Bab 625: Kalau tidak ada yang mengawasi benar-benar jadi tak tahu malu ya?
Belum sempat dia membuka mulut, bibirnya sudah dijepit kembali oleh Mu Yibeu.
Seluruh tubuhnya terkurung dalam pelukan lengan pria itu, tak satu huruf pun bisa diucapkan.
Juga merasakan dengan jelas alasan dia bilang desain gaun pengantin tidak penting...
*
Ye Mo Er tidak tinggal lama di sini, setelah makan langsung dibawa ke mobil tanpa kembali ke kamar.
Di dalam limusin, partisi antara kursi belakang dan kursi pengemudi telah diturunkan, ruang terisolasi ini membuatnya bahkan bisa mendengar desahan Ye Mo dengan jelas.
Saat menoleh, dia hanya melihat siluet wajah pria yang tampan namun dingin.
Sejak Ye Mo meninggalkan restoran lebih awal, bahkan sudut matanya pun tidak meliriknya.
Bahkan sekarang, tatapannya tetap dingin mengarah ke jendela.
Ye Mo Er duduk bersandar sebentar, mencium samar aroma tembakau tipis.
Saat kepalanya mendekat dan hendak menarik napas untuk memastikan, tiba-tiba lengannya meraih bahunya.
"Ngapain?" Ye Mo Er bertanya dengan ekspresi polos.
Wajahnya yang awet muda sempurna seperti boneka, senyumnya tak memperlihatkan perbedaan dengan gadis biasa.
Ye Mo Er memiringkan kepala penasaran, "Kakak Ye Mo, baru mendekat sedikit saja sudah tegang, takut kubunuh?"
Ye Mo melepas pegangan, sorot matanya mengabaikan ucapan itu.
"Kalau memang takut, kenapa tidak ikat aku saja?"
"Kau pikir aku tidak berani?" ujarnya dingin.
Ye Mo Er bersandar santai, "Bukannya begitu. Bukankah kau pernah memborgolku di ranjang? Menggunakan rantai besi untuk mengikat kaki-tanganku juga pernah, bukan?"
Ye Mo diam membisu, wajahnya masih menegang menahan amarah yang tersulut saat makan tadi.
"Ha..." Dia tertawa pendek dengan nada dingin, terdengar pasrah namun juga acuh, "Apa kau merasa aku di matamu bukan manusia? Perlakukan sesukamu. Saat kau tak mau peduli, tak perduli di mana aku, hidup atau mati, semuanya tak berarti. Ketika aku tak sengaja membuatmu merasa kendalimu terprovokasi, kau tunjukkan fakta bahwa aku tak berbeda dengan benda? Atau mungkin... mainan?"
Suasana dalam mobil tiba-tiba membeku dalam senyuman santainya.
Pupil matanya menyempit tajam bagai terpacu.
"Bahkan saat kau sedang ingin," senyum tipis di wajah Ye Mo Er berangsur memudar, "Seandainya tahu hari ini akan berakhir begini, melepaskan diri darimu saja susahnya minta ampun, lebih baik dulu tak kenal."
Tatapan Ye Mo membeku bagai es, sorot matanya seakan mengkristal jadi salju.
"Lepas dariku mau cari siapa?" Ucapnya perlahan tapi jelas, bersamaan dengan gerakan tangan mengurung tubuhnya ke sandaran kursi.
Ye Mo Er bahkan malas melawan. Tubuhnya lemas mengikuti gerakannya, kepala miring bersandar, "Kalau bukan karena kenal bertahun-tahun, hampir saja kukira ucapanmu ini karena cemburu."
"Mengetahui R sekarang hidup atau mati belum jelas, kamu mulai mencari cara untuk memprovokasiku, mengujiku dengan pertanyaan tidak langsung." Ye Mo semakin mengencangkan cengkeramannya pada pergelangan tangannya, merunduk hingga bibir tipisnya hampir menempel di daun telinganya, mengeluarkan kata-kata dingin, "Kira tindakanmu ini akan berguna? Setelah bertahun-tahun, berani sekali kamu menggunakan permainan dengan lelaki untuk mencapai tujuanmu?"
Dia membeku, pupil indahnya menatapnya tanpa emosi, sudut bibir yang melengkung sama sekali tidak mengandung senyuman.
Bahkan napasnya seolah tercekik, tubuhnya tak bisa bergerak, seakan setiap saat bisa kehabisan udara.
