"Lubang alami yang kau lihat benar seperti ini?" Roland terkejut bangkit berdiri.
"Maaf..." Camira tersipu malu, "Kemampuan melukisku hanya sebatas ini."
Gambar di meja kerja kepala pelayan ini dibuat berdasarkan ingatan Joan. Jauh di bawah level Book Scroll dan Soraya, bahkan murid magang galeri pun lebih baik - coretan pendek berjejal adalah rumput, lingkaran limbung melambangkan lubang raksasa, gundukan tanah di samping adalah gunung, sedangkan garis bergelombang mewakili air laut. Bagi orang awam, ini tak lebih dari gambar anak kecil yang tak bisa dijadikan referensi.
Tapi Roland berbeda.
Ia pernah menyaksikan jurang tak berdasar yang legendaris dalam mimpi.
"Itu juga adalah 'garis finish' dari Perang Makna Ilahi, jalan untuk kelompok pemenang naik level. Meskipun akhirnya diserap tsunami dan gunung berapi, kota-kota yang dibangun di atasnya hancur total, tapi topografi dasarnya masih relatif tidak berubah. Contohnya sisi yang rata dan sisi yang menonjol, serta benua tinggi yang samar-samar terlihat di kejauhan."
Sebelum dibuktikan secara langsung, ia tetap menjadi legenda tak berwujud. Bagaimanapun wilayah Cahaya Harapan di utara membentang ribuan kilometer, manusia sebelum Persatuan pun tidak bisa membuat peta detail, bahkan keberadaannya sendiri masih dipertanyakan.
Dari awal sampai akhir, hanya Lan yang menyebutkan posisi jurang tak berdasar.
Sekarang, pengalaman Joan telah mengubahnya menjadi realitas.
"Tidak, ini sudah cukup." Roland tak sabar mengeluarkan peta besar dari rak buku, membentangkannya di lantai depan meja, lalu menempatkan gambar teknik itu di posisi utara-timur benua. "Kurasa letaknya sekitar sini."
"Itu sebenarnya apa?" Camira tak bisa menahan diri bertanya, "Menurutku ini bukan lubang runtuh alami."
"Mengapa kamu berpikir begitu?" Roland balik bertanya datar.
"Sudah jelas," dia menyilangkan tangan, "Lubang runtuh mana yang segitu rapi bentuknya. Belum lagi dasar laut aneh itu, daratan dan air laut di langit - semuanya terasa tidak beres."
Roland merenung sejenak, "Justru menurutku, dari awal memang tidak ada yang namanya 'alami'."
"Maksud...kamu?"
"Contohnya Hutan Persembunyian dan padang rumput di barat Kota Tanpa Musim Dingin, kemungkinan besar dulunya hanya lahan kosong. Tapi benih yang dibawa burung atau binatang ke sini, perlahan berevolusi menjadi bentuk sekarang. Asumsi ini pasti valid jika rentang waktunya cukup panjang. Namun generasi penerus menganggap ini bentuk alamiah sejak awal, bukankah ini aneh?"
Camira mengerutkan alis, "Aku tak mengerti maksutmu."
Roland menghela napas dalam hati, prinsip-prinsip ini memang terlalu rumit untuk orang zaman sekarang. Wajar jika tak bisa memahami.
"Begitu rupanya!" Nightingale yang sedang mengunyah ikan kering tiba-tiba menepuk tangan, "Maksudmu kita tak beda dengan burung-binatang, ya?"
"Ini teka-teki bisu?" Kepala pelayan menggosok dahinya yang mulai pusing.
"Bayangkan," Nightingale menunjuk kota di balik jendela, "Burung-bawa benih membentuk hutan-padang rumput. Manusia bermigrasi ke kaki Gunung Beipo mendirikan Kota Tanpa Musim Dingin. Bagi dunia ini, esensinya sama. Yang kita sebut 'alami' hanyalah perspektif kita sendiri. Burung pun tak menganggap ranting pohon lebih alami daripada atap, kalau tidak kenapa membuat sarang di situ? Dengan logika ini, lubang alami bundar dan air laut yang mengalir terbalik sama alaminya dengan Hutan Persembunyian dan kota kita." Ia diam sejenak, "Bahkan bulan dan bintang di langit mungkin terbentuk dengan cara serupa!"
"Ini..." Camira terpaku sejenak.
Roland dengan tak terduga mengangkat alisnya, meski dikenal sebagai bodoh dalam akademis, dalam beberapa aspek pemikirannya justru sangat tajam... Haruskah dikatakan karena sifatnya yang tidak terduga, ataukah pola pikir orang bodoh memang lebih luas?
Di pikirannya kembali muncul pemandangan batu-batu yang terus saling menubruk, akhirnya berkumpul membentuk planet.
