Bab 530 Kamu sudah menggodaiku lama, malah bertanya mau apa?
Saat merasa lega, Sheng Youran tiba-tiba menyadari sesuatu yang aneh.
Matanya membelalak menatapnya, “Kamu bilang aku boleh tenang? Tapi Ye Mo ingin menemukannya kembali kan?”
“Dia tidak bisa menemukannya kembali itu karena dia sendiri tidak punya kemampuan, bukan urusanku.” Mu Yibei menyelidikinya sambil mengangkat alis, “Awalnya aku tidak perlu memihak siapa pun dalam hal ini. Jika dia meminta bantuanku, aku juga akan membantu. Tapi kalau kamu bersikeras membela Ye Mo Er, tentu aku akan memihakmu. Ye Mo sudah berpisah dengannya selama bertahun-tahun, dia kabur ya sudah, apa yang istimewa? Bukannya belum pernah kabur sebelumnya.”
Di matanya ini memang bukan urusan besar. Mungkin Ye Mo memang akan menganggap selesai kalau tidak bisa menemukannya.
Perempuan itu akan muncul sendiri ketika dia ingin muncul, pasti dengan membawa tujuan tertentu.
Sekarang dia mau menghilang itu bagus, berarti dia tidak punya keinginan lain di sini.
Sheng Youran maju dan mencium wajahnya lagi. Bagaimanapun, mendengar kata-katanya membuat suasana hatinya membaik.
Tapi sebenarnya dia juga tahu, kalau Mu Yibei benar-benar menemukan Ye Mo Er, dia tidak akan membantu Ye Mo Er melarikan diri, melainkan akan memberi tahu Ye Mo.
Lagipula mereka sudah saling mengenal bertahun-tahun, dia pasti tidak akan membocorkan rahasianya.
“Sekarang jadi manis begini?” Mu Yibei menyipitkan matanya, memandang kilau jernih di mata perempuan itu.
Dia melototinya. Dia bukan anak kecil, mengapa harus memaksanya untuk bersikap manis.
“Tapi, Ye Mo Er seharusnya tidak akan kembali lagi kan?”
Mu Yibei bahkan malas mengangkat kelopak matanya, lengannya memeluk tubuhnya, “Dia akan muncul sendiri ketika membutuhkan sesuatu.”
“Maksudnya apa?”
“Telapak tangannya membelai rambut panjangnya, \”Perempuan ini bukan tipe yang emosional. Dia cuma ingin melepaskan diri dari Ye Mo karena tidak mendapat yang diinginkan. Tapi begitu ada kebutuhan lain, bukan tidak mungkin dia kembali menghadapi Ye Mo. Dia juga paham betul kelemahannya, dan takkan menyia-nyiakan kesempatan saat bisa dimanfaatkan. Hanya saja, belum ada hal yang membuatnya membutuhkan Ye Mo untuk saat ini.\””
Mu Yibei mengangkatnya dalam pelukan, menggigit lembut bibirnya saat dia hendak berbicara lagi, suaranya melengking, \”Berhenti membuang kata-kata. Kalau bukan karena kamu, aku tak sudi melihat perempuan merepotkan ini muncul di sini. Biarkan saja dia pergi. Kamu masih punya teman lain di Kota Suci. Anggap saja selesai. Kalian bukan dari dunia yang sama. Dia juga tidak cocok jadi temanmu, Hm?\””
Sheng Youran akhirnya mengunci mulutnya.
Begitu mengangguk, tubuhnya sudah diturunkan dan ditekan ke kaca balkom kamar.
\”Kamu... mau apa lagi?\”
Punggungnya menempel pada kaca yang dingin, dia menggigit bibir bawah, memandang lelaki yang mendekat, kedua kakinya secara refleks merapat.
Mu Yibei merangkul pinggangnya, berbisik, \”Kau menggodaiku lama sekali, masih tanya mau apa? Harta berharga, tentu saja kamu.\”
\”Aku, kapan aku menggoda kamu!\”
\”Tidak?\” Dia menunduk, \”Kamu aktif menciumku dua kali.\”
Ekspresi bingung terpancar di wajah Sheng Youran, tapi tak ada ruang untuk mundur.
Cium dua kali disebut menggoda??
\”Mu Yibei, ciumanku bukan berarti itu, saat kucium kamu, itu... itu...\”
Dia menempelkan dahi pada dahi sang wanita, berpikir sejenak, lalu menjawab untuknya, "Tak bisa menahan diri?"
Sheng Youran merasa hatinya tak kunjung tenang, menggigit gigi berkata, "Aku tidak menggoda kamu! Katamu kita bisa pulang, Erbao dan Sanbao masih menunggu di luar!"
