Bab 565 Putraku Mewarisiku Apakah Aneh?
“Dia memang bukan anak yang terlalu membutuhkan penghiburan. Biasanya ketika menghadapi kesulitan, dia lebih suka memikirkannya sendiri sampai jelas.” Sheng Youran berkata pasrah, “Meskipun pikirannya matang lebih awal, karakter seperti ini mungkin ada hubungannya dengan diriku.”
Di masa lalu saat dia sendirian membesarkan dua anak ini, kesulitan yang dialami sudah tidak perlu diragukan lagi.
Untuk memberikan lingkungan yang lebih baik agar mereka tidak perlu menderita, dia menghabiskan banyak waktu di pekerjaan sehingga waktu untuk bersama mereka sangat berkurang.
Ini berarti mereka dipaksa untuk dewasa sebelum waktunya.
“Intinya dia baik-baik saja.” Tatapan Mu Yibei mengikuti sosok Erbao yang menuju ke dalam villa, “Kamu tidak perlu terlalu khawatir tentangnya. Ini bukan salahmu, kemungkinan besar faktor keturunan.”
Sheng Youran tidak bisa membalas.
Dia menoleh, bertatapan dengan Sheng Youran, “Kenapa? Putraku mewarisiku apakah terlihat aneh?”
“Menurutku ini pengaruh lingkungan tumbuh kembang.”
Mu Yibei tidak ingin berdebat, hanya berkata, “Oh begitu? Kalau begitu tunggu sampai yang satu ini lahir, kita lihat apa penyebab sebenarnya.”
Sheng Youran kali ini benar-benar tak bisa berkata-kata menghadapi ulahnya, memandanginya lama sebelum bertanya, “Bagaimana jika ini seorang putri?”
“Dia tampak merenung sejenak, ‘Kalau putri bukan lebih baik? Maka sudah pasti lebih baik tidak mewarisi sifatku. Putri tidak perlu terlalu pintar, tumbuh besar dengan bahagia saja.’”
Sheng Youran menatapnya lama, akhirnya otaknya tersambung, sorot matanya seolah bingung antara marah atau tertawa, “Mu Yibei, tidak mewarisimu berarti tidak perlu terlalu pintar?”
Hei Ying di samping melihat topik mereka semakin melenceng, merasa dirinya berdiri di sini mulai canggung.
“Tuan Mu, saya akan periksa Kakak Ling Xi lagi, untuk menghindari kekacauan...”
Rong Sibai tidak ada di kamar, melainkan di sudut taman.
Erbao mencari cukup lama, bertanya pada beberapa pelayan baru tahu lokasi kira-kira.
“Matamu sudah merah, kamu bohong, pasti sudah menangis! Mataku juga merah karena tadi tidak sambil menangis.” Sanbao bersusah payah membantah, sambil menunjuk matanya sendiri, “Lihat tidak!”
Rong Sibai memalingkan wajah, menolak melihat, “Pokoknya aku tidak nangis, aku tak pernah menangis!”
Dia jongkok di sudut tembok taman, wajah dipalingkan ke samping.
Saat Sanbao menemukannya, terlihat dia memandang jauh ke arah orang-orang yang datang ke pemakaman, mata berkaca-kaca, terus-terusan menyedot ingus.
Awalnya ingin menghiburnya beberapa patah kata, siapa sangka dia mati-matian tidak mau mengaku.
Setelah beberapa kali berdebat, Sanbao juga lelah, tak peduli kotor atau tidak, langsung duduk di samping, “Dia kakakmu, menangis juga tidak memalukan.”
“Aku bilang tidak menangis ya tidak menangis!” Rong Sibai mengepal tangannya sampai bergetar, gigi terkunci rapat, “Ini namanya kakak? Dulu waktu ke London, Kakek suruh dia menjagaku... Sekarang? Dia kan bisa berenang, masa tidak bisa berenang lebih lama sedikit?”
Sanbao menunduk memeluk lututnya, “Kukira kau sangat membencinya.”
“Tentu saja aku benci dia!” Suara Rong Sibai semakin bergetar penuh emosi, “Dari kecil sampai besar, apapun yang dia kerjakan selalu sempurna! Dibandingkan dengannya aku seperti idiot! Sekolah bareng dia aku selalu kalah, surat cinta yang diterima pun lebih banyak dariku! Masa aku tidak boleh membencinya? Bahkan kau lebih suka ngobrol dengannya daripada denganku!”
