Bab 350 Kapan kau menjadi begitu manja
Erbao langsung tertegun.
"Sebenarnya dia tidak berharap Daisy akan mengatakannya dengan mudah."
"Sepanjang hari ini, dia sudah menyadari meski gadis kecil ini mudah menangis, tapi mulutnya sangat rapat."
"Hal yang tidak ingin dia ungkapkan, bagaimanapun juga tidak akan dikatakan."
"Tapi kebenaran yang dia ungkapkan sekarang sama sekali tidak terduga olehnya."
"Kamu... kamu bohong!"
"Aku tidak bohong!" Daisy menangis tersedu-sedu, menatapnya dengan tajam sambil berkata, "Ibuku ditangkap oleh Ayahmu... hiks, aku harus menemukan ibuku..."
"Tapi bukannya kamu bilang kalau kamu juga putri Ayahku?" Erbao masih belum bisa menerima plot twist ini.
"Lagipula dia masih kecil, terlihat seperti tidak mengerti apa-apa dan hanya bisa menangis."
"Dia sempat berpikir apakah Daisy ditipu oleh ibunya, tapi tidak menyangka kenyataannya seperti ini."
Air mata Daisy masih terus mengalir deras, "Kalau tidak bilang begitu, aku tidak bisa bertemu si jahat besar itu!"
Untuk pertama kalinya, Erbao benar-benar terperangkap dalam kontemplasi.
"Jadi, kamu mengaku sebagai putri Ayahku hanya untuk menyusup ke rumah kami dan mencari ibumu?"
Daisy terdiam sejenak, memandang Erbao dengan penasaran.
Bukankah dia putra si jahat?
Mengapa setelah tahu kebenaran, dia tidak langsung memberitahu ayah jahatnya tentang fakta ini?
Daisy tidak mengerti, tapi melihat dia tidak punya niat seperti itu, hatinya merasa sedikit lega.
"Aku tak tahan lagi, akhirnya mengungkapkan isi hati yang sebenarnya, 'Awalnya aku hanya ingin menemukan paman jahat ini. Kupikir dengan mengatakan ini, aku bisa bertemu dengannya. Kalau sudah ketemu, aku bisa minta ibu! Meski dia tidak mau mengembalikan ibu, paling tidak bisa mengurungku bersama ibu.'"
Erbao memandangnya penuh rasa ingin tahu. Tampaknya gadis kecil ini tetap mengubah keputusannya di tengah jalan.
Tanpa disadari, ternyata dalam hatinya terus bermunculan berbagai akal-akalan.
"Tapi... tapi mereka tetap tidak mengizinkanku masuk."
Paman satpam di depan pintu itu terlalu jahat.
Biasanya banyak yang percaya pada ucapannya, tapi kali ini bagaimanapun caranya meyakinkan, mereka tetap tidak percaya dan tidak mengizinkannya masuk.
Untungnya, dia bertemu dengan kakak ini.
Daisy menyelinapkan pandangan ke Erbao yang sedang berpikir serius.
"Lalu aku melihatmu!" Suaranya serak karena tangisan, tapi air mata sudah tidak deras lagi mengalir, "Tapi setelah naik, ayahmu sangat menakutkan... Aku, aku tidak berani bicara..."
Keberanian untuk menginterogasi yang awalnya dibawanya, langsung hilang tak bersisa setelah melihat paman itu.
Semakin dia dipaksa menjawab, semakin takut dia untuk membuka mulut.
Apalagi melihat mereka tidak berdaya menghadapi tangisannya, dia pun memaksakan diri untuk terus menangis. Bahkan saat tidak bisa menangis, dia berpura-pura merintih.
Begitulah caranya mengulur waktu.
Tapi dia juga tidak menyangka akhirnya bisa dibawa ke rumah paman ini.
"Tadi tidak bisa tidur, sangat rindu ibu." Daisy duduk meringkuk di lantai sambil memeluk lututnya, "Aku ingin keluar mencari, siapa tahu ibu bersembunyi di sini."
“Erbao tidak tahu apakah kali ini dia berkata jujur, sepertinya tidak berbohong.”
“Dia tidak tahu cara menghibur, lagipula, dia tidak pernah punya kebiasaan menghibur perempuan.”
Setelah lama berpikir, akhirnya mengeluarkan kalimat, “Lagipula ibumu tidak di sini. Aku setiap hari tinggal di sini, kalau ada orang yang dikurung, pasti aku tahu. Mungkin Ayahku sama sekali tidak mengurung ibumu, kamu yang salah!”
“Aku tidak peduli, pasti dia, pasti dia! Kalau kamu tidak mau bantu aku cari Ibu, aku akan terus mencari sendiri!” Daisy bangkit dari lantai.
