Andrea sama sekali tidak melihat hasilnya, melainkan mengarahkan lensa bidik ke target berikutnya.
Konsumsi energi sihir untuk tembakan akurat tidaklah tetap. Secara prinsip, semakin sulit target untuk dikenai, semakin besar energi sihir yang dikerahkan.
Ini berarti energi yang cukup untuk menopang busur atau senjata batu selama 1-2 jam, pada jarak sejauh ini hanya bisa bertahan sekitar setengah keit.
Dia harus menembakkan peluru sebanyak mungkin.
Kemampuan merespons keinginannya.
Andrea merasa bukan sedang menembak, melainkan menari bersama angin. Semua terkoordinasi sempurna: penyesuaian moncong senjata, gerakan lengan, dan setiap gerakan tubuhnya, seolah menyatu dengan dunia ini.
Dengan frekuensi satu tembakan per napas, Andrea segera menghabiskan sepuluh peluru, lalu mengganti dengan magasin baru. Seluruh proses itu mengalir bak air terjun, bagaikan pentas yang penuh keyakinan.
Namun situasi di atas tembok batu jauh dari kata tenang.
Tuhan Kematian sedang terbang mendekati pasukan Ampion dengan cepat, tapi mereka masih belum menyadarinya.
Ksatria yang memimpin penyesuaian mekanisme busur tentara bayaran menjadi korban pertama.
"Mekanisme busur silang ini memiliki jangkauan lebih dari 200 langkah. Kepala panah dari besi cor bisa dengan mudah menembus perisai besar dan zirah ksatria dalam 50 langkah, layak disebut senjata pamungkas untuk mempertahankan istana Raja."
Untuk menahan prajurit monster berkekuatan luar biasa, Ampion mengerahkan semua stok terakhir dari gudang ke tembok. Total delapan rak busur silang dipasang di bagian tembok yang menghadap Jalan Utama Xu Ri. Mengingat lebar jalan yang terbatas, sekalipun penyerang sangat kuat, mustahil menghindari serangan bertubi-tubi dari busur besi ini.
Tentara bayaran itu hanya mendengar dentuman "puuut" meredam, lalu menyaksikan ksatria yang baru saja memberi perintah itu dadanya cekung ke dalam. Tubuhnya condong ke belakang dan jatuh ke tanah tanpa suara.
"Ada yang menyergap!" Peringatan langsung bergema dari puncak tembok.
Yang lain serempak menghunus pedang, tapi tak satu pun bisa mendeteksi asal serangan itu.
Kemudian yang kedua, ketiga——
Kematian berdatangan tanpa henti. Pasukan bertahan terus berjatuhan sementara musuh tak kunjung muncul. Rasa takut yang tak terucapkan menyelubungi hati mereka. Gugur dalam pertempuran bukan hal aneh bagi serigala penjagal ini, tapi menunggu dibunuh adalah cerita lain.
Terutama bagi segelintir tentara bayaran yang terlalu percaya diri dengan kemampuan bertarung mereka.
“Mereka menyadari teknik yang telah dilatih keras semakin hari tidak ada kesempatan untuk menunjukkan keahlian. Musuh bahkan tidak memberikan kesempatan untuk berantem langsung. Baik pelayan yang kikuk maupun ksatria berpengalaman, tidak ada bedanya di hadapan serangan yang datang tanpa pertanda ini. Jika pertempuran Hermes setidaknya membuat mereka melihat musuh, pertempuran kali ini bagai menunggu Tuhan Kematian memanggil nama satu per satu.”
“Dalam waktu kurang dari 10 tarikan napas, sudah ada sekitar dua puluh mayat di atas tembok, ditambah erangan menyakitkan dari yang belum mati. Keinginan kebanyakan orang dengan cepat mencapai ambang kehancuran.”
“Cari perlindungan, ada penyihir perempuan di sekitar sini!”
“Pada saat itu, perintah Kepala Ksatria membuat kami semua sedikit bereaksi, 'Dengan menyembunyikan tubuh di balik tembok kota dan kayu pertahanan, kita bisa menghindari serangan! Selain itu keluarkan semua panah hukuman dewa, tembak ke segala arah yang mungkin, paksa bajingan itu keluar!'”
“Andrea saat ini juga memperhatikan perubahan di tembok batu.”
“Seorang ksatria berbaju zirah berbingkai emas sepertinya sedang memimpin situasi di lokasi. Terus ada orang yang mendekatinya, menggunakan berbagai rintangan sebagai perlindungan, melempar panah secara membabi buta ke sekeliling, bahkan ada yang langsung melempar dengan tangan. Tujuannya jelas tanpa perlu diucapkan.”
