Lelah tenggelam di laut tidur sebentar, bangun melanjutkan perjalanan; haus menengadah minum air hujan, lapar menangkap dua ikan untuk dimakan.
Joan sudah tidak tahu berapa lama dia hidup seperti ini.
Awalnya dia masih berusaha mencatat waktu berdasarkan perubahan siang-malam, tapi setelah terlewat satu dua kali, kesalahan hitungan membengkak dari hitungan hari menjadi minggu, lalu bulan... Sekarang dia pun tak tahu pasti sudah berapa lama berenang, tapi... setidaknya sudah sebagian besar tahun?
Memikirkan ini, Joan merasa sangat terzalimi sampai ingin menangis, faktanya dia sudah menangis berkali-kali, hanya saja air mata itu cepat larut dalam air laut, menjadi bagian dari samudra.
Lelah banget Yah.
Benar-benar lelah.
Saat tidur tidak bisa santai mengambang di permukaan laut, karena akan mengundang burung camar atau predator lain, meski tidak bisa memakannya, sekadar mematuk juga akan terasa sakit berhari-hari, apalagi masih ada risiko bertemu Hai Gui dan kapal monster itu.
Faktanya dalam sebagian besar tahun ini, Joan sudah beberapa kali bertemu musuh secara tak terduga.
Setiap kali dia merasa nyaris terlepas jiwanya.
Untung dia selalu bisa mengandalkan kecepatan untuk melepaskan diri dari orang tersebut, meski terkadang tanpa sengaja menambah dua atau tiga luka di tubuhnya.
Sisik naga yang pernah dipuji Yang Mulia Kaisar kini telah banyak yang rusak, kulit yang terbuka terlihat seperti bercak putih yang aneh. Karena terus-terusan terendam air, beberapa luka mulai menunjukkan tanda pembusukan. Yang lebih menyebalkan, parasit-parasit itu menjadikannya inang baru, menempelkan cangkang mereka di area lukanya sebagai rumah, setiap kali dicabut terasa sakit yang menusuk hati.
Tubuh ini memang dari dulu tidak cantik, sekarang malah terlihat semakin buruk rupa.
Dia sangat merindukan ranjang besar yang empuk di Kota Tanpa Musim Dingin dan pelukan Wendy.
Merindukan kehidupan bebas tanpa batasan yang tak perlu khawatir akan keselamatan diri.
Meski banyak ikan yang bisa dimakan di laut, semuanya harus dimakan mentah. Dulu hal seperti ini biasa saja, tapi sekarang mulutnya terus terasa bau amis yang tak hilang-hilang.
Dia ingin makan sayap ayam panggang petir.
Setiap memikirkannya, Joan akan menangis tersedu-sedu. Meski air mata terus mengalir, ayunan ekornya tak pernah berhenti.
Tapi... berapa lama lagi harus berenang sampai kembali ke titik awal Yah?
Kecepatannya jauh melampaui kebanyakan ikan.
Bahkan kapal Yukikaze milik Yang Mulia Kaisar pun tak mampu menyainginya.
Secara perhitungan kasar, jarak yang sudah dia tempuh seharusnya cukup untuk bolak-balik dari Tanpa Musim Dingin ke Kepulauan Bayangan lima kali. Tapi mengapa garis finish masih tak terlihat di depan?
"Dunia itu bulat", Yang Mulia... Jangan-jangan ini cuma tipuan belaka?
Jika Yang Mulia Roland benar-benar menipunya, suatu saat nanti ketika dia bisa melihatnya lagi, pasti harus... harus menggunakan sisik naga menggaruk mukanya!
Tapi, itu semua baru bisa dilakukan setelah bertemu dengannya...
Joan menarik napas dalam-dalam, memberi semangat pada diri sendiri, pantang menyerah yah! Dia ingin kembali ke sisi kami semua!
Rangkaian suara "Yah——Yah——Yah——" bergema di permukaan laut.
Satu keit kemudian, gema serupa terdengar dari kejauhan, "Yah——Yah——"
Joan terkejut, menatap tak percaya ke arah sumber suara——Cuaca hari ini kurang bagus, kabut tipis selalu menyelimuti laut dengan visibilitas di bawah beberapa kilometer, persis seperti Kepulauan Bayangan saat air surut. Tidak mendeteksi apa pun, dia berenang kencang ke arah itu selama beberapa puluh menit, akhirnya menangkap siluet hitam pekat dalam kabut air.
Bentuknya... seperti karang yang berdiri di atas permukaan air.
Hati Joan dipenuhi sukacita.
Dia tahu efek visual di laut sering menipu, objek yang terlihat kecil di dunia nyata adalah raksasa. Yang bisa berdiri di laut seperti karang pasti berukuran besar, ditambah kemampuan memantulkan lengkingannya, kemungkinan adalah pegunungan. Jika gunung sudah muncul, apakah daratan masih jauh?
Jangan-jangan yang dilihatnya adalah Pegunungan Jurang?