Dewa membawa energi sihir ke dunia ini.
Sejak saat itu, dunia telah menapaki jalan yang sama sekali berbeda.
"Mari kita kembali ke pertanyaanmu sebelumnya." Ia membersihkan tenggorokannya, membangunkan Camira yang masih dalam kebingungan, "Pulau yang dituju Joan seharusnya adalah Jurang Tak Berdasar, sedangkan lubang hitam merupakan lorong peningkatan level kelompok. Saat peninggalan dewa menyatu, jalan menembus langit akan lolos, namun itu sama sekali bukan kelegaan sejati, apalagi bisa memenangkan Senyum Dewa. Tapi kita tetap harus ke sana - Jurang Tak Berdasar adalah wilayah terdekat dengan domain dewa, mungkin hanya di sana kita bisa menemukan metode untuk melepaskan diri dari Perang Makna Ilahi."
Camira membelalakkan matanya, seolah ingin spontan bertanya "Dari mana Yang Mulia tahu semua ini?", tapi akhirnya berhasil menahan diri.
"Mengenai benua yang melayang di udara, saya tebak sembilan dari sepuluh kemungkinan itu adalah Tianhaijie yang disebut oleh Iblis." Roland berbalik mengambil tempat pena, meletakkannya di sebelah barat wilayah Cahaya Harapan. "Karena alasan tertentu, di dasar Perairan Bayangan terbentuk lorong ruang angkasa yang terdistorsi, sementara ujung lainnya terhubung dengan Tianhaijie. Itulah mengapa Joan bisa berpindah seketika dari Kepulauan Bayangan ke seberang lautan. Faktanya tidak hanya dia, dasar laut di kedua wilayah juga tetap terhubung. Setiap interval waktu tertentu, sejumlah besar air laut akan mengalir deras dari sini ke Tianhaijie lalu turun kembali, membentuk air terjun setinggi sepuluh ribu zhang yang dilihat Joan."
Camira terkejut, "Apakah ini alasan mengapa Thunder melihat air laut melampaui Garis Laut dan terus mengalir dari tinggi ke rendah selamanya?"
"Mungkin begitulah." Ia mengangguk, "Air laut tidak membutuhkan sirkulasi balik karena area tinggi dan rendah pada dasarnya saling terhubung. Demikian juga pasang surut cepat yang tidak ada hubungannya dengan benda langit, hanya bergantung pada frekuensi dan jumlah lorong yang terbuka."
"Maksudmu, wilayah seperti Kepulauan Bayangan tidak hanya ada satu?"
"Untuk membuat seluruh Laut Pusaran naik-turun, satu lorong saja jelas tidak cukup. Tentang apakah wilayah-wilayah lain juga memiliki reruntuhan peradaban kuno, itu masih belum diketahui." Roland merasakan potongan teka-teki di pikirannya mulai tersambung, "Sedangkan reruntuhan menara batu di pusat Kepulauan Bayangan, yang dilihat melalui teleskop itu seharusnya adalah Tianhaijie."
"Lalu apa makna pintu yang terlihat di teleskop?" Nightingale menyela.
“Ini mungkin hanya diketahui oleh sang pembangun.” Dia menggelengkan kepala, “Tapi kita bisa berani berspekulasi, mungkin itu adalah menara pengawas – reruntuhan yang lama berada di bawah permukaan air, sejujurnya bukan titik observasi yang baik. Jadi mungkinkah dulu ketinggian Perairan Bayangan tidak serendah sekarang, dan Tianhaijie tidak setinggi ini? Hingga Perang Makna Ilahi mengubah segalanya, pengawas dan yang diawasi punah, hanya teleskop bertenaga sihir yang masih menatap tajam target awal, tak berubah hingga kini.”
“Maafkan kejujuranku, ini terlalu tak terbayangkan!” Camira menarik napas, “Mengubah ketinggian dua daratan? Tuan tahu seberapa besar pengaruhnya bagi seluruh perairan?”
“Kurasa cukup untuk membunuh semua makhluk darat.” Roland teringat ombak yang lebih tinggi dari gunung, “Mungkin itu memang maksud awal para dewa... Tentu, ini semua hanya tebakanku, jangan dianggap fakta.” Dia menekan pikiran kacau dan mengganti topik, “Terakhir adalah Benua Hitam di timur laut wilayah Cahaya Harapan, Joan melihat banyak iblis laut sedang menyerangnya. Berdasarkan intelijen yang ada, itu pasti wilayah Iblis.”
Dia berjalan ke sisi atas peta, menggunakan arang menuliskan nama yang disebut Wakilisi di karpet.
「Wilayah Batu Hitam」.
