Saat ledakan pertama bergema, Danny langsung melompat dari ranjang.
Disusul suara gemuruh bagai badai di atas kepala, sementara remah-remah tanah terus berjatuhan, seolah seluruh rumah akan runtuh.
“Apa... apa yang terjadi?”
“Gempa bumi?”
Rekan seperjuangan terbangun dari mimpi, ruang gelap gulita langsung kacau balau.
“Bukan! Ini serangan musuh!” Prajurit di dekat pintu meraih senapan, namun langsung ditahan Danny. “Apa yang kau lakukan?”
“Jangan gegabah! Serangan belum berakhir!” geram Danny.
“Benar, beberapa ledakan lagi terdengar dari kejauhan, disusul oleh rentetan dentuman meredam seperti hujan.”
“Hmm, harus mati, itu...”
Dalam debu beterbangan, seseorang menyalakan lilin. Saat cahaya lilin samar mengusir kegelapan, yang lain serentak menarik napas lega.
Tampak banyak jarum hitam panjang nan tajam mencuat di atap yang melengkung, dalam sorot api yang berkedip-kedip, persis seperti bulu kuduk yang meremang.
“Laba-laba iblis...” kata seseorang yang ditahan Danny sambil menelan ludah. Sebagian besar anggota penembak presisi pernah ikut ekspedisi jarak jauh pertama, tak asing dengan musuh semacam ini. Jelas terpikir olehnya, bagaimana akibatnya jika tadi sembarangan lari dari rumah dan menghadapi tirai duri itu.
“Kalau bisa pulang hidup-hidup, pasti kubeli dua kaki kambing dan kudatangi Nona Lian untuk berterima kasih,” ujar yang lain sambil menampar dada.
Sesuai kebiasaan strategi tempur, markas sementara biasanya tenda, tapi kali ini diganti rumah tanah yang dibangun penyihir perempuan – meski tak tahu apakah pertimbangan pihak atasan, namun tak diragukan langkah ini jadi faktor kunci. Andaikata masih pakai tenda kain, mungkin mereka sudah bolong-bolong.
“Jangan ucapkan kata sial begitu, aku masih ingin pulang untuk menikah.”
“Dasar kau, cuma ingin mencoba akrab dengan Nona Lian saja kan!”
“Ngawur, kalau mau akrab ya dengan malaikat kecil Na Nava dong.”
Meski nyaris mati tadi, tak ada seorang pun yang terpengaruh oleh serangan mendadak ini. Meski mulut terus berbicara, senjata dan peluru sudah siap di badan.
Jelas mereka semua mengerti satu logika.
Kematian tak bisa dihindari. Entah sudah datang, atau belum tiba. Selama masih bisa merenungkannya, artinya belum saatnya mati. Daripada takut, lebih baik bertindak—contohnya membunuh musuh.
Saat perkemahan mulai ramai, Danny membuka pintu kamar barak dan merunduk keluar dari rumah tanah.
Di depan pintu kamar sudah ada beberapa pengawas yang tertusuk, nafasnya hilang. Saat ini suara ada di mana-mana—teriakan manusia, tembakan, ledakan, dan raungan iblis. Tak ada yang tahu di mana dan berapa jumlah musuh. Menara pengawas penunjuk arah pun tak menyala, seolah musuh muncul sekejap mata di perkemahan.
Ia langsung memanjat atap, menunggu sebentar lalu lari ke area dengan dentuman senjata paling jarang, mengabaikan teriakan satu tim di belakang.
"Kukira kau akan ke tempat paling ramai."
Suara Malt terdengar berbisik di telinganya.
Inilah alasan ia menyukai pertempangan.
Hanya dalam mesiu, partner-nya akan muncul lagi di sisinya.
“Itu artinya kita unggul, tambahanku hanya bonus saja,” jawab Danny, “sementara dentuman senjata yang terputus-putus berarti seseorang terjebak dalam pertarungan sengit, peluruku bisa menjadi penyelamat.”
“Sudah kukatakan, itu bukan salahmu - kau tak bisa menyelamatkan setiap orang di medan perang.”
“Tapi setidaknya aku bisa menyelamatkan setiap orang yang kulihat.” Ia tersenyum, “Jangan khawatir, kurasa ini baik, membantuku melihatmu lebih jelas.”
Danny memiringkan kepala, benar saja wajah familiar itu muncul dari kegelapan, mengikuti larinya.
