"Farina, sarapan sudah siap."
"Joe membawa sepiring roti dan sepotong kecil keju ke depan pintu kamar tidur, lalu mengetuk pintu."
"Sejak kemunculan bulan merah dua bulan ini, kehidupan mereka berdua bisa dibilang sangat sederhana. Setiap hari dia menyiapkan tiga kali makan sebelum berangkat ke kantor administrasi. Farina jarang keluar, kebanyakan waktu hanya diam di dalam kamar tanpa bergerak, sesekali menyuruhnya mencari kabar tentang Hermes. Hanya di saat-saat seperti inilah mereka bisa berbincang lebih lama."
"Joe tidak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan Farina, tapi bisa menemaninya saja sudah merupakan keberuntungan besar. Untuk sementara dia tidak berani mengharapkan lebih dari ini."
"Namun hari ini tidak ada suara sama sekali dari balik pintu."
"'Farina, kau sudah bangun?'"
"Dengan bingung, Joe mengetuk beberapa kali lagi."
"'Eh... sarapannya sudah siap.'"
"'Farina?'"
"Masih tidak ada jawaban, seolah kamar itu benar-benar kosong."
"Ekspresi wajah Joe berubah drastis. Tiba-tiba terpikir kemungkinan terburuk—"
"Sial! Bukannya keadaan sudah mulai membaik sedikit demi sedikit?"
"Dia meletakkan piring, lalu menubruk panel pintu dengan bahunya!"
"Dengan suara 'Braak!', pintu langsung terbuka."
"Pemandangan mengerikan yang paling ditakutkannya tidak muncul - tidak ada tali tergantung di balok langit-langit, juga tidak ada darah segar menggenang di tepi ranjang. Joe menghela napas lega. Selama orang itu masih hidup, segalanya masih bisa diperbaiki."
"Tapi kelegaan ini hanya bertahan sekejap napas sebelum hatinya tiba-tiba tenggelam dalam keputusasaan."
Perabot di kamar tidur kecil ini terlihat jelas, tidak ada bayangan Farina di dalamnya. Tempat tidur kayu, meja, dan jendela semuanya telah dirawat dengan hati-hati, terlihat sangat rapi.
——Serapi seperti kondisi saat mereka pertama kali pindah ke sini.
Joe berjalan perlahan ke meja yang sehari sebelumnya masih dipenuhi berbagai buku tentang gereja dan Koran Greycastle. Namun sekarang, permukaan meja telah kosong melompong.
Dia... pergi.
Saat dorongan ini mengalir deras ke dalam pikirannya, Joe merasakan kesedihan yang amat dalam.
Jelas ini bukan keputusan yang tiba-tiba dibuat Farina.
Bahkan debu di sudut meja telah dia bersihkan hingga mengkilap, tapi tak sepatah kata pun dia tinggalkan.
Apakah ini agar aku tak repot membersihkan sisa-sisa kepergiannya...
Joe duduk membeku di depan meja.
Ke mana dia pergi? Hermes? Kampung halamannya dulu? Atau mengakhiri nyawanya sendiri di hutan terpencil?
Tentu saja dia bisa mencarinya... Tapi di dunia yang begitu luas, berapa besar kesempatannya menemukan Farina? Apalagi dia sama sekali tidak meninggalkan informasi, jelas-jelas ingin menghilang. Sekalipun ditemukan, lalu apa?
Membayangkan kehidupan masa depan tanpa siluet perempuan itu, Joe merasa hatinya terkoyak kekosongan. Proses pikirannya terhenti, seolah otak menolak untuk melanjutkan imajinasi ini...
Pada akhirnya, dia tak bisa mengubah apapun.
"Selamat pagi, Joe."
"Mengapa tidak memperhatikan pertanda ini lebih awal? Mengapa merasa puas diri hanya karena kehidupan yang tenang?"
"Joe?"
"Pada dasarnya, semua ini hanyalah memenuhi keinginanku sendiri. Dia tidak pernah memikirkan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh orang tersebut -"
"Joe!"
Baru setelah sebuah tangan memalingkan wajah Joe, dia menyadari ada seseorang yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
"Apa yang kau gumamkan sendirian itu?"
Joe mengedipkan matanya.
Itu Farina.
Dia mengerutkan alis sambil mengamati Joe dari ujung ke ujung dengan tatapan penuh kecurigaan, "Kepalamu tidak bermasalah kan?"
"Kau... tidak pergi?" Joe memegang lengan Farina dengan tak percaya, "Atau kau memutuskan untuk tinggal lagi?"
"Ha?" Ekspresi Farina semakin aneh, tapi tidak melepaskan genggaman Joe, "Pergi kemana? Aku hanya pergi ke kantor administrasi."
Keduanya saling bersitegang beberapa saat sebelum Joe akhirnya canggung bertanya, "Lalu... untuk apa kau ke kantor administrasi?"
"Menanyakan syarat pendaftaran," nada bicara Farina menjadi serius, "Aku melihat pengumuman perekrutan sopir truk Kota Tanpa Musim Dingin di surat kabar mingguan, ingin mencoba."
"Tru... apa?" Joe tertegun.
"Aku juga tidak paham, tapi dari deskripsinya sepertinya mirip kereta kuda. Baik teknik berkuda maupun mengemudikan kereta, aku ahli. Jadi ini mungkin kesempatan."
