"Bab 293: Kenapa malu mengaku kalau kamu suka Mama-ku!"
Satpam memandangnya sambil tertawa, "Tapi kamu tidak tahu lantai berapa, kalau aku izinkan naik, mau ke mana?"
"Orang yang tinggal di sini sulit membayar uang nafkah anak?"
"Entah siapa yang keterlaluan, beli rumah mahal tapi tidak mau bayar nafkah."
Erbao mengendus hidungnya, "Paman, penghuni sini tidak banyak, aku bisa mencari satu per satu lantai!"
"Beri tahu Paman, nama Ayahmu siapa? Biar Paman bantu cari." Satpam merasa iba melihat anak ini menangis, "Nanti kalau ketemu, langsung Paman antar ke sana, tidak perlu cari lantai satu-satu, setuju?"
"Erbao melihat satpam mulai melunak, segera mengangguk, "Baik, terima kasih Paman. Paman benar-benar penyelamat aku dan Ibu! Nanti setelah Ibu dapat uang nafkah, aku akan mentraktirmu permen!"
Satpam terhibur, mengelus kepala anak itu, "Tidak usah repot-repot."
"Ayahku namanya Mu Yibei!" Erbao membelalakkan matanya yang berkilau, menatap satpam tanpa berkedip.
Nama pemilik unit pasti Paman Yibei.
"...Apa?" Satpam mengira salah dengar, bahkan menggosok telinganya, "Ulangi, nama ayahmu siapa?"
Erbao khawatir dia tidak mendengar jelas, mengucapkan perlahan kata demi kata, "Ayahku namanya Mu Yibei. Paman tahu dia tinggal di lantai berapa?"
Satpam: "......"
Tuan Mu...
Tuan Mu adalah pemilik unit paling VIP di gedung ini. Tentu saja dia harus mengetahuinya.
Soalnya hanya dia satu-satunya penghuni lantai paling atas.
Beberapa tahun terakhir Tuan Mu jarang tinggal di sini, baru-baru ini agak sering.
Oh iya, belakangan memang ada perempuan yang sering keluar-masuk lantai atas.
Itu atas izin khusus Tuan Mu, jadi dia tahu perempuan itu boleh diantar masuk.
Tapi...
Apa perempuan itu datang menagih uang nafkah?
Satpam memandangi anak ini, sesaat sulit mempercayai Tuan Mu punya putra sebesar ini.
Orang kaya level Tuan Mu, kehidupan pribadi dan keluarganya selalu jadi perhatian publik.
Sekuat apapun menjaga privasi, tetap sulit menghindari kebocoran informasi kehidupan sehari-hari.
"Tapi, aku belum pernah dengar Tuan Mu punya putra sebesar ini, masih orang tua tunggal, dan... enggan memberi uang tunjangan."
"Paman, Ayahku tidak tinggal di gedung ini?" Erbao membuka mata lebar-lebar, "Kalau salah, aku akan tanya di gedung lain ya."
Satpam memandangi anak itu dengan ekspresi rumit, "Bukan, dia... memang tinggal di sini."
Tidak hanya tinggal di sini, baru saja mengirim orang untuk memindahkan banyak barang.
Bahkan membawa perempuan yang sering keluar-masuk sini ke atas, berdua terlihat mesra.
Sepertinya... tidak seperti urusan uang tunjangan.
Tapi anak ini mengaku putra Mu Yibei, mau menemui langsung, seharusnya...
Satpam ragu-ragu, akhirnya memilih menelepon dulu.
"Tunggu sebentar, aku akan telepon Ayahmu."
Erbao mulai gelisah, "Tapi Paman..."
Satpam menghiburnya, "Jangan khawatir."
Tentu saja dia tidak tahu nomor Mu Yibei, tapi bisa menggunakan walkie-talkie, lebih cepat dari telepon.
Erbao berpikir sejenak, menghela nafas pasrah, biarlah kalau ketahuan.
Yang penting Ibu ada di sini, dia akan mencari. Kalau tidak... dia pergi.
Soal apakah Paman Yibei itu Ayahnya...
Meski ingin tahu, tapi dibandingkan dengan Ibu, masalah ini tidak penting.
Kali ini datang dengan misi, sudah berjanji pada adik, harus menemukan Ibu.
"Ada apa." Suara berat bernada datar terdengar dari walkie-talkie.
Satpam buru-buru berkata, "Tuan Mu, begini, ada seorang anak mencari Anda, meminta untuk naik. Dia bilang... adalah putra Anda."
