Perayaan hanya berlangsung sebentar, medan pertempuran kembali sibuk.
Menyelamatkan korban, menghitung hasil pertempuran, membangun rel kereta api, membersihkan medan perang... Semua ini adalah hal yang mendesak.
Markas komando sangat memahami bahwa kemenangan dalam pertempuran besar ini bukanlah akhir dari Operasi Obor. Meskipun berdasarkan sisa pasukan Iblis, kemungkinan besar mereka tidak bisa lagi melancarkan serangan berskala seperti ini, penaklukan Takira hampir pasti. Namun sebelum mencapai tahap akhir, tak seorang pun berani lengah. Apalagi Sang Pembasmi Iblis masih hidup - jika ancaman ini tidak sepenuhnya dihilangkan, target tidak bisa dianggap tercapai secara sempurna.
Manusia memang layak merayakan, tapi itu harus menunggu sampai bendera Greycastle tertancap di titik tertinggi reruntuhan, dan pasukan kembali dengan selamat ke Kota Tanpa Musim Dingin.
Setelah diskusi, petinggi front persatuan mencapai konsensus: Setelah musnahnya Iblis dalam pertempuran ini, jumlah musuh di reruntuhan Kota Suci seharusnya di bawah lima ratus. Dari segi keseimbangan kekuatan, ini berarti lawan sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mengancam Angkatan Darat Pertama secara frontal.
Dibandingkan dengan pergerakan bertahap sebelumnya, yang perlu dipertimbangkan sekarang adalah mencegah Sang Pembasmi Iblis melarikan diri - Pembangunan pos Takira Nomor 10 bisa diperlambat agar tidak membuat lawan terlalu cepat kehilangan semangat bertarung. Penghadangan juga harus segera dilaksanakan, karena bahkan tanpa pengintaian Sylvie, basis pertahanan Angkatan Darat Pertama sekarang kecil kemungkinan mengalami serangan mendadak.
Untuk menghindari situasi mencurigakan yang mungkin timbul, setelah sehari beristirahat, Angkatan Darat Pertama kembali melancarkan tembakan meriam ke Iblis. Namun kali ini, mereka berubah menjadi pihak penyerang.
Menghadapi peluru yang menderu datang, satu-satunya yang bisa dilakukan lawan adalah mundur selangkah demi selangkah, menyerahkan parit demi parit, dan sepenuhnya mundur ke reruntuhan Takira.
Hanya Sang Pembasmi Iblis yang masih bisa mengancam garis pertahanan selama ini. Namun sebagai target pengawasan ketat, bahkan mendekati basis pertahanan saja sangat sulit baginya, apalagi menghentikan gerak maju Angkatan Darat Pertama.
Dengan serangan yang berulang kali gagal, frekuensi kemunculannya semakin berkurang.
Pada Hari Keempat pasca pertempuran besar, rel pendakian akhirnya mencapai lingkaran tembak sejauh 10 kilometer.
Setelah posisi meriam siap dibangun, Agatha, Filipina, dan sekitar seratus orang lainnya diundang oleh Kapak Besi ke depan meriam benteng yang berjajar rapi.
Karena jumlah artileri yang jauh tidak mencukupi, komandan batalion artileri Fanar khusus menyiapkan belasan tali rami yang diikatkan bersama tali api. Dengan demikian, mereka bisa "secara bersamaan" menembakkan tembakan pertama yang mengarah ke Kota Takira.
Yang Bangkit dari Takira, Pembalas Dendam yang akan memurnikan Takira... hingga pembangun Kota Suci baru di masa depan - setiap Penyihir Hukuman Dewa menyadari momen ini akan tercatat dalam sejarah. Entah mereka bisa bertahan hingga pasca Perang Makna Ilahi atau tidak, adegan hari ini akan tertanam dalam catatan sejarah.
