Kondisi mental Roland bergejolak mendengar ucapan itu. Rasa ingin menyalahkannya karena mengambil risiko nyawa terhenti di tenggorokan saat melihat senyum riangnya, membuatnya bingung harus merespons apa.
Akhirnya dia hanya menepuk punggung gadis itu, "Lain kali jangan begitu gegabah."
“Nightingale awalnya mengangguk, lalu menggelengkan kepalanya, suaranya direndahkan hingga hanya dia yang bisa mendengar, ‘Aku tidak seperti Anna yang bisa mengubah gambar teknik itu menjadi kenyataan… Yang bisa kulakukan untukmu hanya ini.’ Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, ‘Tapi tenang saja, menjaga… di samping adalah hal terpenting. Aku tak akan sembarangan menempatkan diri dalam bahaya.’”
Ucapan blak-blakan ini membuat pipinya memerah sedikit, meski di tengah-tengah tiba-tiba menjadi tidak jelas, tapi Roland masih menangkap satu kata: “kau”.
Setelah berkata demikian, seolah telah menghabiskan semua keberanian, Nightingale melompat dari pelukannya dan menghilang dalam kabut.
Sulit dibayangkan, perempuan yang jelas-jelas sedang memberanikan diri ini bisa memegang senjata api dan bahan peledak, bertarung satu lawan satu dengan monster mengerikan sendirian di reruntuhan.
Hatinya tiba-tiba dipenuhi perasaan haru.
“Untuk pekerjaan pengawalan ke depannya, biarkan aku yang terus melanjutkannya.”
Suara Nightingale terdengar dari belakang. Ketika membahas ini, nadanya langsung menjadi lebih tenang, dan entah mengapa Roland merasakan ketenangan yang sudah lama tidak dirasakannya.
Selanjutnya adalah ritual pelukan rutin dengan penyihir-penyihir lainnya.
Tapi yang membuatnya agak tidak nyaman adalah tatapan para penghuni reruntuhan Takira yang mengarah padanya.
Berbeda dengan anggota Aliansi yang dipenuhi tawa dan canda, mereka tetap menjaga tatanan dasar setelah naik ke tepi pantai. Di bawah pimpinan beberapa orang di depan, mereka menggendong kotak-kotak hitam melewati dermaga. Namun saat melewati Roland, tatapan mereka hampir seperti tertancap pada tubuhnya, dipenuhi emosi membara yang nyaris berwujud. Hasrat dan semangat bertarung itu membuatnya tak bisa menahan gemetar.
Roland sebenarnya tahu alasannya. Tidak lain karena Pasha dan yang lain telah menyampaikan informasi tentang dunia mimpi kepada Penyihir Hukuman Dewa di garis depan Gunung Salju. Tujuan mereka kembali kali ini, selain membawa hasil penggeledahan, juga untuk mengangkut instrumen jiwa ke Gunung Salju Besar guna menyelesaikan pekerjaan transfer pengambilalihan cacing penyerap.
Masalahnya, jika yang meliriknya hanya perempuan dengan tatapan menggoda mungkin tidak akan terlalu mengganggunya. Tapi sayangnya, sebagian besar Penyihir Hukuman Dewa ini memiliki penampakan fisik pria - karena sumber cangkang membatasi pilihan mereka. Merasuki tubuh Prajurit Hukuman Dewa pria memang tindakan pasrah, namun bagi Roland perasaannya sungguh berbeda.
Sekalipun tahu dalam jiwa mereka tetap ada hati perempuan, secara naluri tetap timbul penolakan saat ditatap oleh sekumpulan "pria" kekar berpostur tinggi. Apalagi jika tatapan itu membawa hasrat yang sulit dikendalikan, perasaan yang timbul semakin buruk.
Setelah akhirnya proses penyambutan berakhir, Roland yang baru saja kembali ke kastil langsung disambut Nightingale yang kembali mengayunkan kaki panjangnya, muncul di atas meja kerjanya.
“Benarkah cangkang kosong itu bisa masuk ke dunia mimpi…?”
Tampaknya bukan hanya penghuni reruntuhan Takira, informasi ini juga sampai ke telinga penyihir perempuan lain.
“Awalnya aku juga sangat terkejut,” Roland mengangkat bahu, “selama mereka menghentikan kesadaran dalam radius pilar cahaya, mereka akan muncul dalam mimpi – pilar cahaya itu lebih mirip lorong transmisi daripada koneksi dengan dewa.”