Erbao mengerutkan bibirnya, meski tidak tahu apa reaksi Paman Yibei mendengar pengakuannya ini, tapi sudahlah.
Dia bahkan menyembunyikan ibunya.
Meski sangat menyukai paman ini, ada sesuatu dalam diri paman yang membuatnya ingin menjadikannya panutan.
Tapi, tidak ada yang lebih penting daripada Ibu.
Jika memperlakukan Ibu tidak baik, dia bisa langsung bermusuhan.
Suara walkie-talkie terdengar tertegun sejenak, lalu dengan tenang berkata, "Suruh dia naik."
Di dalam hati Erbao heran, sepertinya Paman Yibei tidak marah.
Dia menengadah mengucapkan terima kasih pada satpam, lalu diantar langsung ke lift.
*
Mu Yibeu menutup walkie-talkie, refleks menoleh memandang perempuan yang sedang duduk bermain ponsel di sofa balkom.
Sejak keluar dari ruang studinya, dia terus berdiam di luar.
Tidak hanya itu, dia juga menutup pintu balkom.
Kecuali dia sendiri yang mendatangi, perkataannya tidak akan terdengar.
Tapi anak itu, sendirian bisa menemukan tempat ini?
Raut wajahnya menjadi muram, tiba-tiba ponsel berdering.
Suara di telepon terdengar panik, "Kakak-kakak, salah satu anak hilang!"
Suara Mu Yibeu seperti membekukan es, "Baru sadar sekarang? Sudah terlambat! Kalian semua sampah!"
Mengawasi satu anak saja tidak becus, sebelumnya tidak pernah kusadari betapa tidak bergunanya mereka.
Mu Yibeu menutup telepon dengan wajah dingin.
“Dering bel pintu segera berbunyi, dia membuka pintu.”
Erbao menengadahkan kepala, berdiri di luar pintu, “Paman Yibei.”
Mu Yibei menatapnya dari atas, tidak tahu bagaimana anak ini bisa sampai ke sini dan baru ketahuan hilang oleh anak buahnya.
“Bukannya ini putraku? Kok jadi Paman Yibei lagi?”
Erbao sama sekali tidak malu, bergumam, “Aku takut kalau tidak bilang begitu, paman-paman di bawah tidak mau mengizinkanku naik. Kalau kamu tidak suka, lain kali aku bilang aku keponakanmu saja.”
Mu Yibei mengerutkan alis, “Berani-beraninya kau bilang keponakanku!”
Erbao: “......” Paman Yibei hari ini memakan obat yang salah?
“Masuk.” Dia sepertinya menyadari nada bicaranya mungkin terlalu keras untuk anak kecil, lalu melunak sedikit.
Dia benar-benar tidak punya pengalaman menghadapi anak-anak, sebelumnya tidak pernah punya kesabaran seperti ini.
Bahkan ketika sebelumnya Erbao dan Sanbao secara tiba-tiba menyukainya, dan dia tidak merasa jengkel saat itu, dia tetap sadar diri bahwa tidak pernah memberikan raut wajah yang ramah.
Setelah tahu bahwa mereka adalah putranya, dia juga jarang mengunjungi mereka, sebagian karena belum mengerti cara berinteraksi dengan anak-anak.
“Paman Yibei, sebenarnya aku mencari Ibuku.” Erbao berbicara sambil masuk, “Aku rasa Ibu disembunyikan olehmu kan? Wah, sepatu Ibuku!!”
Erbao langsung bersemangat, berlari ke balkom dan melihat - itu memang Ibunya!
Untungnya Ibu tidak apa-apa, benar-benar disembunyikan oleh Paman Yibei!
Dia sedang hendak berlari ke sana, tiba-tiba mengingat sesuatu, langkahnya terhenti.
Si kecil berbalik badan, menatap Mu Yibeu, "Paman Yibei, jujur saja, apa maksudmu terhadap Ibuku? Sebenarnya kamu masih sangat menyukainya kan? Tapi kenapa kamu menyembunyikannya? Apa kamu takut Ibu tidak mau peduli lagi padamu kalau bertemu kami?"
Mu Yibeu menyelidikinya, "Dia tidak berani mengabaikanku."
Erbao: "..." Ada yang bicara seperti ini?
"Malu-malu apa mengaku suka sama Ibuku!" Erbao mencibir, "Jangan khawatir adikku sedih, kalau kamu menyukai Ibu, dia akan sangat lapang dada."