Joan tiba-tiba merasakan tenaga tak terbatas mengalir dalam tubuhnya. Dia memacu kecepatan hingga batas maksimal, mencipratkan air laut sambil melesat menuju sosok bayangan hitam.
Seiring jarak yang semakin dekat, siluet hitam pekat di balik kabut pun perlahan terbuka.
Itu memang sebuah gunung besar, namun di kaki gunung bukanlah Pelabuhan Wilayah Barat, melainkan sebuah pulau yang rata. Di belakang pulau itu tampak terhubung dengan benua yang lebih luas, hanya saja jarak antar keduanya terlalu jauh sehingga tidak terlihat jelas.
Bagaimanapun juga, lebih baik ada daratan daripada tidak sama sekali.
Joan mengumpulkan seluruh semangatnya, berenang menuju pantai terdekat di pulau tersebut.
Baru setelah naik ke tepi pantai ia menyadari, pulau ini mungkin lebih besar beberapa tingkat dibanding Kepulauan Api Membara terluas di Fjord. Selain gunung besar berpuncak datar yang hijau subur, hampir tidak ada kontur naik-turun, serata padang rumput.
Dan faktanya, ini memang sebuah padang rumput.
Dibandingkan pulau-pulau gersang dalam ingatan Joan, tempat ini seolah tidak terpengaruh sama sekali oleh angin laut yang asin dan berbagai syarat iklim ekstrem. Di bawah kakinya hanya ada rumput hijau setinggi pergelangan kaki, sesekali diselingi satu dua bunga kecil yang mekar. Ia tak bisa membayangkan, di wilayah yang bisa dihancurkan tsunami hingga segala vegetasi musnah, mengapa pemandangan seperti ini bisa ada. Ditambah kabut yang melingkari pulau, tempat ini memberi kesan seperti surga yang terisolasi dari dunia.
Mengubah sirip ekornya menjadi sepasang kaki, Joan perlahan berjalan menuju pusat pulau.
Perlahan, mulai bermunculan batu-batu prasasti di padang rumput. Awalnya ia tidak menghiraukan, namun tak lama kemudian menyadari bahwa meski ukurannya bervariasi, semua batu prasasti ini tersusun dalam formasi yang teratur.
Dan semakin mendekati pusat pulau, batu prasasti semakin banyak. Di bagian belakang bahkan membentuk lingkaran-lingkaran yang perlahan menyusut ke dalam, seolah berdiri mengelilingi sesuatu.
Pemandangan seperti ini... sepertinya pernah ia lihat di suatu tempat...
Joan berjongkok di depan sebuah batu prasasti, mengamati badan batu dengan cermat - terdapat bekas pahatan di permukaannya. Entah itu pola gambar yang dibuat sembarangan atau aksara bermakna, Joan tidak bisa memastikan. Yang mengejutkannya, batu-batu ini meskipun memancarkan jejak aura kuno, tidak terlalu berdebu seolah sering mendapat perawatan.
Jangan-jangan... ada yang tinggal di pulau terpencil ini?
Setelah berjalan beberapa langkah lagi, Joan tiba-tiba terpaku di tempat.
Di depannya tiba-tiba muncul lubang alami raksasa dengan radius mungkin beberapa kilometer. Tepinya membentuk garis lengkung sempurna yang jelas bukan akibat keruntuhan alami. Batu-batu prasasti itu berjajar berlapis-lapis mengelilingi lubang, membentuk "gelombang" yang menyebar keluar.
Samar-samar ia teringat sesuatu, matanya menatap ke langit - dalam kabut pagi, siluet bulan merah masih terlihat jelas. Meski satu di langit-langit dan satu di bawah kaki, ukuran keduanya sangat mirip bagai identik dengan cetakan. Bahkan muncul pikiran tidak beres: jika bulan merah itu jatuh, mungkin tepat mengisi lubang itu hingga penuh?
“Halo.” Tiba-tiba suara merdu terdengar dari belakangnya.
“Yah——!” Joan terkejut sampai menjerit, berbalik mundur dua langkah hingga membentur batu prasasti dengan keras.
Perempuan itu juga tampak kaget, lama tak bisa bicara sebelum akhirnya berkata, "Eh... kamu tidak apa-apa?"
Baru sekarang Joan menyadari bahwa sang pembicara bukan monster, melainkan perempuan muda cantik. Ia mengenakan gaun panjang putih dengan rambut hitam pekat dikepang dua menjuntai di dada, terlihat segar dan anggun sehingga langsung menimbulkan rasa simpati. Hanya ekspresinya yang tampak bingung, seolah ragu antara menghampiri Joan atau tetap mengamati dari jauh.
“Yah, yah——”
Joan ingin bertanya "Siapa kamu?", namun yang keluar hanya rangkaian suara tak bermakna. Sudah hampir setahun tidak berbicara dengan orang lain, kemampuan bahasanya kembali mengalami degenerasi seperti masa penyendiriannya.
Namun sepertinya lawan bicaranya memahami maksudnya. Sedikit kesepian terpancar dari matanya, namun ia tetap menjawab sambil tersenyum.
“Aku? ... Hanya seorang penjaga yang terperangkap di sini.”
