Baik dari segi perawakan, pakaian, maupun penampilan, Yang Mulia Anna bukanlah yang paling mencolok di antara para penyihir perempuan - demi memudahkan pekerjaan konstruksi, rambutnya yang halus diikat menjadi ekor kuda; seragam kerja meski merupakan satu-satunya desain dari Yang Mulia Kaisar, tampaknya tidak terlalu memperhatikan estetika dan kenyamanan, dengan lengan baju dan kerah yang ketat menyatu. Ditambah lama berada di lapangan, pakaiannya pun berdebu hingga terlihat keabu-abuan. Jika melihat pemandangan seperti ini untuk pertama kalinya, mustahil membayangkannya sebagai Permaisuri Greycastle.
Tapi Moriel merasa iri sekali di dalam hati.
Sebab meski tak mengetahui status Permaisurinya, orang pasti paham bahwa dia adalah figur penting - yang berkeliaran di sekitar Anna adalah pejabat tinggi Kota Tanpa Musim Dingin seperti Menteri Pembangunan Karl Van Bert, Penanggung Jawab Staf Umum Edith Kant, dll... Rute rel kereta api, kecepatan maju, dan pengaturan konstruksi semuanya harus didiskusikan dengan Yang Mulia Anna terlebih dahulu. Dengan kata lain, sekalipun bukan penyihir, tatapan semua orang tetap tertuju padanya.
Meski sama sekali tak memahami isi diskusi mereka, Moriel tetap yakin: Yang Mulia Anna yang berdiri di ketinggian memandang ke kejauhan sambil memegang peta dan memberi petunjuk pada yang lain dengan gerakan tangan, terlihat sangat gagah.
Terutama sepasang mata biru danau itu, cahaya yang terpancar saat fokus bekerja, persis seperti permata tanpa cacat.
Di hadapan sosok seperti ini, baik rekrutan maupun veteran pasti akan secara tak sadar melakukan ritual perhatian.
Moriel berpikir sejenak, akhirnya memilih tidak mengganggu Yang Mulia Anna. Sebagai gantinya, ia mengendalikan pelayan magis untuk menghindari kerumunan dan membongkar batang baja di area penyimpanan.
"Kamu pergi ke hutan lagi?" Begitu meletakkan jalur, Sha Wei menyembul dari balik tumpukan bata merah.
Moriel tiba-tiba merasakan peringatan aneh.
Ia menyapu pandangan ke tumpukan bata - benar saja, terlihat sebaran kartu remi yang familiar di tanah.
"Wah, bukankah ini Moriel kecil?" Andrea menyeringai.
Di sampingnya berdiri seorang penyihir perempuan yang tampak kebingungan, Maggie.
"Kalian berani bermalas-malasan main mahjong di sini!" teriak Moriel. "Kalau sampai ketahuan orang lain, bagaimana citra Sihir Tertidur kita? Aku akan lapor ke Nyonya Tili!"
"Me...mereka yang memaksaku datang," Maggie menunduk, kedua telapak tangannya saling menekan jari telunjuk.
"Siapa yang malas?" bantah Sha Wei. "Bata merah ini semua kubongkar dari kereta api. Tanpa aku, para pekerja masih sibuk membongkar muatan. Setelah kerja keras, istirahat sebentar masak disebut malas?"
"Ketahuilah bahwa bekerja sama pentingnya dengan teh sore, dan kemampuan untuk menangani keduanya dengan sisa tenaga adalah metode elegan dalam menghadapi urusan." Andrea membetulkan ujung rambut keemasan miliknya, "Apalagi dengan Maggie di sini, kami jamin tak ada yang bisa mendeteksi kita—lagipula, menyeret Nyonya Tili ke dalam masalah adalah hal yang mutlak tak boleh terjadi. Tenang saja soal itu. Ngomong-ngomong, mau bergabung dengan kami? Empat orang pasti lebih seru daripada permainan trio."
"Tentu saja tidak—" Moriel baru saja ingin menolak dengan tegas ketika suara alarm yang mendesak memotong ucapannya.
"Wu——wu——wu——"
Tiga kali bunyi pendek, menandakan deteksi kehadiran musuh!
Ia panik menatap ke arah timur laut, tapi di padang rumput tak berbatas yang terbentang, tak terlihat apapun selain tumpukan salju bernoda yang belum sepenuhnya mencair dan rumput liar.
"Yang mendeteksi musuh pastilah Sylvie atau kelompok Petir. Pada jarak sejauh itu, mustahil bagimu melihat jejak apapun dari sini," ingat Sha Wei.
"Sial—Yang Mulia Anna!" Moriel teringat Permaisuri Greycastle yang masih berada di garis depan rel kereta api. Berkali-kali ia mendengar kemampuan Anna sangat vital bagi Yang Mulia Roland dan Kota Tanpa Musim Dingin. Kalau begitu, bagaimanapun juga harus membawanya kembali dengan selamat.
Belum sempat berlari dua langkah, ia sudah ditangkap oleh Sha Wei.