“Aku harus meminta maaf pada Yang Mulia.” Filipina menggenggam tali, berbisik pelan pada Agatha, “400 tahun lalu, aku pernah mengejek cara Yang Mulia memperkerjakan orang biasa di belakang, mengatakan bahwa menyerahkan pekerjaan penting kepada mereka hanya akan membuat hasilnya berantakan.”
“Memang banyak yang berkata begitu saat itu,” Penyihir Es tersenyum, “Lalu sekarang?”
“Sekarang…” Sudut mulut Filipina melengkung, “Berjuang berdampingan dengan manusia biasa juga tidak buruk rasanya.”
“Bersiap——” Saat itu Fanar mengangkat bendera komando, “Tembak!”
Yang lain serentak menarik tali api, gemuruh seketika bergema di udara basis pertahanan – lebih dari selusin peluru melayang keluar, melesat melintasi dataran, beradu cepat menghujam ke reruntuhan Kota Suci.
Gelombang kejut dahsyat menyebar bersama ledakan-ledakan, menyapu sisa-sisa kota kuno peninggalan 400 tahun ini. Yang terkoyak oleh gelombang Qi dan serpihan batu, juga iblis-iblis yang bersembunyi di dalamnya.
……
“Dimulai.” Hill berbisik.
“Hmm.” Andrea menjawab dengan setengah hati, meski tak bisa melihat situasi Takira, dari suara ledakan berat yang bergema bisa terdengar jelas – getaran dan gemuruh tembakan meriam itu sangat berbeda, bahkan dari jarak tujuh delapan kilometer pun tetap terasa kekuatan fisik yang terkandung di dalamnya.
Sulit dibayangkan, seperti apa perasaan para iblis yang dibombardir meriam benteng sepanjang malam di dalam hati mereka.
“Ini hari kelima, ya?” Maggie bergumam, “Hari ini apakah Pembasmi Iblis akan datang?”
“Siapa yang tahu.” Hui Jin mengangkat bahu.
“Pengin sekali kembali ke Tanpa Musim Dingin untuk makan hotpot dan pangsit goreng.”
“Grr.”
Sebelum ucapannya benar-benar reda, suara gemericik usus bergema di antara yang lain.
“Tentu saja daging panggang di lempeng besi juga enak, kalau bisa ditambah roti es krim tentu lebih baik—hm—”
Hui Jin menyekapkan sepotong bekal kering ke mulut Maggie, “Kalau merasa lapar, makanlah ini. Rasanya mungkin tidak enak, tapi setidaknya bisa mengisi perut.”
“Selain itu jangan lupa, kita masih dalam misi,” Camira Dery menambahkan, “Masalah makanan enak bisa dipikirkan setelah pulang. Sekarang fokuslah dan lakukan tanggung jawab kalian dengan serius.”
Birokrat ini tetap terlalu kaku. Tadi tenggorokannya jelas bergerak juga. Andrea menggelengkan kepala dalam hati, mengalihkan perhatiannya kembali ke arah Takira.
Saat Angkatan Darat Pertama beralih dari bertahan ke menyerang, tim khusus juga meninggalkan perkemahan sesuai rencana, mengitari reruntuhan Takira, lalu menyamar di sebuah hutan sebelah barat jalur suplai. Karena tidak dapat memastikan niat dan waktu mundurnya Pembasmi Iblis, mereka hanya bisa menunggu dengan sabar di sini untuk menyambut kesempatan yang datang.
Meskipun bertahan hidup di alam liar tidak terlalu sulit bagi para penyihir perempuan, mengingat masih ada Fearful Beast yang berkeliaran di udara, mereka bahkan tidak bisa menyalakan api untuk memanggang hidangan liar langka, apalagi mendirikan tenda untuk melindungi diri dari terik matahari dan hujan. Setiap malam kami semua tidur di pepohonan dengan tubuh terbungkus kain tebal, ketika lapar hanya mengunyah beberapa kue gandum, tentu saja tidak bisa disebut nyaman.
