Lao Jieke jelas sangat sabar menghadapi Tang San. Di hatinya, anak paling berbudi di desa tak lain adalah Tang San di depannya ini. Sulit dibayangkan bagaimana ayah seperti itu bisa memiliki anak yang begitu baik.
"Dà Húnshī adalah gelar tingkat Master Jiwa. Master Jiwa adalah profesi termulia di seluruh Benua Douluo. Mereka bisa menjadi pejuang perkasa atau memiliki kemampuan pendukung luar biasa. Tapi apapun jenis Master Jiwa, levelnya diurutkan dengan gelar yang sama."
“Setiap Roh Kesatria memiliki kekuatan Roh mereka sendiri. Berdasarkan kekuatan Roh, terdapat sepuluh gelar besar yang terbagi menjadi sepuluh tingkat setiap gelarnya. Gelar awal bagi pemula disebut Roh Prajurit. Setiap orang yang Roh-nya terbangun akan menjadi Roh Prajurit. Jika Roh bisa dilatih, ketika kekuatan Roh mencapai level 11, mereka akan naik ke gelar berikutnya yaitu Roh Kesatria. Roh Kesatria Besar adalah gelar ketiga dalam hierarki ini. Mencapai tingkat Roh Kesatria Besar berarti sudah menjadi Roh Kesatria yang sangat kuat. Kesepuluh gelar secara berurutan adalah sebagai berikut.”
“Roh Prajurit, Roh Kesatria, Roh Kesatria Besar, Roh Zhun, Roh Zong, Roh Wang, Roh Di, Roh Sheng, Roh Dou Luo, dan Roh Pendekar Bergelar. Nama benua Douluo kami berasal dari ini. Konon, Roh Pendekar Bergelar yang mencapai level di atas 90 bisa memberi diri mereka gelar sendiri - mereka praktis tak terkalahkan!”
Matanya berkilau penuh kebanggaan, "Desa Roh Suci kami pernah melahirkan Roh Sheng bergelar level delapan ratus tahun lalu. Ini sangat langka bahkan di seluruh Kota Notting maupun Provinsi Fasno."
Tang Hao di sampingnya mencebik, "Lao Jieke, itu cuma legenda belaka."
Seolah-olah tersentuh sisik terbaliknya, Lao Jack marah besar, "Apa yang disebut legenda? Legenda juga berasal dari fakta. Tang Hao, kau sudah enam tahun di desa ini, harusnya mengerti posisi Sang Hun Sheng dalam hati kami. Jika kudengar kau menghina Beliau lagi, aku akan usir kau dari desa. Kalau bukan karena Tang San, kau pikir aku mau datang ke sarang anjingmu ini?"
Tang Hao tidak tersulut amarahnya, tetap mengetuk-ngetuk alat pertanangan di tangannya, seolah tak mendengar perkataan Jack.
Jack melotot keras kepadanya sebelum berpaling ke Tang San: "Jangan pernah kau jadi pemalas seperti ayahmu ini. Baiklah, aku pergi dulu. Tiga hari lagi, aku akan menjemputmu."
Setelah berkata demikian, Lao Jack pergi meninggalkan bengkel pandai besi dengan wajah masih merah padam.
"Ayah," panggil Tang San.
"Hmm?" Tang Hao meliriknya dingin. Melihat kilau dingin di mata ayahnya, Tang San terpaksa menelan kata-katanya. Ia menunduk dan kembali ke kamarnya melanjutkan 10.000 ketukan.
Senja tiba. Setelah makan malam, Tang Hao menyeka mulutnya dan berjalan keluar seperti kebiasaan - ritual hariannya untuk minum anggur murahan.
"Ayah. Tunggu sebentar." Tang San buru-buru memanggil Tang Hao sebelum sempat membereskan peralatan makan.
“Apa yang kamu lakukan?” Tang Hao tidak sabar melotot padanya. Meski Tang Hao tidak pernah memukul Tang San, entah mengapa Tang San sejak lahir merasa takut pada ayahnya ini. Bagi seseorang yang telah hidup dua kehidupan, perasaan ini tetap tidak bisa diubah.
“Tempaan sepuluh ribu pukulan itu, sudah saya selesaikan.” Kata Tang San.
“Oh?” Cahaya di mata Tang Hao seakan semakin terang, “Bawa ke sini, biar aku lihat.”
“Baik.” Tang San bergegas lari ke kamarnya. Tak lama, ia kembali sambil membawa sebongkah besi.
Bongkahan besi itu hitam legam. Meski bentuknya tidak beraturan, setiap permukaan potongan terlihat sangat halus dengan kilau hitam samar. Ukurannya sekitar seperempat dari besi aslinya. Tang San harus menggunakan Xuantian Gong untuk memegangnya tanpa kesulitan.
Tang Hao mengambil bongkahan hitam itu, mengamatinya dengan cermat di depan mata, “Sekarang kamu pahami apa yang aku maksud?”
Tang San mengangguk, “Besi tempa seribu kali akan menjadi baja. Logam berkualitas rendah pun bisa jadi unggul setelah dimurnikan lewat penempaan terus-menerus. Ayah, ini maksud pelajaran yang ingin kau sampaikan?”
Tang Hao menyadari dalam beberapa hari terakhir putranya terus memberi kejutan. Ia mengembalikan bongkahan besi itu, “Kalau begitu lanjutkan. Bawa lagi saat sudah sebesar kepalan tangan.” Setelah berkata demikian, ia berbalik keluar rumah.
Menurut janji awalnya, setelah sepuluh ribu kali penempaan ia akan mengajari Tang San teknik menempa. Tapi sekarang sepertinya ia melanggar janjinya. Namun Tang San tidak mempermasalahkan ini, pikirannya masih terpaku pada perkataan ayahnya.
“Sekepalan tangan?” Apakah benar sepotong besi sebesar ini bisa ditempa hingga seukuran kepalan tangan? Meski hanya seperempat dari volume aslinya, Tang San sangat paham bahwa semakin padat besi tersebut akibat penempaan, semakin sulit volumenya menyusut. Untuk mengecilkannya hingga seukuran kepalan tangan, jelas tidak bisa hanya dengan sepuluh ribu pukulan lagi.
Seratus tempaan menjadi baja, lalu apa hasil sepuluh ribu tempaan? Kilatan cahaya terpancar dari mata Tang San. Kaki kanannya melangkah ringan, dan tubuhnya telah gesit menyelinap ke dalam kamarnya. Tak lama kemudian, dentang-dentang palu kembali bergema di bengkel pandai besi.
Tiga hari berlalu dengan cepat. Setiap pagi Tang San tetap pergi ke puncak gunung untuk latihan rutinnya. Sepulangnya, selain memasak, dia hanya menempa. Seolah sedang bertarung dengan lempeng besi itu. Kecepatan penempaannya meningkat setiap hari. Tenaga Xuantian membantunya cepat memulihkan stamina, memungkinkan proses penempaan terus berlanjut.
"Xiao San, Kakek datang menjemputmu." Lao Jack tiba tepat waktu di bengkel pandai besi. Mungkin karena jengkel pada Tang Hao, kali ini dia bahkan tidak masuk, hanya memanggil Tang San dari luar.
Tang San melirik ayahnya yang baru saja sarapan. Tang Hao berkata dingin, "Pergilah. Jangan sampai lupa masak siang nanti."
