Bab 617 Apa Kau Lapar?
“Kamu benar-benar tidak masuk akal!” Mata Ye Mo Er membelalak.
Lelaki itu tetap berdiri dingin dan datar bagai patung es tanpa emosi. “Coba pikir lagi dengan otakmu, apa benar aku pernah berjanji padamu.””
Setelah berkata demikian, pandangan Ye Mo beralih dari wajah paniknya. Dia berbalik meninggalkan kamar tanpa menoleh sedikitpun.
Ye Mo Er duduk di ranjang, sudah lama duduk di sana.
Apa dia tidak pernah berjanji?
Itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu.
Tapi dia masih mengingatnya dengan jelas, seolah setiap frame gambaran terukir di otaknya.
Hingga sekarang saat mengingat kembali, masih ada rasa sakit menusuk halus yang menyebar, membuat sesak napas.
Dia menengadahkan kepala menyandar di ranjang, menarik napas dalam-dalam.
Benar-benar bajingan.
Ucapan itu dari mulutnya, dan memang dia tidak menjawab sepatah kata pun.
Tapi orang pendiam seperti dia, semakin marah justru semakin diam sampai titik ekstrim.
Beberapa hal secara alamiah dianggap sebagai persetujuan diam-diamnya.
Lagipula dia juga tidak pernah mencegahnya meninggalkan tempat ini.
Selama bertahun-tahun mereka hidup tanpa hubungan, bahkan dia sempat mengira dia sama sekali tidak tahu keberadaannya, tidak bisa menemukannya, atau bahkan sudah tidak mengingat lagi eksistensinya di dunia ini.
Saat dia muncul secara aktif, sikapnya tetap dingin membeku.
Jika bukan karena kemunculannya akan mengimbas keselamatan perempuan Mu Yibei, dia bahkan akan curiga apakah dia akan bersusah payah mencari dirinya.
Jika ini bukan persetujuan diam-diam, lalu seperti apa baru bisa dianggap dia menyetujui?
Sekarang dia masa bilang, dia tidak pernah menyetujui!
Apakah semua ini dianggap tidak ada?
Sorot mata hitam pekat Ye Mo Er tak mengandung secuil senyum, memandang ke arah gerbang kamar dengan dingin menusuk.
Membujuknya (membuat marahnya reda) adalah hal yang sangat sulit.
“Tetapi ketika dia memutuskan untuk melarikan diri dulu, dia juga berpegang pada kemungkinan tipis bahwa hal ini sama sekali tidak menyentuh sisik terlarangnya.”
Paling-paling, ketidakhadirannya tanpa pamit mungkin membuat orang dengan keinginan kontrol yang sangat kuat ini merasa jengkel, merasakan ketidaknyamanan karena tidak bisa menguasai.
Apakah ini begitu tidak bisa diterima olehnya?
Tapi kali ini, bagaimanapun juga ini adalah dirinya sendiri yang masuk ke dalam jebakan.
Sebelum dia berbaring lagi, pintu kamar terbuka sekali lagi.
Kali ini yang masuk bukan hanya Ye Mo, tapi juga seorang pelayan yang gemetar ketakutan di belakangnya.
Pelayan itu mendorong kereta makan dengan aroma harum menyeruak.
Sarapan diletakkan di meja kecil di kamar, barulah pelayan itu mundur.
Ye Mo Er benar-benar merasa lapar setelah mencium aromanya.
Dia menekan bibirnya, melirik Ye Mo lagi, lalu mengangkat dagunya, "Apa maksud ini?"
"Maksudnya tidak akan membiarkanmu mati kelaparan." Ye Mo sudah mengganti pakaian.
Kemeja hitam berkualitas prima ditambah celana bahan, seluruh penampilannya sudah rapi sempurna.
Ketika dia menoleh ke arahnya, Ye Mo Er masih duduk di ranjang tanpa tanda-tanda akan bergerak.
"Aku belum gosok gigi."
"Kalau begitu pergilah."
Ye Mo Er mengangkat tangannya, "Tapi kakiku tidak bisa jalan."
Semalam dia langsung tidur setelah kembali, juga tidak mencari dokter.
Meski tulang keringnya tidak terluka, tapi pergelangan kakinya masih bengkak sampai sekarang.
Turun dari ranjang bukan tidak mungkin, berjalan pun masih terpaksa.
Hanya posisinya kurang enak dilihat.
"Kau tidak bisa jalan?" Nada bicara Ye Mo penuh dengan ejekan yang jelas.
"Ye Mo Er tertawa pendek,"Kalau begitu aku benar-benar harus berterima kasih padamu, sudah menilai diriku begitu tinggi. Menganggap meskipun aku perempuan, tapi juga pria sekuat besi. Baik, sarapan aku ucapkan terima kasih, sekarang kamu pergilah, aku akan cari cara sendiri."