"Kamu berisik sekali." Alis Mu Yibeu berkerut, "Kalau masih banyak bicara, tidak kuizinkan masuk."
Erbao cepat-cepat menjulurkan lidah, melesat ke balkon.
Sheng Youran sebenarnya hanya memegang ponsel tanpa tujuan, pura-pura asyik bermain meski tak benar-benar fokus.
Saat melamun, pintu samping terbuka, sosok kecil langsung memeluknya, "Ibu!"
Sheng Youran terkejut, melemparkan ponselnya, "Erbao?"
"Hehe!" Erbao duduk di sofa mewah sebelahnya dengan ekspresi licik, "Akhirnya kutemukan Ibu! Sudah kuduga Ibu disembunyikan Paman Yibei."
Sheng Youran tertegun, membelai kepala anaknya lalu langsung memeluk erat.
Beberapa hari tak bertemu, entah bagaimana nasib mereka nanti.
“Ibu……” Erbao berkata dengan sedikit kesal, “Kenapa kau memelukku erat-erat seperti ini, norak! Aku tahu kau merindukanku!”
Sheng Youran membelai kepalanya, dia pasti tak menyangka mengapa tiba-tiba dia bersikap mesra seperti ini.
“Bagaimana dengan Xingbao?”
“Dia di rumah Paman Yibei, aku yang kabur sendiri dari sana. Aku sudah bicara dengan adik, dia yang menutupiku. Aku pasti bisa menemukanmu!”
Sheng Youran merasakan kehadiran sosok tinggi di sampingnya, dia menoleh dan mengangkat pandangan.
Pria yang berdiri di tepi balkom tetap mempertahankan raut wajah dinginnya. Tanpa sepatah kata pun, sorot matanya sudah menjelaskan segalanya.
Bagaimana cara menjelaskan, bagaimana cara berakting.
Semuanya harus dimulai sekarang.
“Ibu, seharusnya kau menelepon untuk memberi tahu kami,” Erbao menggerutu, “Kalau tidak benar-benar membuat orang khawatir. Katakan saja, kau ingin berdua dengan Paman Yibei. Adik hampir mengira kau diculik Paman Yibei!”
Sheng Youran jelas merasakan, setiap kali Erbao menyebut "Paman Yibei", wajah pria itu semakin berubah muram.
Amarah yang menyala-nyala itu bahkan bisa dirasakannya dari kejauhan.
“Erbao, Ibu perlu membicarakan sesuatu denganmu,” suara Sheng Youran melunak dengan nada permintaan, “Ayo, duduklah.”
Dia memeluk Erbao sambil duduk, benar-benar harus memikirkan cara menjelaskan hal ini.
"Dia tahu betul dia memiliki putra yang tidak mudah dibodohi. Dan, membuatnya menerima Mu Yibei sebagai ayah tiri mungkin bisa, tapi jika dia tahu bahwa ayah kandungnya inilah yang telah meninggalkan mereka selama bertahun-tahun, mungkin..."
Erbao berbaring telentang di dada Sheng Youran, dengan sikap sangat tuan berkata, "Iya, Ibu memang harus menjelaskan dengan baik padaku."
Alis Mu Yibei berkerut pelan, menatap bocah yang masih manja dalam pelukan Sheng Youran. Ada dorongan untuk mengangkat dan menjauhkannya.
Sheng Youran tidak menyadari ini. Dia hanya berpikir cara menjelaskan, sementara sudut matanya melihat Mu Yibei berdiri kaku di sampingnya. Tekanan begitu besar, tak tahu bagaimana memuaskan Erbao sekaligus dirinya.
"Sebenarnya..." ujarnya ragu-ragu.
Tak menyangka Erbao muncul secepat ini, persiapannya belum matang.
"Duduk baik!" suara Mu Yibei mengeras, melirik ke Erbao. "Pindah ke samping."
Sheng Youran: "..." Bukannya katanya ingin berakting demi keluarga utuh anak-anak? Kenapa sekarang jadi jahat begini!
Erbao merasa bingung. Sebelumnya dia pikir Paman Yibei hanya orang yang agak dingin.
Mengapa saat ibunya ada di sini, pria ini jadi begitu jahat padanya?
Dia saja tidak keberatan membiarkannya jadi pacar ibunya. Jangan-jangan Paman Yibei menganggapnya sebagai gangguan?
Ini kan ibunya sendiri!
“Erbao merasakan sedikit rasa krisis, memandang Mu Yibei, dengan sengaja tidak mau duduk di sebelahnya.”