Sanbao mengedipkan mata memandangnya yang mulai memerah di orbit mata, “Ke depannya, tidak akan ada yang menyaingimu lagi.”
Rong Sibai menekan bibirnya sampai putih, lama baru bergumam, “Meski aku sangat membencinya, tapi aku juga mengaguminya. Aku masih berharap dia bisa tetap melindungiku saat aku berbuat kesalahan. PR nggak bisa ngerjakan juga nggak tahu mau tanya siapa.”
“Kalau ingin menangis ya menangis saja, malu apa.” Sanbao bergumam pelan, “Kau tumbuh besar bersamanya. Andai jadi aku, mungkin sudah mati menangis. Dia sehari-hari jarang mengajakku bicara, tapi aku tetap sangat sedih.”
“Kamu perempuan, menangis tentu tidak ada yang menertawakanmu.” Rong Sibai menundukkan kepala, “Kalau dia tidak mati, melihatku menangis, meski tidak akan mengejek, tapi pasti meremehkanku. Aku tidak ingin diremehkan!”
Erbao benar-benar tidak sengaja menguping, tapi disebut menguping juga tidak tepat.
Dia hanya belum menemukan kesempatan yang cocok untuk mendekat, tiba-tiba mendengar mereka saling berbalas tangisan.
Dan perdebatan konyol semacam "kamu menangis, aku tidak menangis" ini, sungguh kekanak-kanakan, Rong Siqing benar-benar akan meremehkannya!
Erbao hampir berbalik pergi, agar tidak secara tidak sengaja memperlihatkan kelemahan.
Tiba-tiba terdengar suara Rong Sibai yang terdengar berat, “Xingbao, menurutmu dia mungkin sama sekali tidak mati?”
Braak!
Dua kepala serempak berbalik.
Erbao yang menabrak vas bunga itu tersipu malu melihat mereka, “Aku... lewat tak sengaja, kakiku menyenggol vas.”
“Kakak, tadi kamu ke mana saja?”
Erbao meliriknya, lalu melihat Rong Sibai yang seperti tertangkap basah menyimpan rahasia, “Aku tadi jalan-jalan di luar.”
“Kakak, Rong Sibai bilang Kakak Siqing mungkin tidak mati, menurutmu?” Mata Sanbao membelalak tak berkedip memandangnya.
Apa yang dikatakan Rong Sibai, dia tidak percaya.
Tapi apa yang dikatakan kakak, setidaknya 90% dia percayai.
Sanbao sangat berharap mendapatkan jawaban dari kakaknya.
Namun yang mengecewakan, setelah menunggu lama, Erbao hanya berdiri di situ, tak bisa menjawab.
"Dia tidak bicara, itu artinya dia takut mengungkapkan kebenaran yang akan membuatnya kecewa."
"Kakak, benarkah tidak mungkin?" Suara Sanbao terdengar tersedu-sedu, secercah harapan yang baru saja muncul langsung padam.
Bahkan Rong Sibai, sorot matanya yang awalnya malu karena ketahuan Erbao, berubah menjadi penuh harap lalu kembali kecewa.
Erbao teringat perkataan orang itu, lalu jongkok di hadapan mereka berdua, "Tentu mungkin, kalau dia bisa bertahan di laut tanpa makan minum... mungkin dia menemukan dunia bawah laut tempat manusia bisa hidup..."
Rong Sibai hampir melontarkan pandangan sinis, apa dia dikira anak tiga tahun yang mudah ditipu?
"Tapi jika kau benar-benar ingin tanya padaku." Nada bicara Erbao berat, kali ini dia terpaksa berbohong, "Dengan lokasi kecelakaan pesawat di sana, jangan berkhayal. Kalau ada harapan, pasti orang dewasa tidak akan menyerah."
Rong Sibai berkata dengan nada kuat, "Kau juga bicara sama! Aku tidak mau percaya omongan orang dewasa, kukira kau berbeda!"
"Benarkah?" Erbao menatapnya tenang, "Kau pikir ayahmu tidak mencari dengan sungguh?"
"Aku tidak tahu..." Rong Sibai menunduk, "Yang pasti sampai sekarang juga belum ketemu. Apa kalian masih akan mengunjungiku nanti?"
Sanbao menepuk bahunya dengan jiwa kesatria, "Selama kau tidak menipu soal tangisanmu, aku akan tetap datang."
Rong Sibai langsung canggung, bibirnya gemetar, "Aku... Aku tidak menangis! Dan tidak bohong juga..."
