“Kurasa... kita harus pergi.” Setelah lama terdiam, Simbad bergumam.
Tempat ini dipenuhi keanehan di mana-mana, semakin lama tinggal semakin terasa tekanan, bahkan saat berada di dasar laut pun tidak pernah merasa sesakit ini.
Baik cahaya lembut di bawah kaki maupun lampu minyak di tangan, hanya bisa menerangi radius sepuluh langkah sekitar mereka. Lebih jauh dari itu hanya kegelapan pekat - bagi Simbad, cahaya ini bukan memberi kenyamanan, malah menjadi pertanda bahaya. Ini berarti mereka sepenuhnya terekspos di tempat terbuka, sementara ancaman dalam kegelapan sama sekali tak diketahui.
Faktanya hingga saat ini, mereka berdua belum melihat batas sebenarnya dari gua ini.
"Pergi?" Suara Rex sedikit gemetar, "Apa yang kau katakan... Aku bersumpah, ini pasti pemandangan langka yang bahkan Yang Mulia Thunder belum pernah lihat. Peninggalan kuno? Tidak... Ini jelas sebuah reruntuhan!"
"Reruntuhan tidak akan lari, bisa dikunjungi lagi nanti," Simbad berusaha keras membujuk, "Asistenmu, juga Perkumpulan Barang Ajaib... semuanya menunggu kabar baikmu di luar."
Begitu mendengar Perkumpulan Barang Ajaib, Rex seketika menjadi lebih tenang, "Kau... kau benar, aku harus membawa kabar baik ini pulang dulu, berbagi dengan semua orang."
"Kalau begitu segera berangkat."
"Tung... tunggu, sudah susah payah sampai sini, tak mungkin pulang dengan tangan hampa." Ia mengeluarkan pisau dari pinggang dan mulai mengukir sebuah batu prasasti, "Tenang, ini tidak butuh waktu lama. Kau juga ambil beberapa barang untuk dimasukkan ke kantong, setidaknya sebagai buti bahwa kita benar-benar menemukan sesuatu."
“Dalam keadaan pasrah, Simbad pun memilih menuruti. Bagaimanapun, secara hakikat pria ini adalah majikannya. Karena telah menerima tugas senilai 20 naga emas, sudah semestinya ia menanggung risiko yang ada.”
“Mungkin tempat ini hanya terlihat aneh saja,” hatinya berusaha menghibur diri, “Memang agak terlalu gelap di sekeliling, tapi bisa jadi sebenarnya tak ada apa-apa.”
“Cretak, cretak, cretak——”
Setiap kali Rex mengayunkan pisaunya, terdengar dengungan keras seperti benturan logam yang menggema di dalam gua sunyi, menusuk telinga.
Simbad juga memperhatikan, setiap pisau menembus batu nisan, cahaya di titik kontak langsung berpendar lebih terang bahkan sampai menyilaukan.
Ia menggelengkan kepala, memaksa fokusnya kembali.
Di saat seperti ini, Simbad benar-benar tak punya mood untuk mengerahkan tenaga memotong prasasti. Di antara tumpukan batu tembok yang berantakan, tersebar beberapa alat batu aneh yang mungkin ditinggalkan para pengangkut, namun lapuk dimakan waktu hingga berubah wujud. Asal comot beberapa buah ia selipkan ke tas pinggang, dengan begitu bisa dibilang sudah menyelesaikan tugas yang diberikan.
“Cretak, cretak, cretak——”
Orang Fjord itu masih asyik memahat batu nisan, di tangannya sudah terkumpul lima enam pecahan batu seukuran kuku.
“Hei, kayaknya segini sudah cukup...” Saat Simbad hendak mendesaknya lagi, telinganya menangkap nada sumbang yang tiba-tiba muncul.
"Gesek, gesek, gesek... suara serupa namun lebih halus, seolah beberapa Rex sedang mengukir prasasti..."
Ini... gema?
Tidak! Ia menyadari posisi mereka tak berubah, bagaimana mungkin sebelumnya tak ada suara, kini tiba-tiba muncul gema?
"Rex."
"Sebentar lagi, ini batu terakhir."
"Hentikan dulu..."
"Berikan aku setengah keit—"
"Hentikan sekarang!" Geramnya hampir seperti auman.
Rex tertegun, pisau terhenti di tengah hampa, denting nyaring tiba-tiba terputus.
Tapi gesekan halus masih terdengar, semakin mendekat.
Rex pun menyadari bahaya, sambil memasukkan batu ke sakunya ia menengok ke kiri-kanan, "Apa itu?"
Di kejauhan, cahaya putih berkedip bergantian.
Dalam pantulan cahaya, Simbad melihat sang pengunjung – seekor kalajengking gurun dewasa. Capitnya sebesar lengan, ekor berduri setinggi pinggang dengan ujung hijau berkilauan yang jelas penuh racun. Satu tusukan saja, tanpa penawar racun, manusia hanya bisa bertahan setengah keit.
Sial, pasti suara pahatan membangunkannya! Dengan gigih ia mengangkat pedang pinggang di depan dada, "Mundur perlahan, janganalihkan pandangan darinya."