Ye Mo menatapnya sejenak, wajah muram mendekat, tanpa sepatah kata menyibak selimutnya dan mengangkatnya keluar.
Ye Mo Er tampak agak terkejut, tetap diam di dada-nya.
Dia mengangkat sorot matanya, dari sudut pandangnya bisa melihat jelas sebagian besar sisi wajahnya.
Garis tubuhnya indah dan tajam, kulit berwarna kecokelatan hampir tanpa cacat sedikitpun.
Bibir tipisnya terkunci rapat, seolah tak ingin mengeluarkan setengah suara pun yang berlebihan.
Ye Mo membawanya ke kamar mandi lalu melepaskan pegangan,"Kamu masih punya satu kaki, bisa berdiri sendiri."
"Hm, kamu pergilah." Ye Mo Er mengangguk tenang, tak berniat memberi penilaian atas 'layanan'-nya ini.
Baru saja dia mengambil sikat gigi, merasakan lelaki di belakangnya tak bergerak.
Dia menatap ke cermin, bertukar pandang sejenak melalui pantulan,"Apa kamu mau tetap disini melihatku sikat gigi? Nanti kalau aku ke toilet juga mau mengintip? Kakak Ye Mo, kebiasaanmu belakangan ini benar-benar aneh."
Seluruh wajahnya langsung menghitam, melirik dingin ke arahnya, baru kemudian keluar dari kamar mandi.
Saat Ye Mo Er melompat-lompat keluar dari toilet, Ye Mo sudah duduk di depan meja.
Dia sebenarnya bisa melompat lagi ke seberangnya, tapi teringat kejadian tadi, bibir mungilnya mengerut membentuk senyuman tipis. Tangannya terulur, "Bisa tolong bantu aku? Lompat seperti ini agak sulit."
Ye Mo meletakkan ponselnya, dengan wajah dingin menoleh dan berdiri. Saat menangkap tangannya, langsung mengangkat tubuh gadis itu ke pangkuannya.
Dia sama sekali tidak bergerak, tapi menyadari pria itu tidak memindahkannya ke kursi seberang, malah mendudukkannya kembali di pangkuannya sendiri.
Ye Mo Er menatap hidangan di meja tanpa mempedulikan satu pun.
Duduknya gelisah, alisnya berkerut beberapa saat, "Turunkan aku. Aku lebih baik duduk di bangku sendiri. Kalau tidak suka makanan ini, silakan cari tempat lain."
Raut wajah lelaki itu membeku, tidak berbicara maupun bergerak.
Ye Mo Er terpaksa melanjutkan, "Aku tahu kamu tidak suka ini."
Semua kudapan di atas meja adalah favorit masa kecilnya, sementara dia selalu membencinya.
Dalam hal selera makan, mereka memang tidak pernah punya titik temu.
Gadis itu menyukai kudapan imut nan lezat, atau hidangan pedas dan berbumbu tajam.
Tapi Ye Mo, makanan sehari-harinya selalu hambar dan tawar. Sekilas lihat saja sudah bikin hilang selera.
Begitu pula sebaliknya, hidangan kesukaannya selalu membuat pria itu mengerutkan alis.
Melihatnya masih tak bergerak, Ye Mo Er bersuara lagi, "Aku sendiri..."
Baru saja membuka mulut, suaranya terpotong oleh geram, "Kamu mau makan atau tidak?"
“……”
"Urusanmu apa dengan selera makanku?"
"Ye Mo Er tidak terkejut dengan temperamen buruknya, dengan santai mengambil sebuah xiaolongbao, 'Aku rasa kamu tidak perlu membuang waktu di sini mengawasiku yang cacat sementara. Kondisi kakiku bisa kamu lihat dengan mata kepala sendiri, tidak perlu aku pura-pura. Lakukanlah urusanmu, tak perlu mengurusiku, aku juga tidak bisa kabur. Seluruh hotel ini berada di bawah kontrol kalian, dalam kondisiku sekarang mustahil melarikan diri.'"
Ye Mo tidak berkata-kata.
"Apalagi ini adalah lantai tertinggi hotel, punya jendela juga percuma, mana mungkin aku melompat dari sini bukan?"
Ye Mo benar-benar tak ingin mendengar omong kosongnya lagi, "Jika kau tidak segera makan, mau kubuatkan dengan tanganku sendiri?"
Ye Mo Er memutar matanya.
Selain itu, sarapan ini sangat ia sukai.
Saat hampir kenyang, ia menjepit sebuah hakaw dengan sumpit ke mulutnya, "Lapar tidak?"
