Bab 510: Menghadapi lelaki yang sedang marah mungkin butuh tenaga ekstra
Sheng Youran belum menyadari, "Tunggu, kalian berdua bisa jelaskan lebih detail? Kapan dia di London?"
Mu Yibei pergi ke London, tapi tidak bilang apa-apa?
“Kira-kira tadi lah?” Sanbao juga tak paham, berkedip-kedip, “Kakak bilang dia pantas begini.”
Suara Erbao kembali terdengar, “Mungkin sekitar satu dua jam lebih awal dari kedatangan kami ke sini. Setelah turun dari pesawat, saat tahu kami tidak ada di London, dia langsung balik sebelum sempat keluar bandara. Karena aplikasi jalur penerbangan dadakan butuh waktu, dia langsung beli tiket dengan jadwal terdekat. Kalau tidak ada halangan, mungkin setelah kita tidur saja nanti bisa ketemu ayah.”
“Kakak cuma tahu tidur!”
Sheng Youran sejenak tak tahu harus berkata apa. Di hatinya ada rasa senang, tapi kejutan ini tidak sepenuhnya menggembirakan, malah memicu kegelisahan.
Ia menoleh memandang Ye Mo Er yang juga terlihat tertegun.
Tanpa mempercayai 'kejutan' dari sosok ayah versi Sanbao, ia bertanya ragu, “Ini tindakan normal baginya?”
Ye Mo Er menyunggingkan senyum kecut, “Mungkin... dia sedang agak buru-buru?”
“Atau sedang marah,” Sheng Youran menyempurnakan sendiri.
Selama hampir setengah bulan ini dia tidak mencarinya. Reaksi pertamanya pasti bukan datang tergopoh-gopoh minta damai.
Mungkin awalnya memang ingin memberi kejutan, tapi bahkan Sheng Youran sendiri bisa membayangkan: andai ia masih di London, mungkin kehadirannya justru akan memaksanya untuk datang lebih dulu.
Lagipula kedatangannya pasti bukan khusus untuknya, pasti ada urusan pekerjaan yang menyertainya.
Dia bisa memilih tinggal di London lalu memerintahkan Ye Mo Er untuk membawanya pulang paksa.
Atau menunggu selesai urusan baru datang.
Daripada langsung berbalik arah setelah keluar bandara, ini lebih seperti situasi marah datang untuk menghitung utang.
"Marah juga hal yang baik." Ye Mo Er hanya bisa menghibur, "Kalau sampai tidak marah sama sekali, itu baru merepotkan. Istirahatlah di hotel semalam, tunggu dia datang. Menghadapi lelaki yang sedang marah mungkin butuh tenaga."
Sheng Youran：“……”
*
Meski menolak pergi ke rumah Keluarga Rong, mereka tetap mengaturkan hotel terbaik di Kota Hua.
Suite dilengkapi fasilitas parent-child khusus dengan tong mandi sebesar kolam renang kecil, Sanbao langsung tak sabar ingin mandi.
Setelah bermain air sebentar, Sanbao kembali menempel di pinggiran tong, dua kuncir tegak menjulang di kepalanya, sementara banyak mainan bebek mengapung di belakangnya.
Saat Sheng Youran masuk dan melihatnya sudah tak berminat, ia mendekat, "Kalau sudah puas main, mari keringkan diri dan tidur? Kakakmu sudah langsung roboh di ranjang."
Ia bahkan mempertimbangkan untuk membatasi waktu penggunaan laptop Erbao.
Tapi mengingat perbedaan waktu, kali ini dibiarkan saja. Tidur sekarang tepat untuk bangun besok pagi.
"Sanbao, benar tidak senang karena tidak ke rumah Rong?" Sheng Youran duduk di sampingnya, mengusap pipi kecilnya yang basah, "Besok ajak mereka main ya, atau saat ayahmu datang, biar dia antarmu ke sana."
Sanbao sedikit merasa pikirannya sendiri telah terendus.
Dia enggan bicara, bola matanya berputar lalu menatap wajah ibunya yang penuh kekhawatiran, "Ibu, kenapa bilang Ayah marah? Ibu bertengkar dengan Ayah ya?"
Sheng Youran tak menyangka pertanyaan mendadak ini, "Nggak kok..."
"Ibu, apa Ibu anggap Sanbao mudah ditipu?" Sanbao mengerutkan alis kecilnya, melihat ekspresi ibunya aneh, langsung mendesak, "Waktu video call sama Ayah, kalian nggak ngomong sama sekali. Ibu, waktu Ibu menghilang, beneran bertengkar sama Ayah?"