"Bagi pendekar Mojin yang luar biasa, kalajengking gurun bukanlah lawan yang sulit diatasi. Kecerdasannya rendah, kecepatannya tidak terlalu cepat, jarum beracun yang menjadi senjata serangan paling mengancam sekaligus titik lemahnya. Asalkan sekali tusukan meleset, pedang pinggang yang tajam bisa memotong kait ekornya menjadi dua bagian."
"Masalahnya adalah, dari segala aspek, dia sama sekali tidak layak disebut sebagai pendekar yang luar biasa."
"Meskipun sejak kecil telah menerima pelatihan terkait, dia belum pernah mengikuti perburuan kelompok maupun benar-benar bertarung melawan kalajengking gurun."
"Tidak ada pilihan selain mencoba."
"Setelah Rex sepenuhnya menghilang di belakangnya, barulah dia berbisik pelan, 'Sekarang lihat ke bawah, apapun yang terjadi jangan bergerak sembarangan.'"
"Aku... aku mengerti."
"Setelah mendapat jawaban, Simbad juga memiringkan badannya."
"Persis ketika tatapan melepaskan kontak, kalajengking gurun melancarkan serangan - meski tak terlihat, suara gesekan yang terdengar sengal-sengal menunjukkan bahwa musuh sedang mendekat dengan cepat ke arahnya."
"Inilah kebiasaan kalajengking gurun, suka mencari celah saat konfrontasi. Begitu mendeteksi kelemahan perhatian mangsa yang terpecah, mereka akan segera menyerang."
"Berdiam diri!"
"Simbad sedikit membungkukkan pinggangnya, meletakkan pedang di sebelah kiri, tangan kanan dengan lembut memegang gagang pedang. Inilah gerakan pembuka penghunusan pedang khas orang pasir - sekilas tampak tidak menghadapi musuh, namun seluruh area sisi kanan tubuh berada dalam radius tebasan mata pedang!"
"Ketika suara merayap kalajengking gurun hampir terdengar di samping telinganya, dia tiba-tiba bergerak menyamping selangkah, lalu menghunus pedang dan melancarkan serangan!"
Sebuah cahaya redup melintas.
Sebelum pandangan sempat kembali normal, tangannya sudah merasakan hambatan samar.
Sensasinya seperti pisau mengiris alang-alang berongga.
Dengan suara retakan, kait ekor kalajengking gurun yang tertancap di batu nisan terbelah dua.
Simbad membalikkan mata pisau dan langsung menusukkannya ke celah cangkang di belakang kepala kalajengking.
Kaki tambahan sang target bergerak lemah sebelum akhirnya lunglai.
"Luar biasa..." Rex menghela napas lega, "Pantaslah orang pasir Mojin yang hidup dari perburuan..."
"Belum selesai!" Simbad memotong, "Suara tadi tidak seperti dari seekor kalajengking gurun!" Di mana? Dari mana musuh akan muncul? Matanya awas menyapu sekeliling - area ini dipenuhi batu nisan, seharusnya ada cahaya dari segala arah!
Tapi sekitar hanya gelap gulita.
Kecuali di atas kepala.
Sial! Ia baru menyadari kelalaiannya, cahaya lembut di kegelapan memang sangat mencolok, tetapi cahaya baru di area yang sudah terang mudah terlewat.
Saat Simbad mendongak, sosok bayangan hitam sudah menerjang turun.
Targetnya adalah orang Fjord di belakangnya!
Terburu-buru, satu-satunya yang bisa dilakukannya adalah menendang Rex hingga terlempar.
Kalajengking gurun itu hampir menyentuh tubuh yang kedua saat mendarat.
Berkat naluri latihan bertahun-tahun, Simbad langsung menebaskan pisau tanpa melihat, membelah kepala kalajengking menjadi dua.
"Huu," dia menghela napas panjang, "Untung masih sempat... Hei, kamu baik-baik saja?"
"Hmm... Aku... mungkin..."
Namun sebelum mendengar jawaban lengkap, suara gesekan semakin banyak terdengar dari balik tembok. Awalnya masih ada interval, tapi setelah beberapa sekejap napas menjadi padat layaknya gelombang, disertai dengungan berat yang sepertinya berasal dari raksasa yang merayap mendekat.
Keduanya saling memandang, ekspresi wajah langsung berubah pucat pasi.
"Lari, cepat lari!" Simbad menyambar Rex yang masih tertegun, berbalik tubuh langsung berlari ke mulut gua.
Sesaat kemudian, cahaya menyilaukan mekar dari belakang, memantulkan seluruh lubang menjadi terang-benderang!
Dalam pancaran cahaya yang semakin terang ini, Simbad melihat seekor kalajengking gurun berukuran mengejutkan. Matanya saja sebesar piring, cangkangnya kasar dan tebal seperti karang. Ciri-ciri ini tak diragukan lagi menunjukkan status sang pendatang——salah satu kurban Tiga Dewa yang legendaris, Kalajengking Besi Berzirah Penguasa Bumi!
Di bawah tekanan tubuh besarnya, tembok batu prasasti menjadi putih menyilaukan, bahkan membuat mata sulit terbuka.
Begitu rupanya.
Simbad akhirnya mengerti mengapa rumput hijau bisa tumbuh subur di dalam lubang gua meski tidak ada cahaya; serta dari mana asal cahaya yang kadang terlihat di lubang laut setelah matahari terbenam.
Kalajengking Besi Berzirah ternyata menjadikan tempat ini sebagai sarangnya.