“Cara musuh ini sama sekali tidak mengancamnya. Namun jika tidak bisa menghancurkan lawan sepenuhnya, akan mengganggu para Penyihir Hukuman Dewa yang sedang menyerang kota.”
Posisi komandan membentuk sudut mati dengan menara jam, dia hanya bisa melihat samar-samar lengan musuh yang mencuat dari tembok kota, serta sebagian kecil helm.
Target seperti ini biasanya mustahil untuk mengenai, namun sejak menyaksikan pertunjukan tembakan meriam Angkatan Darat Pertama, muncul ide berbeda dalam benaknya.
Andrea terus mencoba menyuntikkan energi sihir hingga memenuhi lengannya. Di bawah dorongan tangan tak kasat mata, moncong senjata terus terangkat hingga mengarah ke langit.
Saat rasa koordinasi yang familiar itu muncul kembali, tanpa ragu-ragu dia menarik pelatuk.
Seketika itu Andrea seolah melihat pola peluru - terlempar tinggi ke udara, melewati puncak tanpa kehilangan semua kecepatan, melainkan membawa inersia ke depan untuk menukik ke arah target. Meski jaraknya seribu langkah, peluru ini telah terbang lebih jauh di udara sehingga menggunakan waktu lebih lama daripada tembakan sebelumnya.
Segera dia menurunkan moncong senjata dan membidik helm ksatria - peluru kedua yang ditembak belakangan justru tiba lebih dulu, menghantam tepi tembok dengan tepat. Batu bata betebaran menyebar, hulu ledak yang berubah bentuk berguling-guling mengenai bagian atas helm dan menerbangkannya. Daya hantam raksasa membuat ksatria sulit dikendalikan hingga terjatuh ke depan, memperlihatkan leher lembutnya yang rentan.
Pada saat yang sama, peluru pertama datang tepat waktu, miring menancap ke kulitnya, mematahkan tulang leher menjadi beberapa bagian. Kepala Ksatria sama sekali tak sempat bereaksi, hanya merasakan dengungan di tengkuk, lalu lehernya terasa dingin sebelum kehilangan semua sensasi.
Serangan ini hampir menghabiskan sisa energi sihir Andrea. Rasa pusing hebat menguasai hatinya, efek samping konsumsi berlebihan membuat tangannya gemetar, bahkan menggenggam popor senjata pun sulit dilakukan.
Namun keruntuhan Kepala Ksatria juga meruntuhkan benteng hati terakhir tentara bayaran. Tembok pertahanan batu hancur, yang lain berbalik lari ke pintu tangga, takut menjadi target berikutnya tatapan Tuhan Kematian. Tak ada lagi yang peduli pada kayu gelinding, minyak panas, dan mekanisme busur di puncak tembok. Perubahan taktik ini tak luput dari pengamatan Penyihir Hukuman Dewa.
"Wu——"
Terompet serangan total akhirnya ditiup.
Eliana yang memimpin regu penyerang berada di posisi terdepan. Selain membawa perlengkapan standar, di tangannya tergenggam seikat tali rami.
Sesaat sebelum mencapai kaki tembok, ia melemparkan tali dengan kuat – di ujungnya terikat erat kait berbentuk segi empat.
Satu keit kemudian, beberapa "tali gantung" untuk memanjat telah terpasang di tembok batu. Tembok setinggi belasan chi ini membutuhkan tenaga penuh bagi orang biasa untuk dilompati, namun di mata Penyihir Hukuman Dewa, ini hanya pagar yang bisa dilewati dengan mengangkat kaki. Eliana dengan mudah memanjat tali rami ke puncak tembok, mendapati area kastil sudah dalam kekacauan.
Tim pengawas dan pasukan cadangan yang diatur Ampion gagal berfungsi sebagaimana mestinya. Saat penjaga tembok batu melarikan diri, bawahan Count Loxi tiba-tiba menghunus pedang ke arah pasukan pengawal pribadi Dewa Fajar. Ditambah para pelarian yang hanya ingin cepat meninggalkan tempat ini, tiga pasukan langsung terlibat perang saudara.
Sudut mulut Eliana naik. Ia melepas pedang raksasa di punggungnya, lalu melompat dari tembok batu.
Tak ada yang bisa menahan serangan frontalnya. Musuh yang masuk dalam radius gebrakan pedang raksasa ini akan terluka jika tersentuh, mati jika terkena—hanya dengan kekuatan sendiri, ia menciptakan area kosong di tengah kerumunan.
Dengan bergabungnya Penyihir Hukuman Dewa ke medan perang, situasi telah sepenuhnya berpihak pada Count Quinn.
