"Yang Mulia, Yang Mulia... Yang Mulia?" Suara Misan Xing menyadarkan Roland dari keterkejutannya.
"Eh..." Ia menggosok dahinya yang sedikit perih, "Apakah hanya ahli nujum yang mengetahui hal-hal ini?"
“Semua pengamatan dilakukan oleh orang yang memiliki nama bintang, sedangkan para magang dan murid Akademi Aritmatika... tidak mengetahui apa-apa.” Sarjana tua itu kembali berlutut.
Roland dalam hati mengangguk, pantas saja saat pertama masuk, para ahli nujum di luar terlihat seperti sedang menyampaikan ucapan terakhir. Jika bisa membayangkan retaknya kepercayaan, wajar juga jika muncul dugaan bahwa pangeran akan melenyapkan semua yang tak sengaja mengetahui kebenaran untuk mempertahankan status quo. Bagaimanapun, di masa lalu, tujuan sebenarnya pembentukan komunitas astrologi dan kabar tentang Bintang Penghancur Dunia memang hanya rahasia yang layak diketahui oleh penerus kerajaan.
Sungguh sesuai dengan reputasi mereka yang lama tinggal di ibu kota kerajaan dan mahir politik istana. Roland bingung apakah harus menyalahkan paranoia berlebihan mereka atau memuji loyalitas mereka yang tetap melapor meski tahu risikonya. Ia menggelengkan kepala pasrah, "Kalian bekerja dengan baik. Kesimpulan ini sementara jangan diungkapkan, lanjutkan pekerjaan kalian - maksudku di Akademi Aritmatika, bukan observasi bintang. Menyelesaikan masalah Kota Tanpa Musim Dingin yang nyata lebih penting daripada meneliti sesuatu yang tidak ada."
Setelah berkata demikian, ia tak berlama-lama lagi. Roland berbalik dan membuka pintu meninggalkan loteng, menyisakan sarjana tua yang masih tertegun di tempatnya.
"Kembali ke kastil," perintah Roland dengan suara berat.
Dibandingkan kedatangan yang terburu-buru, kepulangannya bahkan lebih cepat, hampir mirip berlari kecil.
"Menurutmu apakah ahli nujum itu berkata benar?" Nightingale yang selama ini mengikuti tak tahan lagi menampakkan wujudnya dan bertanya.
“Aku tidak tahu... Hanya tiba-tiba muncul beberapa pikiran,” Roland berbisik pelan, “Itu bukan bulan merah tapi tidak berarti dia tidak ada, mungkin itu sesuatu yang lain...”
“Sesuatu... lain?”
“Misalnya, sebuah lubang.”
Karena prasangka sebelumnya, ia tak pernah berpikir mendalam tentang bulan merah. Ukuran raksasanya hanya karena jaraknya yang dekat, seperti melihat Jupiter dari Io di mana planet itu hampir mengisi dua pertiga langit. Tapi kini terpikir, nenek moyang menyebutnya bulan hanya karena bentuknya bulat dan cahayanya tidak menyilaukan.
Jika benar-benar korosi, bisa saja bentuknya persegi atau poligonal.
Nada bicara Nightingale penuh kebingungan, “Maksudmu langit kita retak?”
“Mungkin lebih buruk dari itu, tapi aku harus memastikan dulu.”
“Bagaimana caranya?”
Roland menatapnya, “Lewat mimpi.”
……
Meski hari masih awal, tidak mengganggu niatnya masuk ke dunia mimpi. Kali ini ia tidak memberi pemberitahuan pada Penyihir Hukuman Dewa manapun, hanya ditemani Nightingale.
「Saat makna ilahi muncul di dunia, itulah waktu pertemuan yang dijanjikan.」
Roland terus mencari arti sebenarnya dari "makna ilahi". Baru pada detik ini ia tersadar, mungkin yang dimaksud bukan kejadian dalam mimpi, melainkan Waktu di dunia nyata.
"Jika benar demikian, berarti orang yang meninggalkan catatan itu tidak hanya memahami esensi mimpi, tetapi juga tahu bahwa di luar ini masih ada dunia nyata yang bisa dirasakan perubahannya dengan pasti - kedengarannya mungkin tak terbayangkan, namun saat Sarjana Ang menyatakan "Bulan Merah tidak ada", segala kebingungan dan kecurigaan yang selama ini mengambang di pikiran tiba-tiba tersambung layaknya tersambar kilatan listrik. Baik "Perang Makna Ilahi" yang didengar di Kota Prisma maupun buku mimpi tanpa nama itu, semuanya seakan membimbingnya ke arah ini."