“Pergi tidur.” Erbao berpikir sejenak, “Besok aku akan bantu carikan cara.”
Daisy menatapnya curiga, seolah sedang menilai apakah perkataannya benar.
“Aku tidak mau, aku ingin cari Ibu...”
Erbao menyeringai, mengancam, “Kalau tidak pergi, nanti Ayahku terbangun dan menangkapmu lagi...”
Belum selesai bicara, Daisy langsung lari ke dalam kamar.
*
Keesokan paginya, Sheng Youran terbangun dengan tubuh lemas dan pegal.
Telinganya mendengar suara familiar sedang menelepon, sesekali bergumam “Hm”.
Dia tidak turun dari ranjang, sengaja mengecilkan suaranya agar tidak membangunkannya.
Suara magnetis rendah yang masih mengandung sisa suara hidung baru bangun tidur, terdengar sangat... seksi.
Tapi begitu teringat kejadian kemarin, hatinya langsung mendidih.
Mencari-cari kesalahan, menyiksanya dengan berbagai cara kreatif.
"Kata-kata yang ingin dia ucapkan tak bisa keluar, hanya memaksanya mengucapkan hal-hal yang sangat memalukan untuk diungkapkan."
"Tidak berhenti sampai dia benar-benar puas, tak mau membiarkannya pergi."
"Tapi saat akhirnya dia puas, gairahnya justru semakin membara, membuatnya tergila-gila hingga menangis memohon pun tak berguna."
"...Baik, kalau begitu."
Mu Yibei menutup telepon, melirik perempuan yang segera membalikkan badan membelakangiinya setelah sadar.
Punggung putih mulus yang terlihat dari balik selimut membuat sorot matanya menggelap, tak kuasa menahan diri untuk memeluknya lagi.
Ingin memegang wajahnya untuk dicium, tapi saat jarinya menyentuh perban di lehernya, bayangan kesedihan langsung menggenangi matanya.
Ye Yunting si pantas mati ini, jika sampai di tangannya, pasti akan dihabisi dengan mengenaskan.
Sorot mata Mu Yibei tajam penuh niat membunuh.
Sheng Youran tak bisa lagi pura-pura tidur, segera membalikkan badan dan menekan mulut lelaki yang tak pernah berhenti bergerak sejak pagi ini, "Kau tak bosan? Pagi-pagi sudah mengganggu orang tidur!"
Lelaki itu tertawa pendek, mengambil kesempatan saat dia membalikkan badan untuk mendekat dengan mudah.
Tatapan matanya yang dalam penuh senyuman tetap menatapnya, meski perempuan itu dengan wajah kesal sedang menyumpal mulutnya dengan tangan.
Tangan Sheng Youran belum sempat ditarik, tiba-tiba merasakan bibir tipisnya bergesekan di telapak tangannya dengan tekanan yang pas.
Meski tujuannya menghalangi gerakannya, setiap sentuhan dengannya selalu bisa ditafsirkannya sebagai maksud lain.
“Turun kau.” Dia berbisik, bibirnya masih tertekan rapat tanpa senyum, hanya menarik tangannya kembali.
Mu Yibei menunduk, makin menjadi-jadi memeluknya erat.
Saat dia ingin melawan lagi, sudah terlambat.
“Tidak tahu malu...”
“Hm, aku memang tak tahu malu... Baiklah, aku ingin.”
Bukti Nyata dengan Tindakan, menjawab pertanyaannya lebih cepat daripada kata-kata...
Ketika Sheng Youran bangun kembali, keinginan untuk mencekiknya bukan sekadar angan-angan.
“Lelah ya? Tidur lagi sebentar.” Mu Yibei sudah berdiri, mengenakan kemeja sambil memasang kancing satu per satu, “Karena sudah kembali, temani Erbao dan Sanbao bermain, kebetulan akhir pekan.”
Beberapa hari tak bertemu, dia sangat merindukan dua anak itu.
Sheng Youran malas-malasan tengkurap di ranjang, “Kalau kamu?”
Mu Yibei melirik kondisi lesunya, balik bertanya dengan suara menggoda, “Aku? Kapan kau jadi manja begini, masih mau?”
“Mu Yibei aku tak mau bicara denganmu, Pergi!!” Mukanya merah padam karena malu.
Dia terkekeh, berkata santai, “Anak itu akan kubawa pergi dulu...”
“Tunggu!” Sheng Youran duduk tegak, pandangan penuh curiga menyapu wajahnya, menyeringai dingin, “Mau dibawa ke mana? Cari mamanya?”
Sampai sekarang dia belum memberi penjelasan jelas, dari mana munculnya utang asmara yang mengaku sebagai putrinya ini.