"Yang Mulia Anna pasti sudah dikawal oleh pengawal, kamu pergi ke sana sekarang juga tidak bisa membantu apa-apa." Yang kedua menggelengkan kepala, "Bahkan dengan kecepatan iblis-iblis terbang, dari deteksi sampai kontak dengan musuh minimal ada waktu persiapan 10-15 menit, cukup untuk mereka bersembunyi. Menurut prinsip evakuasi, jika tidak ada tugas tempur yang diatur sebelumnya, hal pertama yang harus dilakukan saat menghadapi serangan mendadak adalah melindungi diri sendiri dulu, baru kemudian mendekati Angkatan Darat Pertama, Penyihir Hukuman Dewa Takira, atau unit tempur terdekat."
"Jadi kamu tidak perlu kemana-mana, fokus saja melindungi saya," Andrea yang sudah berdiri di atas tumpukan bata sambil menggendong tombak panjang tiba-tiba berbicara, "Sekarang giliran saya yang bekerja."
Seperti yang dikatakan Sha Wei, ketika Moriel juga memanjat tumpukan bata, area konstruksi yang luas itu sudah sepi seolah keriuhan sebelumnya tak pernah ada. Di dalam parit terlihat samar-samar kepala manusia yang bergerak, senjata api hitam legam terpasang berjajar, kereta berhenti beroperasi, membuat garis pertahanan tiba-tiba dipenuhi nuansa membunuh yang serius.
"Sylvie, kamu yang mendeteksi musuh?" Andrea mengeluarkan Segel Pendengaran dari pelukannya, "Berapa jumlahnya?"
"...Tidak, ini peringatan dari Petir," setelah beberapa saat, jawaban dari segel itu datang, "Sepertinya hanya empat Fearful Beast yang membawa Iblis liar, arahnya di sebelah kananmu, tidak ada tanda iblis tingkat tinggi."
"Cuma empat? Tampaknya ini cuma pertemuan kebetulan."
"Mungkin, tapi jangan lengah." Sylvie mengingatkan, "Lima menit lagi, kamu seharusnya bisa melihat mereka."
Satu keit kemudian, Iblis datang sesuai janji - empat sosok bayangan hitam terlihat sangat mencolok di bawah langit cerah. Demikian pula, mereka pasti telah melihat jalur rel kereta api yang muncul di dataran subur. Namun yang aneh, musuh tidak segera melancarkan serangan, malah berputar-putar di kejauhan.
"Apa yang membuat mereka ragu-ragu?" Sha Wei mengerutkan kening, "Ini tidak seperti gaya Iblis."
"Bisakah kamu mengenai mereka?" tanya Moriel.
"Tidak, jaraknya terlalu jauh," Andrea mengangkat bahu, "Bahkan jika semua koin dilemparkan, tak satu pun akan berdiri. Tentu saja, bukan berarti tidak ada metode lain--"
Moriel secara otomatis mengabaikan bagian yang tidak dia pahami, "Metode apa?"
"Misalnya... mengganti pistol berkaliber lebih besar." Dia tersenyum tipis sambil menunjuk ke tumpukan batu bata, "Bolehkah aku meminjam pelayan magismu?"
Baru saat itu Moriel menyadari, di sana ternyata terdapat senjata api dengan ukuran badan yang mengejutkan. Laras senjata saja panjangnya lebih dari satu meter. Seketika dia memahami maksud lawan bicaranya - hanya dengan kekuatan satu orang, mustahil untuk mengoperasikan senjata seberat ini.
"Apa... kamu membawa ini bahkan saat bermain mahjong?"
"Ini semua berkat Maggie," Andrea mengangkat tangan, "Dan membawa senjata yang mungkin diperlukan, hanyalah persyaratan dasar seorang prajurit."
Moriel tidak lagi berbicara. Dia mengangkat tangan untuk memanggil pelayan magis, meraih senjata api raksasa dan mengangkatnya di atas kepala, sementara Momota merendahkan tubuhnya membentuk bantalan empuk berbentuk elips.
"Sayang sekali tidak membawamu dalam operasi terakhir," kata Andrea sambil mencoba berbaring di atasnya, "Tempat duduk senjata ini jauh lebih nyaman daripada abu. Tinggikan bagian kepala sedikit, ya, sudut ini tepat."
"Bagaimana sekarang?" Moriel menyesuaikan bentuk pelayan magisnya.
"Sempurna. Omong-omong, bisakah kau mengecilkan lengannya? Cukup sampai seukuran jari."
"Itu bisa dilakukan... Tapi dengan begini dia tak bisa memegang benda berat."
"Tidak apa-apa, pertahankan seperti ini." Andrea memasukkan lengan pelayan yang menyusut ke dalam telinganya, lalu menggenggam gagang senjata, "Jangan lupa tutup telingamu juga!"
Begitu kata-katanya selesai, dia langsung menekan pelatuk.
Dentuman keras menggema dari moncong senjata!
Beberapa keit kemudian, seekor iblis berubah menjadi kabut darah di udara.
