Ekspresi Joan langsung berubah cerah.
Ini pertama kalinya selain Maisie, ada orang lain yang mengerti bahasa putri duyungnya.
Tapi sebenarnya apakah Maisie benar-benar paham? Joan sendiri tidak yakin, mengingat suara guk guk burung dara itu lebih sulit dimengerti. Biasanya ia cuma bisa menebak sepenggal kata.
Tapi... apa itu penjaga?
"Yah Yah," Dia melanjutkan bertanya, "Apa kamu menjaga lubang besar ini? Di mana tempat ini sebenarnya?"
"Ini bukan lubang, melainkan sebuah jembatan." Orang tersebut tersenyum.
"Aku pernah lihat jembatan, bentuknya tidak seperti ini." Joan berjalan hati-hati mendekati tepi lubang, menjulurkan kepala untuk melihat ke dalam. Dinding lubang berlapis tanah tebal dan tanaman rambat, tidak menemukan jalan untuk turun.
"Tidak semua orang bisa melewati jembatan ini. Hanya pemegang kunci yang bisa melintas." Perempuan itu menjelaskan, "Kamu tidak punya kunci, jadi tidak bisa melihat keberadaannya."
"Oh begitu rupanya," Joan penuh pencerahan, "Tapi mengapa pembangun jembatan melakukan hal seperti ini? Bukankah lebih baik langsung memperbolehkan orang melewati lubang? Lagipula meski tanpa kunci, kita bisa berputar mengelilingi tepinya."
Sang Penjaga tak bisa menahan senyum getir, "Benar... Tapi inilah tugasku - menunggu kedatangan pemegang kunci, lalu membuka jembatan untuknya."
Setelah mengamatinya beberapa saat, Joan akhirnya berbicara.
"Tidak ada rantai di tubuhmu."
"Apa?"
"Kalau tidak terbelenggu, kenapa tidak pergi dari pulau ini?" Joan menunjuk ke balik kabut air, "Tadi kulihat di sebelah sana ada benua. Berenang ke sana seharusnya tidak butuh waktu lama. Aku bisa membawamu pergi bersama."
Orang itu tertegun sejenak, lalu menggelengkan kepala sambil tersenyum, "Lupakan saja. Kamu terluka, apa diserang sesuatu?"
Walau Joan tidak sepenuhnya mengerti mengapa perempuan itu tiba-tiba mengganti topik, dia tetap menjawab secara reflek, "Luka karena dicengkeram monster laut."
"Berbaringlah di sampingku. Aku punya ramuan yang cocok untuk membalut lukamu." Perempuan itu melambangkan tangannya.
Entah mengapa, meski baru pertama bertemu, Joan yakin orang ini bukan penjahat.
Setelah menuruti perintah, Sang Penjaga mengeluarkan sekaleng salep dari tempat tak terlihat. Dia mengoleskannya ke tangan sendiri terlebih dahulu, lalu dengan hati-hati memoles luka Joan. Sensasi segar seketika mengusir rasa sakit dan kelelahan, bagai angin sejuk di tengah terik.
"Yah..."
"Nyaman, kan?" Usai mengolesi, Sang Penjaga merobek ujung roknya menjadi gulungan kain untuk membalut area yang sudah diobati, "Omong-omong, apa rencanamu setelah ini?"
"Pulang ke rumah," gumam Joan, "Aku ingin kembali ke teman-temanku."
"Kalau begitu jangan mengarah ke sosok bayangan hitam. Meski ada benua di sana, itu bukan tempat yang semestinya kau tuju."
"Apakah kau tahu letak Kota Tanpa Musim Dingin?" Tanyanya dengan mata berbinar.
"Hmm... Seharusnya di seberang sosok bayangan hitam. Tapi perjalanan darat juga cukup berbahaya. Lebih baik kau berenang menyusuri tepi pantai."
"Benarkah?"
"Tidak bohong. Tapi kau harus banyak istirahat. Kurasakan tubuhmu sudah hampir overdosis tenaga."
Mendengar itu, Joan yang semula merasa baik-baik saja tiba-tiba diserang rasa kantuk hebat. Seolah semua kelelahan yang terakumulasi selama sebagian besar tahun meledak dalam sekejap.
Di samping orang tersebut, ia benar-benar merasakan kenyamanan yang sudah lama hilang.
Baiklah, istirahat sebentar saja.
Perlahan ia menutup kedua matanya.
Perempuan itu membelai rambut Joan sambil berbisik, "Memang tidak ada rantai yang mengikatku, tapi bukan hanya rantai yang bisa menjebak manusia. Terkadang, kata-kata lebih kokoh daripada rantai."