Mendengar pertanyaan ini, Sheng Youran bingung harus menjawab apa.
Bahkan rasa bersalah mulai menggerogoti hatinya.
Takut anaknya kecewa kalau jujur, tapi juga merasa tidak pantas membohongi anak kecil.
Sheng Youran jongkok menyamakan pandangan dengan Sanbao yang menyandarkan kepala di tepi tong, "Kamu sedih karena ini?"
"Ibu, kalau Ayah meninggalkan kita lagi, Sanbao nggak bakal sayang dia sama sekali." Suara Sanbao terdengar ragu tapi penuh tekad, "Kalau dia bikin Ibu sedih, Sanbao juga nggak mau sayang. Tapi Ibu, kalau Ayah minta maaf, Ibu nggak mau maafin dia ya?"
Dalam hati, dia sangat berharap Ayah dan Ibu berdamai, khawatir Ibu tidak mau memaafkan.
"Bisa kok, kalau dia minta maaf ya sudah." Sheng Youran berusaha menenangkan, "Kalau dia minta maaf, Ibu nggak akan mempermasalahkan lagi, setuju?"
“Tapi aku takut Ayah kulit wajahnya tipis, malu untuk minta maaf, bagaimana dong Bu?” Sanbao memandangnya dengan tatapan memelas, “Haruskah aku mengingatkan Ayah?”
Sheng Youran melihat ekspresi khawatir yang terpancar di wajah putrinya, pasti yang baru saja diucapkannya adalah skenario terburuk yang bisa dibayangkannya, tapi sama sekali tidak benar-benar mengira itu akan terjadi.
“Tidak perlu mengingatkannya, sebenarnya kami juga tidak bertengkar.” Ia mencium pipi Sanbao, “Tenang saja, Ibu akan mengatasinya.”
Sheng Youran berkata dalam hati, ini semua demi harga diri putrinya.
Setelah keluar dari kamar mandi, Sanbao langsung tidur. Sheng Youran menyelimuti kedua anaknya dengan rapat sebelum akhirnya berbaring sendiri.
Tidur di pesawat tidak nyenyak, kelelahan pun menyergapnya.
Keesokan paginya.
Sanbao yang sudah tidur nyenyak bangun lebih awal.
Saat keluar, ia melihat kakaknya yang sudah bangun lebih dulu sedang menyantap sarapan yang dipesannya.
“Hm, mana Ibu?”
Erbao memegang segelas susu, “Menurutmu?”
Sanbao menghela nafas, Ibu sampai sekarang belum juga bangun.
Ia melompat ke kursi, mengambil sepotong bacon dari piring Erbao, “Nah, bagaimana kompensasinya untukku?”
Erbao berkata kesal, “Cuma segitu ambisimu, merampok daging dari piringku.”
“Itu karena kebetulan kamu di sini, kalau orang lain pun akan kurampas juga.”
“Kamu tidak berani merampok Rong Siqing.”
Sanbao: “……”
Matanya menyala marah, “Kak, kalau kamu jagoan suruh saja dia main ke sini!”
“Erbao baru saja ingin mengatakan mainanmu terlalu kekanakan dan tidak menarik, tiba-tiba mendengar suara gerbang terbuka di luar pintu.
Dua bocah itu serentak menoleh ke arah sumber suara.
Sanbao langsung melompat turun, berlari kencang menghampiri, "Ayah, aku sangat merindukanmu!"
Mu Yibei mengenakan mantel panjang hitam, wajahnya terlihat lelah setelah dua kali penerbangan jarak jauh berturut-turut.
Saat Sanbao mendekat, ia dengan gesit berjongkok dan mengangkatnya dengan satu lengan.
"Baik-baik." Suara Mu Yibei rendah, sementara matanya menyapu seluruh ruangan suite.
Jelas, tidak ada jejak perempuan itu.
"Ayah, Ibu masih tidur malas!" kata Sanbao dengan suara kekanakannya.
Sudut bibir Mu Yibei sedikit melengkung, tapi bukan senyuman, "Hm, Ayah akan memberikan edukasi padanya."
Di belakang Mu Yibei, beberapa orang membawa koper masuk.
Erbao yang baru selesai makan turun dari meja, "Ayah datang untuk menuntut pertanggungjawaban?"
Alis Mu Yibei berkerut, "Dia yang bilang?"
Masih punya kesadaran diri, jadi tidak berani bangun?
"Ayah," Sanbao memeluk lehernya sambil merayu, "Kemarin sudah kuingatkan Ibu untuk tidak bertengkar. Ayah, kalau Ibu minta maaf, maafkan dia ya?"