Mendekati zona konflik, ia mencari titik tinggi strategis - naik ke tumpukan peti besi. Pandangannya tiba-tiba tercerahkan, menyadari posisinya dekat basis pertahanan meriam benteng, di mana beberapa Iblis sedang memanfaatkan bunker persembunyian untuk bertarung dengan pasukan artileri. Tanpa senjata berat, pasukan artileri jelas tak unggul, tak bisa mengintimidasi musuh maupun merebut posisi di bawah hujan tombak.
Sepanjang jalan dari kamar barak ke artileri, beberapa orang tertembus tombak tulang, tergeletak di genangan darah.
“Bagaimana mereka bisa sampai di sini?”
“Tak tahu, tapi hari baik mereka hampir berakhir.” Danny mengangkat tombak panjang, mengarahkannya ke Iblis yang menyelinap mengitari kamar barak dari samping. Jika berhasil, dipastikan akan terjadi angin busuk dan hujan darah. Sang Iblis sama sekali tak sadar moncong senjata telah mengincarnya, seluruh tubuhnya terbuka lebar di lensa bidik.
"Tanpa ragu-ragu dia menarik pelatuk, kabut merah langsung menyembur dari tengkuk lawannya yang terjatuh dari atap."
"Bahkan hanya diterangi sinar bulan, dia takkan meleset dari jarak ratusan meter sekalipun."
"Bagus sekali. Perhatikan sebelah kiri, ada yang mau bergerak."
Tampak lima enam prajurit berjongkok di sudut tembok, perlahan menggeser diri ke tepi. Dari sikap mereka sepertinya berencana nekat menerobos lemparan tombak musuh untuk masuk ke basis pertahanan.
"Keberanian patut diacungi jempol, tapi tekniknya nol besar. Tanpa tembakan perlindungan, kalian mustahil bisa mengalahkan lemparan tombak." Sudut mulut Danny naik sedikit, "Jadi bagaimana kalau kita tunggu dulu?"
Tiga peluru ditembakkannya cepat-cepat ke dekat kaki para prajurit - debu yang tiba-tiba beterbangan dan desisan peluru membuat mereka kaget, langkah yang baru saja diayunkan langsung ditarik kembali.
"Kau akan dicaci-maki habis-habisan nanti," Malt mengungkapkan kekhawatiran.
"Hahaha," Danny akhirnya tertawa lebar, "Mereka harus punya nyawa dulu baru bisa memaki." Dengan gesitnya ia memutar moncong senjata, menembaki satu per satu iblis liar yang berani menampakkan diri. Musuh yang semula hendak menyerbu markas kini sepenuhnya diintimidasi, tak berani lagi muncul sembarangan.
Tiba-tiba, desisan benda melesat kembali terdengar dari udara.
"Awas, lihat sana!"
Mengikuti peringatan Malt, beberapa sosok bayangan hitam jatuh dari langit menukik tepat ke tengah basis pertahanan.
"Braak! Braak! Braak!"
Dentuman tabrakannya begitu keras hingga membuat tanah bergetar kecil.
"Dengan sinar bulan, Danny terkejut mendeteksi beberapa pilar batu hitam raksasa! Setelah mendarat, kabut merah berlapis-lapis menyembur dari sekeliling pilar, disertai desisan seperti kebocoran uap, agak mirip dengan mesin uap Yang Mulia Kaisar."
"Tapi ia segera menyadari itu bukan mesin sama sekali."
"Tiga lempengan batu terkelupas dari silinder tebal itu dan runtuh dengan gemuruh, menyemburkan genangan 'darah' besar - bagian dalam pilar terbagi tiga, setiap bagian ternyata berisi seekor Iblis! Mereka terbungkus kapsul hidup bagaikan bayi dalam rahim induk. Saat cairan merah darah mengalir keluar, mereka pun bangun sambil memperlihatkan taring mengerikan."
"Namun sebelum musuh sempat keluar dari pilar batu hitam, sebuah peluru telah menembus kepala salah satu Iblis liar dengan presisi."
"Puuut!"
"Sasaran terhuyung beberapa kali lalu lemas roboh di dalam pilar."
"Inikah alasan kalian tiba-tiba muncul di sini?" dengus Danny sambil dengan gesit memasukkan peluru berikutnya, "Kalau belum juga sadar, tidurlah selamanya. Berapa pun jumlahnya, akan kuantarkan kalian satu per satu - perhatikan baik-baik, Malt!"