Aku... tidak terlalu mengerti.
"Tidak apa tidak paham, karena bahkan aku sendiri tidak mengerti."
Suaranya terdengar seperti berasal dari tempat yang jauh, lembut dan menenangkan, membuat kesadaran Joan mulai memudar.
Mungkin aku bisa membantu menanyakannya... Walau agak bodoh, tapi ada orang yang sangat pintar seperti Nona Anna, juga Yang Mulia Roland...
"Benarkah? Kalau begitu kumohon bantuannya."
Kita pasti akan bertemu lagi... Benar kan?
"Hmm, jika ada kesempatan..."
Joan pun tertidur lelap.
Saat terbangun, langit sudah mulai senja.
Astaga, sudah berapa lama aku tertidur? Ia bangun terburu-buru namun tidak mendapat jawaban dari Sang Penjaga. Dengan panik ia memandang sekeliling, tapi tak ada siapa pun di sekitar.
Tidak hanya itu, bahkan batu prasasti pun menghilang. Yang tersisa hanyalah padang rumput luas, gunung datar, dan lubang besar tak berdasar di depannya, seolah semua yang dilihat sebelumnya hanyalah halusinasi.
Apakah semua itu hanya mimpi?
Tidak, ini tidak benar. Joan segera menyadari, tubuhnya masih terbungkus gulungan kain perban, hanya saja sensasi segar yang meresap ke kulit telah menghilang tak berbekas.
Dengan ragu-ragu ia melepaskan selembar kain, tidak menemukan jejak sisa salep pada sisik naga, namun lukanya telah sembuh total.
Di tengah kebingungan Joan, tiba-tiba terdengar gemuruh aneh dari kejauhan——
Baru sekarang ia menyadari kabut air yang sebelumnya melingkari pulau kecil itu telah sirna tanpa disadari, sosok bayangan hitam di kejauhan kini menampakkan wujud utuhnya.
Benar itu sebuah gunung besar, tapi ketinggiannya benar-benar di luar nalar, bahkan frasa "menopang langit dan bumi" pun tak cukup untuk menggambarkannya.
Tak hanya itu, skalanya juga membuat terkejut——dari kejauhan, tubuh gunung itu mungkin lebih lebar daripada total kepulauan Fjord dari selatan ke utara. Tak terlihat sebatang pohon pun, sejauh mata memandang hanya kegelapan pekat bagai tinta hitam. Selain itu, gunung itu diselimuti kabut merah berkabut, dan secara berkala memuntahkan cairan merah darah!
Lalu Joan melihat sumber gemuruh itu.
Di kaki gunung, ribuan kapal laut monster mengalir seperti semut menuju daratan, menumpuk membentuk lapisan tebal di tepi pantai. Mereka menyemburkan racun bertubi-tubi, membuat tanah hitam pekat runtuh berantakan lapis demi lapis. Batu-batu raksasa berjatuhan ke laut, seluruh pesisir bagai mendidih! Meski makhluk-makhluk ini hanyalah bagian kecil dibandingkan Gunung Hitam, justru bagian kecil inilah yang perlahan menggerogoti tubuh gunung!
Namun mereka tidak sepenuhnya tak mendapat perlawanan.
Di area yang tak terjangkau kapal, puluhan ribu Hai Gui bertabrakan keras dengan spesies monster lain. Joan perlu waktu cukup lama untuk menyadari bahwa itu adalah Iblis yang sering disebut-sebut orang!
Gelombang Hai Gui yang biasa merepotkan awak kapal ternyata rapuh bagai ombak yang menghantam karang. Mereka tercerai-berai, tapi tak sedikitpun melonggarkan garis pertahanan Iblis. Meski demikian, gelombang berikutnya terus menerobos kapal-kapal monster, nekat menerjang tepian.
Pemandangan gila ini membuat Joan menutup mulutnya erat-erat.
"Meski ada benua di sebelah sana, itu bukan tempatmu."
"Takdirmu ada di seberang bayangan hitam itu."
Tiba-tiba ingatannya menyuarakan perkataan perempuan itu.
"Joan menoleh ke arah Gunung Batu Hitam. Di seberangnya tak terlihat jejak benua, hanya hamparan samudra luas. Namun setelah ragu-ragu sebentar, ia segera berlari kencang ke arah itu."
"Pemandangan dua kekuatan fisik saling mengikat dan menyerap membuatnya merasakan jejak aura berbahaya. Insting liarnya berkata harus segera pergi, dan satu hal lagi—ia yakin Putri Penjaga takkan menipunya."
"Dengan suara 'plung', Joan masuk ke air, meninggalkan Boom seperti langit runtuh dan bumi terbelah di belakangnya."