"Paman, sarapannya mau..." Jieluo berdiri di depan wastafel sambil menggigit sikat gigi saat Roland membuka pintu kamar tidur.
"Tidak usah, kamu siapkan saja untuk dirimu sendiri!" teriak Roland tanpa menoleh. Ia menyambar jas yang tergeletak di sofa, bahkan tak sempat memakai sepatu, langsung keluar rumah hanya dengan sandal jepit.
Jalanan sudah ramai oleh lalu lalang orang. Kios youtiao dan kedai bakpao dikepung siswa dan pegawai, desisan minyak goreng bersahutan dengan teriakan penjaja, membentuk kemeriahan singkat Kawasan Tongzi yang riuh rendah.
Satu-satunya pengecualian adalah Kafe Mawar.
Dari papan nama hingga desain pintu, kafe ini terlihat asing di antara deretan kios sekitar, bagai anak muda neko-neko dengan gaya non-mainstream. Saat Roland mengeluarkan kunci untuk membuka pintu, ia masih menangkap tatapan aneh dari pedagang seberang yang memandangnya seperti orang bodoh.
Ia menarik napas dalam-dalam, membuka pintu dan masuk, langsung menuju ruang privat Nomor 302——mengapa hanya ada satu ruang privat di seluruh kafe, dan meskipun terletak di lantai satu disebut 302, semua detail ini sengaja diabaikannya sebagai hal-hal tidak penting.
Karena selama seminggu terakhir kejadian tak terduga di Kota Tanpa Musim Dingin terus bermunculan, Roland sama sekali tak sempat memperhatikan dunia mimpi. Saat ini, dengan tangan menggenggam gagang pintu, ia merasakan ketegangan langka yang tak biasa.
Pertanyaan seperti bagaimana lawan bisa masuk sebelum pintu kafe dibuka, sama sekali tak terpikir olehnya. Bisa memantulkan tulisan di gelas sampanye, pastilah memiliki kekuatan tak terbayangkan. Bahkan jika tiba-tiba muncul secara teleportasi di hadapannya, itu pun tak patut dikagetkan.
Roland menarik napas panjang dan memutar gagang pintu.
Ruangan itu kosong melompong.
Dalam "kotak tahu" kecil itu, selain meja rendah dan empat kursi, tak ada hiasan lain. Begitu pintu terbuka, semua sudut langsung terlihat, tak ada tempat untuk bersembunyi.
Perasaan kecewa menyergapnya. Perlahan ia duduk di samping meja.
Apakah… tebakanku salah?
Manusia bukan hantu, bagaimana mungkin bisa teleportasi ke sini. Mungkin lebih baik menunggu lagi.
Tapi keraguan lain mulai bermunculan.
Apakah si penulis catatan itu benar-benar tahu keberadaan kafe baru yang belum genap sebulan ini dan datang ke sini? Bagaimana jika lawan juga sedang menunggu di tempat yang dijanjikan?
"Atau mungkin kertas itu hanya lelucon, berpikir bahwa Kedatangan Makna Ilahi di dunia nyata tidak ada hubungannya dengan mimpi, sebenarnya juga bisa dimaklumi."
"Pada dasarnya, dia tidak memiliki buti konkret apa pun."
"Benar, perkara ini tidak akan mudah diketahui jawabannya."
"Tepat ketika Roland bangun hendak meninggalkan ruang privat, dentang indah bel angin berbunyi."
"Ding-dong..."
"Selamat dat——" Dia secara bawah sadar menyambut setengah jalan lalu terkejut, Penyihir Hukuman Dewa tidak ikut masuk ke mimpinya, Garcia juga tidak mungkin main-main mengunjungi kafenya, sekarang yang rela minum kopi harga langit seharusnya tidak ada satu pun! Roland yang sudah bereaksi membuka pintu dan melirik ke dalam toko, melihat siluet agak familiar muncul di pintu masuk.
"Dia pernah bertemu orang tersebut dua kali."
"Sekali di acara penerimaan pemula Kota Prisma."
"Sekali di gereja bayangan Kota Suci Lama Hermes."
"Hanya dua pertemuan, namun membuat Roland mengingat wajah itu dengan mendalam."
"Tak kusangka kau malah membuka Kafe Mawar sendiri, lagi pula di sudut paling pinggir begini. Hampir saja kukira, kau sama sekali tidak mendeteksi kertas itu.""
"Lan berkata."