Nightingale mengerutkan bibirnya, tidak menyambung ucapan, namun matanya semakin berbinar, kedua kakinya menyender di lututnya. Jelas tanpa kehadiran orang luar, nyalinya jauh lebih besar.
“Tidak boleh!” Roland segera menolak, “Aku tahu apa yang kau pikirkan, mengubah dirimu menjadi Penyihir Hukuman Dewa lalu masuk ke mimpi? Aku tidak akan mengizinkanmu melakukan ini.”
Berbeda dengan Anna, Nightingale cenderung impulsif dalam bertindak – hal ini sudah pernah ia buktikan sebelumnya. Karena itu, begitu menangkap ide itu, ia langsung menghentikan dorongan itu. Jika dibiarkan, bisa saja dia benar-benar melakukannya.
“Tapi aku…”
“Tidak ada ‘tapi’!” Roland bersikap tegas, “Masuk ke mimpi bukan berarti menyatu dengan kesadaranku, juga bukan jaminan keabadian. Itu hanyalah dunia tiruan yang aneh, terus terkikis kekuatan tak dikenal, mungkin suatu hari akan lenyap. Lagipula meski aku bermimpi setiap malam, itu hanya sebentar. Bagaimana di waktu lain? Maukah kau hidup dengan menggendong cangkang yang tak bisa merasakan apa pun selamanya?”
Nightingale menundukkan kepala dan diam cukup lama, "Aku hanya merasa tidak adil mendengar mereka bisa pergi ke tempat yang hanya kau yang pernah lihat."
Roland tertawa mendengar nada kesalnya, "Pengorbanan mereka tak terbayangkan. Hari-hari tanpa kesadaran lebih menakutkan dari sangkar tak kasat mata. Meski dunia mimpi, itu hanya kompensasi kecil. Tak perlu iri. Lagipula, bukankah kau bilang 'berada di samping... adalah yang paling penting'?" Ia meniru nada Nightingale, "Aku tak mau Prajurit Hukuman Dewa berjanggut lebat terus mengawasiku."
Nightingale segera memalingkan muka malu-malu, "Aku, aku tahu! Aku juga tak bilang harus merasuki cangkang kosong, itu omonganmu sendiri."
Roland tersenyum, "Mau minum Minuman Kekacauan?"
Ia segera menoleh kembali, "Mau!"
Hmm, benar-benar mudah ditebak.
Ia mengeluarkan bungkusan ikan kering wangi dari laci, membuka botol minuman rasa baru biru langit, lalu menuangkannya untuk Nightingale, "Terima kasih atas bantuanmu. Agatha bilang, kalau bukan karena kau melukai monster itu, kita semua mungkin dalam bahaya."
Nightingale menenggak minuman itu, menghela napas panjang, lalu menggigit sepotong ikan kering sambil menggosok hidungnya, "Tak perlu berterima kasih. Keterlaluan kau menganggapku orang luar."
“Ini bukan masalah menjaga jarak,” Roland menggelengkan kepala, “Jika pasukan eksplorasi Aliansi Penyihir Perempuan musnah sepenuhnya, itu akan menjadi kerugian yang tak tergantikan bagi Kota Tanpa Musim Dingin. Jadi apa yang kamu lakukan sama pentingnya dengan Anna, hanya berbeda bidang keahlian saja. Mengerti?”
Mendengar ini, Nightingale tak bisa menahan senyum di sudut mulutnya. Seolah ingin menyembunyikan perasaannya, ia buru-buru menyamarkan ekspresi gembira dengan mengunyah ikan kering. "Eh... ngomong-ngomong, sebelumnya kau bilang dunia mimpi sedang terkikis oleh kekuatan tak dikenal. Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah kau dalam bahaya?"
Menghadapi perubahan topik yang kaku ini, Roland dalam hati tertawa geli. Tanpa mencoleknya, ia melanjutkan pembicaraan, "Ceritanya panjang. Tapi satu hal yang pasti, bagaimanapun akhirnya dunia itu berubah, tak akan mempengaruhiku di dunia nyata - selama aku tidak masuk ke mimpi, pilar cahaya itu takkan muncul."
Mengenai kekuatan tak dikenal, Garcia mengatakan Asosiasi Ahli Bela Diri akhirnya akan mengorganisir anggota baru untuk memahami wajah asli dunia ini. Apapun yang ia maksud, harus dilihat langsung baru bisa tahu.
Dibandingkan erosi, Roland lebih memperhatikan buku pelajaran sihir yang tiba-tiba memiliki materi baru.