Sejujurnya, saat mendengar ucapan Maggie tadi, Andrea juga tiba-tiba merasakan kerinduan mendalam pada Kota Tanpa Musim Dingin. Ketika pertama kali mengikuti Tili pindah dari Pulau Tertidur ke kota ini, dia mengira ini hanya tempat persinggahan baru semata, istilah "rumah para penyihir" hanyalah kebohongan penguasa. Jika suatu hari Tili memutuskan pergi, Andrea yakin akan mengikutinya tanpa ragu-ragu. Namun kini, menghadapi pertanyaan ini, Andrea mulai ragu...
Ranjang besar yang empuk, hidangan lezat dengan variasi tak terbatas, air dingin-panas yang mengalir otomatis, sistem pemanas yang memungkinkan bertelanjang kaki di musim dingin - meski pernah menjadi anggota keluarga Bangsawan Quinn, Andrea belum pernah menikmati kehidupan senyaman ini. Ini bukan sekadar kemewahan yang dibangun dari tumpukan naga emas, melainkan perpaduan sempurna antara kecanggihan dan keunikan. Memikirkan harus berpisah dengan semua ini, Andrea menyadari betapa sulitnya mengambil keputusan.
Untungnya hubungan baik antara Tili dan Roland membuatnya tidak perlu memikirkan masalah pilihan ini untuk sementara waktu.
"Setelah menyelesaikan masalah Pembasmi Iblis, aku harus meminta Yang Mulia Roland memberikan penghargaan layak," gumam Andrea dalam hati.
"Hasil ideal adalah target bertahan mati-matian di Takira, dihancurkan menjadi serpihan oleh artileri. Opsi kedua adalah mereka kabur tanpa menyadari keberadaan pasukan penghadang, terbunuh seketika oleh peluru hukuman dewa di udara. Skenario terburuk adalah lawan sudah mengantisipasi kemampuan penghadang presisi jarak jauh kita, menghindar dengan terbang menyentuh tanah dan terus mengubah arah - dalam situasi itu hanya Burung Camar Nomor Satu yang bisa menghalangi."
"Tapi di hati, Lia kurang yakin dengan dua skenario pertama. Dalam pertempuran malam lima hari lalu, Pembasmi Iblis pernah mendekati basis pertahanan dari Takira, tapi terus bergerak tak terduga selama pergerakannya, tak memberi kesempatan baginya untuk menyerang. Apakah ini kebetulan, atau upaya khusus mereka untuk waspada terhadapku?"
"Auuuooooohhh——"
Tiba-tiba, teriakan aneh menggema di telinga semua orang.
"Ada apa?" Abu bertanya.
"Sebuah peluru mengenai kerangka raksasa!" teriak Sylvie. "Punggungnya meledak membentuk lubang besar! Astaga, benda itu... sedang meraung!"
"Apa dia juga bisa merasakan sakit? Dari penampilannya, kupikir itu cuma benda mati yang hanya punya rak."
"Bagian yang tertembak menyembur kabut merah, seperti... darah." Sylvie menatap ke arah tenggara dengan ekspresi tegang. "Pembasmi Iblis juga bergerak. Dia sedang menyerbu basis pertahanan kita!"
"Andai ada yang bisa menembaknya sekali langsung mati," Andrea mengangkat tangan.
“Tunggu……Tidak, Pembasmi Iblis berbalik arah di tengah penerbangan!” Sylvie mengerutkan alis setelah mengobservasi sejenak, “Apa yang terjadi? Kerangka tampak mundur! Ada iblis mencoba menghalangi, tapi diinjak jadi bubur – reruntuhan sudah kacau balau, mereka ini……”
Setelah lama, barulah ia berkata dengan nada tak pasti, “Iblis-iblis sedang saling bunuh?”
Andrea dan Abu saling pandang. Dari segala aspek, ini adalah pertanda kekalahan – apakah akhirnya musuh tak mampu menanggung tekanan, sepenuhnya kehilangan keinginan bertarung?
Perkataan Sylvie segera membuktikan dugaan ini.
“Pembasmi Iblis melarikan diri dari Takira!”
