Edith tanpa sadar membelalakkan matanya lebar-lebar.
Di atas gua, anggota tubuh dan organ dalam terus berjatuhan seperti hujan mayat. Tiga regu senapan mesin berbaris rapi, menembak ke langit-langit gua yang gelap gulita di bawah komando Sylvie. Sementara tim pistol putar dan penembak presisi khusus menangani titik buta di atas kepala - tak perlu membidik musuh, cukup angkat laras senjata dan tembak sepanjang dinding gua.
"Musuh apa itu?" Brian menyambar seorang prajurit.
"Makhluk jahat, Yang Mulia!" jawab prajurit sambil sibuk mengisi ulang amunisi, "Sekawanan makhluk jahat mengalir dari atas Gunung Salju!"
"Sial! Kenapa mereka tiba-tiba ikut campur sekarang?"
Sebuah dorongan tiba-tiba melintas di hati Edith.
Mungkinkah dengungan berat tadi adalah panggilan untuk sesamanya?
Dia pernah membaca dalam buku-buku kuno tulisan Yang Mulia Kaisar: Di dunia ini ada jenis suara unik yang nyaris tak terdengar telinga manusia, tapi sangat jelas bagi makhluk tertentu. Bahkan beberapa spesies bisa berkomunikasi dengan sesamanya melalui suara ini. Jangan-jangan inilah situasi mencurigakan yang mereka hadapi?
Namun kabar mengejutkan tak berhenti di situ. Saat Brian mengamati pertarungan, seorang prajurit lain berlari masuk ke gua. "Yang Mulia, Putri Maisie mendeteksi aktivitas tidak biasa makhluk jahat di timur Hutan Persembunyian - sepertinya mereka bergerak mendekati Gunung Salju, bukan menyerang Kota Tanpa Musim Dingin seperti yang diperkirakan!"
"Apa? Ini--" Komandan Batalyon Senapan tertegun di tempat.
“Yang Mulia?” prajurit itu gusah bertanya, “Apa yang harus kita lakukan?”
“Bagaimana mungkin ini terjadi……bagaimana mungkin……” Wajah Brian membiru, ia terus mengulang kalimat itu sementara keringat halus sudah menggenangi dahinya.
Orang ini masih terlalu kurang pengalaman, alis Edith berkerut. Sebagai komandan, seseorang tidak boleh menampakkan kebingungan dan ketidaktahuan di hati, terutama di hadapan anak buah.
Ia batuk dua kali, “Masalahnya tidak rumit. Pertama, kita harus menyusutkan Angkatan Darat Pertama yang bermarkas di luar gunung salju, memusatkan pertahanan di mulut gua. Ini akan mengurangi panjang garis pertahanan, hanya perlu beberapa mesin senapan untuk menahan upaya breakthrough makhluk jahat.”
Brian menatapnya, baru bereaksi setelah beberapa keit, “Be...begitu juga ya.”
“Kedua, mintalah Putri Maisie segera menghubungi Yang Mulia Roland, minta dikirim bala bantuan untuk jaga-jaga—soalnya suplai peluru dan bahan makanan kita bergantung pada Sungai Redwater. Jika kita menyerah keperkemahan dan dipertahankan lorong, pasti tidak bisa bertahan lama.” Edith melanjutkan dengan cepat tapi terstruktur, “Selain itu makhluk jahat tidak punya kemampuan menyebrang sungai. Beberapa kapal semen di luar jangan ditinggalkan. Tinggalkan sepuluh orang untuk mengalihkan perhatian makhluk jahat sekaligus memandu arah personel berikutnya.”
“Makhluk jahat di langit-langit gua akan dipandu oleh Putri Sylvie untuk menghalangi serangan panas, tidak terlalu besar masalahnya; sedangkan batu suci yang dibagikan bisa sementara tidak dipakai di tubuh, melainkan dikubur di sekitar pos pemeriksaan untuk mencegah penyergapan. Terakhir jangan lupa mengirim penyihir Takkila ke dasar gua, Betty masih menunggu bala bantuan kita. Hanya ketika jumlah mereka cukup banyak, kita bisa bergerak ke hulu sungai untuk menemukan kembali Putri Agatha dan yang lain.” Suaranya mantap membuat orang-orang sekitar perlahan tenang, “Langkah ini harus secepat mungkin—jika tebakan saya benar, tempat asal suara aneh itu adalah kunci penyelesaian masalah.”
Brian menarik napas dalam, “Saya mengerti, akan dilakukan sesuai rencanamu.”