Mu Yibei tertawa rendah, suaranya berdesir, "Tapi godaanmu berhasil... Gimana? Tak apa, kalau mereka tak menunggu pasti akan main sendiri. Daripada buru-buru pulang, mereka pasti lebih senang peluang punya adik bertambah. Setuju?"
*
Di luar kamar, Sanbao kembali dari ruang tamu ke kamar tidur dengan wajah cemas. Tangannya menopang kepala, memandang kakaknya sambil mengeluh, "Ibu dan Ayah terlalu lama. Katanya barang yang perlu dibawa tidak banyak, tapi sampai sekarang belum keluar juga."
Erbao sedang merapikan barang mereka ke dalam koper dengan sistematis. Matanya menatap tumpukan boneka hasil belanja Sanbao, alisnya berkerut, "Barang-barang kesukaan perempuan memang aneh. Boneka ini jelek dan makan tempat!"
Erbao dan Sanbao selalu mengandalkan Erbao sebagai kakak yang menangani segalanya.
Sanbao langsung memerah padam, "Kamu bilang boneka siapa yang jelek? Kamu sama sekali nggak ngerti seni. Lihat beruang kecil ini, lucu banget, dan Adik Daisy juga suka. Aku susah-susah nemu edisi terbatas ini yang nggak ada di Kota Suci maupun London. Kalau dikasih hadiah ke dia, pasti dia seneng. Ini juga, Kakak Mo'er pasti suka, nanti waktu Paman Ye Mo udah nemuin dia, dia juga bakal senang. Masih ada lagi, ini buat Ibu Baptis Ke'er..."
Dia mulai menghitung satu per satu dengan detail.
Erbao baru sadar, semua barang itu adalah hadiah, yang dibeli untuk diri sendiri cuma satu.
"Bahkan Rong Sibai juga dapet hadiah? Tapi dia kan nggak bakal balik ke London."
Sanbao tertegun, "Dia beneran nggak pulang? Tapi kan sebentar lagi masuk sekolah."
"Dia nyaris dibunuh orang, mana ada yang lebih penting dari itu."
Sejak dengar dari Kakak kalau mungkin mereka nggak akan sekolah di London lagi, Sanbao sudah gelisah beberapa hari.
Tapi selama ini nggak ada kejadian apa-apa.
Dia bahkan pernah terima kabar dari Rong Sibai yang terlihat optimis, jadi dikira keluarganya masih mau mengizinkan mereka sekolah di sana.
Siapa sangka...
Dia langsung mendekat, "Kakak, kalau Kakak Siqing gimana? Apa dia bakal balik ke London?"
“Tidak tahu.” Erbao mengangkat bahu, menatapnya sambil berkata, “Dia tidak ada masalah, seharusnya tidak masalah. Tapi Rong Sibai tidak pergi lagi, mungkin mereka berdua akan transfer sekolah kembali. Lagipula tidak masalah, Rong Siqing hampir lulus, bahkan kalau dia kembali ke kelas sekarang, beberapa bulan lagi dia juga tidak akan ada di sekolah kita.”
Sanbao membuka matanya lebar-lebar, tidak tahu apakah dia harus marah atau sedih.
“Hai, hadiah ini lebih baik ditinggal di sini. Ibu bilang kita tidak boleh ke keluarga Rong, kamu bisa menyuruh orang lain mengantarkannya. Kalau dibawa pulang, kamu tidak bisa menyerahkan langsung padanya.” Erbao mengusap dagunya sambil berpikir, “Rong Sibai yang pengecut itu mungkin bisa hidup kembali kalau menerima hadiahmu.”
Setelah selesai bicara, dia sadar adiknya lama tidak bersuara. Ketika menengok lagi, dilihatnya Sanbao langsung merebahkan diri di ranjang, “Aku juga tidak mau kembali sekolah, aku tidak punya teman lagi.”
“Kamu yakin tidak mau mengingatkan Ayah dan Ibu?”
Sanbao dengan ekspresi lelah mental berkedip melihat langit-langit, “Tidak, sedang depresi.”
Erbao menggaruk pelipis Taiyang, “Baiklah, aku yang akan mengingatkan. Barang-barangku sudah siap, tinggal boneka-bonekamu ini.”
Keluar dari kamar, Erbao menuju pintu kamar lain sambil mengetuk, “Ibu, Ayah, kapan pulang?”
Menunggu sebentar, tidak ada respons.
Terus mengetuk, “Ayah, katanya mau pulang?”
Masih tidak ada reaksi.
Erbao berpikir, mungkin insulasi suaranya terlalu bagus, suaranya tidak terdengar Ayah.
Dia memutar pintu kamar, “Ayah, aku masuk ya.”