Tak lama kemudian, dia berkata acuh, "Kalau tidak, menurutmu bagaimana aku bisa merangkak sedikit demi sedikit ke posisi sekarang ini selama bertahun-tahun ini? Perempuan yang ingin hidup nyaman di dunia ini, sederhana sekaligus sulit. Aku bahkan bisa menghadapimu, apalagi orang lain."
Hampir setiap katanya menusuk-nusuk hatinya.
Cengkeraman di pergelangan tangan semakin kuat, sampai-sampai wajahnya memucat karena kesakitan.
Keringat di dahinya juga terus menetes deras.
Tiba-tiba, belenggu itu terlepas.
"Bahkan aku bisa kau hadapi." Ye Mo menyindir sambil menatap wajahnya yang berubah pucat, "Aku tidak akan memenuhi keinginanmu, kepulanganmu kali ini sia-sia."
"Ye Mo, apa yang kau lakukan!" Tangan Ye Mo'er kembali diborgol, hatinya langsung panik.
"Kau!"
Hampir bersamaan, dia mendengar suara gesper yang terbuka.
Bajingan ini...
Rambut panjang yang terurai di dahinya sudah basah oleh keringat dingin tadi, menempel di wajahnya.
Napasnya direnggut sedikit demi sedikit, hingga rasa sakit kering yang menusuk datang menyergap...
Dari hotel ke tempat tinggal Ye Mo, perjalanan dengan mobil memakan waktu cukup lama.
Saat mobil berhenti, sopir hanya diam seribu bahasa, menghentikan kendaraan dengan tenang.
Ye Mo mendorong pintu mobil terbuka, menggendong Ye Mo'er keluar dari dalam mobil.
Ekspresi dingin di wajahnya seolah-olah bukan orang yang sama dengan tadi.
Ye Mo'er menutup mata, memalingkan wajah, menyembunyikan mukanya di dadanya.
Hingga saat dia mendorong pintu terbuka, barulah dia menoleh dan membuka celah mata tipis.
Villa itu masih sama persis seperti dulu, tanpa sedikit pun perubahan, klasik megah bergema laksana angin puyuh.
Namun sunyi senyap, seolah-olah bahkan seorang pelayan pun tak ada.
Ye Mo menggendongnya naik tangga, seolah menjelaskan, "Aku memang tidak suka terlalu banyak orang menggangguku. Tak ada orang lain di sini, tak perlu kau tutupi wajahmu."
"Tapi ini adalah keluarga Ye, nenekmu..."
"Nenek sudah tidak tinggal di sini lagi." Ye Mo memasuki koridor, dengan raut muram menendang salah satu pintu kamar terbuka, "Sudah kukatakan, tak ada orang lain."
Bisa dibilang dia besar di sini, mulai dari usia lima tahun.
Mengikuti Ye Mo masuk ke keluarga Ye, menghabiskan belasan tahun hidup di tempat ini.
Dia bukan anak kandung keluarga Ye, paling banter hanya anak angkat, tentu saja tidak bisa dibilang dimanjakan di sini, atau lebih tepatnya sama sekali tidak ada kasih sayang.
Jika bukan karena keteguhan Ye Mo di masa lalu, mungkin dia sudah lama tertinggal di panti asuhan.
"Untungnya hidupnya tidak buruk, mungkin dia bajingan dalam hal lain, tapi dulu dia benar-benar baik padanya, tidak mengizinkan siapa pun meng-bully-nya."
Seorang anak angkat yang tidak dipupuk akhirnya dimanjakannya sampai memiliki temperamen kakak perempuan, ketika dipikir kembali pun merasa tak terbayangkan.
Sudah bertahun-tahun dia tidak kembali ke rumah ini.
Bahkan ketika dulu disewa kembali ke Kota Suci, saat mereka mengirim pembunuh bayaran untuk menghukum Sheng Youran dan anaknya, dia hanya diurung oleh Ye Mo di hotel.
"Pantas saja sekarang kian berani, tak ada yang mengawasi jadi benar-benar kelancangan ya?" Ye Mo Er tersenyum kaku sambil menggigit gigi melotok ke arahnya.
Ucapan itu belum selesai, punggungnya sudah menabrak dinding menimbulkan rasa sakit.
Kakinya lemas hendak melorot menyusuri tembok.
"Mo'er, baru sekali sudah tak bisa berdiri tegak?" Ye Mo menyapukan pandangannya, menyindir.
Ye Mo Er menggigit bibir, "Lukaku belum sembuh, dari awal memang tak stabil."