Kesempatan? Perasaan ambigu itu kembali melayang di hati Joe. Untuk pertama kalinya dia tidak melepaskan genggamannya, "Mengapa tiba-tiba kau ingin mendaftar jadi sopir truk?"
"Farina diam sejenak sebelum berkata,"Setelah merenungkan beberapa waktu ini, aku akhirnya mengerti. Pertama, tujuan awal pendirian gereja memang untuk menyelamatkan dunia dari bahaya dan memimpin umat manusia keluar dari kegelapan. Ini bukan hanya propaganda sepihak gereja, Roland Wimbledon juga mengakui bahwa ini bukan omong kosong. Namun pengkhianatan dari instansi yang lebih tinggilah yang membuatnya mengambil jalan yang salah."
"Lalu..."
"Masalah selanjutnya adalah apakah Raja Benteng Abu-abu benar-benar berjuang untuk umat manusia seperti yang diklaimnya. Di Kota Tanpa Musim Dingin, aku telah melihat bulan merah yang melambangkan makna ilahi, rakyat wilayah yang sejahtera, dan penyihir perempuan yang tak berbeda dengan orang biasa. Semua ini sesuai dengan propaganda yang beredar. Satu-satunya yang belum terbukti adalah keberadaan iblis yang berusaha menghancurkan umat manusia."
"Tapi Yang Mulia Tuck Thor benar-benar menyebutkan keberadaan iblis dalam surat wasiatnya," gumam Joe.
"Benar. Hanya saja aku belum melihat langsung. Pasukan Roland sedang bertempur melawan musuh dari neraka ini," Farina mengangguk. "Aku tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Hanya dengan melihat sendiri, aku bisa memastikannya."
"Apa kau ingin pergi ke Hati Serigala?" Mata Joe membelalak.
"Ya," jawab Farina tegas. "Dengan latar belakang gerejaku, aku tak bisa melewati verifikasi Angkatan Darat Pertama. Jadi harus mencari cara lain. Pengemudi truk perlu mengangkut logistik ke garis depan medan perang. Di sanalah segalanya akan terbukti."
Karena itulah dia mendatangi kantor administrasi untuk menanyakan syarat status pengemudi...
“Apa yang akan terjadi jika terbukti benar, dan apa jika tidak?” tanya Joe dengan waspada.
“Jika semua itu benar, aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk menebus segala dosa yang pernah kuperbuat,” jawab Farina tanpa ragu-ragu, jelas telah memikirkannya matang-matang. “Meski tak pernah langsung menangkap penyihir perempuan, bukan berarti segala yang dilakukan gereja di masa lalu lepas dariku - sebagai anggota tentara Pengadilan, aku juga bagian dari cakar dan gigi para Pengkhianat.” Dia berhenti sejenak, “Jika semua ini ternyata tipuan, maka aku akan kembali ke Hermes, melihat apa yang bisa kubantu untuk gereja baru...”
Inilah jawaban yang ia dapatkan setelah tenggelam dalam perenungan selama ini.
Joe perlahan melepaskan pegangan. Sama sekali tak ditemukannya alasan untuk mencegah. Tidak menghindar dari kesalahan masa lalu sekaligus tak mengabaikan wasiat terakhir Tuck Thor, ia membangun jalan masa depan di atas dasar yang kokoh. Perempuan ini lebih kuat dari yang dibayangkannya. Di saat seperti ini, selain dukungan diam-diam, segala alasan dan upaya menahan hanyalah akan menghancurkannya.
Tapi akhir cerita tetap tidak berubah.
Begitu menjadi pilot menuju Hati Serigala, tentu ia tak akan terus tinggal di sini. Karena itulah segala barang di kamar telah diisyaratkannya.
Farina... tetap akan pergi meninggalkannya.
“Aku...” Joe menarik napas dalam-dalam, takut tusukan di dasar hati tiba-tiba menyembur keluar dari tenggorokan.
“Omong-omong, ada satu permintaan lagi,” Farina menyela lebih dulu, “Sebuah truk butuh dua pilot. Kuharap kau mau ikut bersamaku.”
“Hah?” Dia tak bisa menahan diri terpaku.
“Sejujurnya, aku sudah terlalu lama terisolasi dari luar, benar-benar tak percaya diri bisa mewujudkan tujuan ini sendirian.” Dia agak malu mengalihkan pandangan, “Tapi kau boleh menolak... lagipula kau sudah memiliki pekerjaan stabil dengan perlakuan yang cukup baik. Aku tahu tak seharusnya mengajukan ini, hanya saja...”
“Hanya saja apa?” Joe bertanya secara refleks.
Farina terdiam sejenak sebelum menatapnya langsung, “Hanya saja aku membutuhkanmu.”
Ini adalah kalimat yang pernah terucap dari mulut Joe, dan pertama kalinya dia mendengar orang tersebut mengatakannya.
Yang dibutuhkan menjadi yang membutuhkan, sementara yang membutuhkan tetap menjadi yang dibutuhkan...kah? Kebingungan dan kekosongan menghilang, perasaan saling mengisi ini seketika memenuhi dadanya.
“Mari sarapan dulu, hampir dingin.” Joe menghela napas panjang.
“Hei...”
Sebenarnya pertanyaan ini sama sekali tak perlu ditujukan padanya.
Mengungsi ke Hati Serigala saja sudah dilalui, apalagi sekadar mengemudikan kereta mengikuti pasukan besar?
“Setelah makan, kita akan mendaftar bersama.” Katanya sambil tersenyum.
